webnovel

5. Kebohongan

"Riyan, bangun!"

Sebuah suara di pagi hari memanggil nama Riyan sambil mengguncangkan tubuhnya pelan. Riyan bereaksi dan bangkit dari tidurnya, tapi ia hanya duduk dengan mata setengah terpejam. Ia melihat sekeliling dan mendapati seorang gadis cantik dengan rambut berwarna cokelat kehitaman dan mata biru cerah sedang berdiri di samping kasurnya. Ya, gadis tersebut adalah Remia.

Setelah memastikan siapa yang membangunkannya, ia kembali merebahkan dirinya di atas kasur dan menarik selimutnya menutupi tubuhnya.

"Sepuluh menit lagi..."

Dengan santainya, ia mengatakan itu.

Remia yang berdiri di samping kasurnya menunggu Riyan bangun, hanya bisa terdiam kebingungan. Melihat Riyan yang kembali berbaring di kasur dengan suara dengkuran yang lembut, ia sedikit bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Sesaat kemudian, ia menyadari bahwa Riyan kembali ke tidurnya yang sangat nikmat itu.

"Riyan, bangunlah! Kalau tidak aku yang akan dimarahi!"

Sambil sedikit mengguncangkan tubuh Riyan, Remia kembali berteriak-teriak dengan niat membangunkan Riyan yang kembali tertidur. Tidak berguna dengan cara ini, ia menghela nafas berat.

"Sepertinya tidak ada cara lain."

Ia mengangkat tangan kanannya, menutup mata dan berkonsentrasi pada mana yang berada di dalam tubuhnya.

"[Wasser]!"

Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan keluarlah air yang berasal dari telapak tangan kanannya. Air itu langsung meluncur tepat ke wajah Riyan yang sedang tidur. Ketika air tersebut mencapai tujuannya...

Pyaarr!

"Phaa!? Apa!? Apa yang terjadi!?"

Seketika itu juga Riyan bangkit duduk di kasurnya dengan mata yang terbuka lebar. Bagian kepala sampai dadanya basah kuyup akibat sihir air yang baru saja dikerahkan Remia untuk membangunkannya secara paksa, tentu saja kasur, selimut, serta bantalnya juga. Ia terdiam mendapati tubuhnya yang basah kuyup di atas kasur.

"Pftt!"

Melihat ekspresi lucu yang terpasang di wajah Riyan, Remia tidak bisa menahan tawanya dan akhirnya menutup mulut sekuat-kuatnya disertai membalikkan badan dari hadapan Riyan. Riyan baru saja menyadari Remia yang berusaha menahan tawanya, ia terlihat sedikit kesal.

Sesaat kemudian, Remia membalikkan tubuhnya menghadap Riyan setelah tawanya teratasi. Ia menundukkan kepalanya dan meminta maaf.

"Maaf, aku terlalu berlebihan. Aku hanya disuruh membangunkanmu oleh Faleon."

'Faleon? Apa yang ia inginkan dariku sepagi ini?'

Riyan bangun dari kasurnya dan berjalan mendekati Remia.

"Apa yang jenderal inginkan pagi-pagi begini?"

"Pagi? Matahari sudah tinggi loh."

Sambil menunjuk langit-langit, Remia mengatakan itu.

"Oi, matahari tidak dapat terlihat dari ruangan ini jika sudah setinggi itu."

Mendengar balasan yang masuk akal dari Riyan, Remia hanya tersenyum masam. Ia lupa bahwa saat ini ia berada di dalam ruangan. Memang dapat dilihat dari jendela kamar, tapi matahari sudah terlalu tinggi untuk dilihat dari dari jendela.

"Baiklah, aku akan bersiap-siap. Kau sampaikan saja pada jenderal untuk menunggu sebentar lagi."

"Dimengerti. Jenderal Faleon menunggumu di halaman belakang istana."

Setelah memberitahukan itu pada Riyan, Remia berjalan keluar dari kamar. Riyan mengganti bajunya yang basah itu dengan baju ganti yang disiapkan oleh pelayan istana di lemarinya, jadi para murid tidak perlu khawatir akan baju ganti.

Sudah 4 hari sejak pertemuan mereka di dapur gedung tempat tinggal para murid. Merkea menjadi akrab karena Remia yang sering mengunjungi Riyan disela-sela kesibukannya. Setelah malam itu, Remia mengetahui bahwa Riyan selalu dikucilkan oleh teman-temannya. Karena itulah, Remia ingin menemani Riyan agar ia tidak terlalu kesepian.

***

Selesai ganti baju, Riyan dan Remia berjalan menuju halaman belakang istana. Entah kenapa, Remia tidak bergerak memberitahu Faleon sesuai permintaan Riyan. Ia hanya menunggu Riyan mengganti bajunya di luar kamar dengan tenang. Riyan yang mengetahui ini tentu saja merasa kesal, tapi seperti biasa, ia memendam semua itu sehingga ekspresinya terlihat datar.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua sampai ke tempat Faleon menunggu, halaman belakang istana. Di sana terdapat Faleon, Gilbert, Tifania, Layla, Rizu, dan Johan, semua orang yang peduli terhadap Riyan dengan caranya masing-masing. Riyan kebingungan melihat kelima orang itu berkumpul bersama Faleon.

"Kenapa kalian di sini?"

Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab pertanyaan Riyan, mereka hanya mengangkat bahu dan melirik ke arah Tifania yang duduk di samping Faleon. Riyan juga mengalihkan perhatiannya kepada Tifania yang tertunduk dengan ekspresi sedih.

"Riyan, kami berkumpul di sini karena ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Tifania."

Faleon menjawab pertanyaan Riyan yang tadi tidak terjawab.

'Sesuatu yang ingin disampaikan? Apa itu?'

Riyan terlihat sedikit heran, tapi ia tetap memasang ekspresi datarnya seperit biasa. Remia yang berada di belakangnya hanya bisa terdiam. Saat ia hendak pergi dari sana, langkahnya dihentikan oleh Faleon.

"Gadis pelayan, kau di sini saja."

"E-eh?"

"Kudengar kamu lumayan dekat dengan Riyan, kurasa tidak apa-apa."

"Ba-baiklah kalau begitu."

Ia menghentikan kakinya yang hendak melangkah menjauh dan kembali membalikkan tubuhnya yang sudah memunggungi ketujuh orang di sana. Hanya Riyan yang terlihat kebingungan dengan apa yang terjadi, sedangkan yang lainnya terlihat menanti apa yang ingin disampaikan oleh Tifania. Saat mereka mengharapkan itu, Tifania mengangkat suaranya yang lembut itu.

"Apa yang ingin kusampaikan adalah tentang Riyan."

Mendengar itu, semua orang yang berkumpul di sana sangat terkejut, tidak terkecuali Riyan sendiri. Membahas tentang Riyan? Itulah topik yang ingin dibicarakan oleh Tifania saat ini, karena itulah ia mengumpulkan orang-orang yang dapat berbicara dengan Riyan.

"Riyan, maaf, tapi ini tidak dapat kusembunyikan."

'Apanya?'

Riyan membuat raut wajah ruyam yang terlihat sangat kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh Tifania. Semua orang yang ada di sana juga terlihat bingung, terutama Riyan.

"Masalah waktu itu, sebenarnya hanyalah kesalahpahaman."

Untuk sesaat, tidak ada respons satu pun membalas kata-kata Tifania, sampai akhirnya Riyan menyadarinya. Gilbert dan lainnya tengah kebingungan, kecuali Faleon yang juga tersadar apa yang ingin disampaikan oleh Tifania.

"Ruang guru yang waktu itu berantakan, itu bukanlah ulah Riyan, itu adalah kesalahpahaman."

'Benar apa yang kuduga.'

Saat Tifania mengatakan itu, Riyan dan Faleon sedikit panik, tapi Gilbert dan lainnya hanya terkejut, kecuali Remia yang kebingungan dengan apa yang sedari tadi dibicarakan. Riyan tetap berekspresi datar seperti biasanya, tapi di dalamnya ia kesal bercampur bingung mendengar bahwa Tifania mengetahui hal ini.

Ia menatap Faleon dengan sorot mata tajam, kali ini lebih tajam. Faleon yang menyadari dirinya diperhatikan oleh Riyan, ia menggeleng dengan cepat. Riyan mengira Faleon yang memberitahukan ini kepada Tifania, tapi Faleon tidak melakukan apa-apa, bahkan menyinggung saja tidak pernah.

"Riyan, apa yang kau lakukan pada Tifania?!"

Tiba-tiba Gilbert menyela pembicaraan Tifania dengan pertanyaan yang bernada kasar dan marah. Mendengar itu, sontak Tifania terkejut, tentu saja Faleon dan Riyan juga. Mata mereka terbelalak karena kalimat tanya dari Gilbert itu, tapi Riyan tetap tidak berekspresi seperti biasanya. Hanya wajah datar yang ia tunjukkan.

Riyan menutup matanya dan memikirkan apa yang harus ia katakan untuk menjawab pertanyaan Gilbert itu.

'Memang benar, seperti inilah seharusnya...'

Setelah beberapa saat memikirkannya, ia mendapat sesuatu yang cukup bagus. Ia membuka mata dan memperlihatkan senyum tipis yang hampir tidak pernah ia tunjukkan. Melihat senyum Riyan, Gilbert dan semua orang yang ada di sana terkejut. Yang pernah melihat senyuman Riyan hanyalah Faleon dan Tifania, tapi mereka juga sama terkejutnya dengan kelima orang tersebut.

Riyan menatap mata Gilbert dengan sorot mata tajam, sama seperti biasa. Kemudian ia menggerakkan bibir dan mengangkat suaranya.

"Sayang sekali, cara ini juga tidak berhasil."

Ketujuh orang tersebut kembali terkejut mendengar pernyataan yang dilontarkan dari Riyan. Faleon yang sejak tadi terganggu dengan senyumnya, sekarang mengetahui apa maksud dari senyum Riyan itu. Melihat reaksi orang-orang di sekelilingnya, Riyan kembali tersenyum.

"Maaf, Tifania, aku telah menipumu. Aku bermaksud untuk menggunakanmu agar nama baikku pulih, tapi ternyata cara ini sama sekali tidak berhasil."

Ucapan dari Riyan membuat semua orang yang ada di sana terkejut, tak terkecuali Faleon, Tifania, dan Remia. Ketiga orang tersebut lebih terkejut lagi. Faleon telah menduga apa yang dikatakan oleh Riyan, tapi ia tak menyangka bahwa Riyan akan sefrontal itu.

Gilbert segera berdiri disertai amarah yang memenuhi dirinya, diikuti oleh Layla, Rizu, dan Johan. Gilbert menarik tangan Tifania yang sedang duduk di samping Faleon dengan paksa sehingga ia berdiri.

"Gi-Gilbert!? Apa yang kau lakukan!? Lepaskan tanganku!"

Tifania mencoba untuk memberontak, tapi cengkeraman tangan Gilbert semakin keras dan sulit untuk dilepaskan. Tak menghiraukan teriakan dan gerakan Tifania yang memberontak, ia terus berjalan meninggalkan tempat mereka berkumpul sesaat lalu. Ia berkali-kali berusaha untuk melepaskan diri, tapi itu hanya tindakan sia-sia.

Gilbert yang telah mencapai batas kesabarannya, mengalihkan pandangannya ke arah Tifania.

"Diam! Kau tak perlu dekat-dekat dengan orang busuk itu!"

"Apa yang kau katakan!? Riyan bukanlah orang seperti itu! Itu hanya kebohongan, kan, Riyan?!"

Tifania menoleh ke arah Riyan yang sedang berdiri di belakangnya. Ia tengah melihat Tifania dengan senyum jahat tipisnya. Beberapa detik kemudian, Riyan mengangkat suaranya sekali lagi.

"Apa yang kukatakan itu adalah kebenaran, Tifania."

Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Riyan, matanya terbelalak tak percaya. Ia sama sekali tidak percaya apa yang baru saja ia dengar melalui daun telinganya sendiri. Riyan yang melihat mata Tifania dalam-dalam itu masih tersenyum kepada gadis cantik tersebut.

"Jadi apa yang kudengar dari balik pintu itu adalah sebuah kebohongan untukku!?"

Dengan teriakan lantang, Tifania kembali bertanya pada Riyan.

"Ya."

Secara perlahan, butiran air mata terlihat dan akhirnya mengalir melalui pipinya yang lembut tersebut. Tanpa membalas, ia berbalik dan melangkahkan kakinya lebih cepat. Karena refleks, Gilbert melepas tangan gadis yang tengah menjatuhkan air mata berharga itu.

'Selama ini, kupikir kau adalah orang yang baik, Riyan, tapi aku salah. Sejak dulu kau memang orang brengsek.'

Untuk sesaat, Gilbert menatap Riyan dengan mata yang penuh kemarahan sambil mengatakan itu di dalam hatinya, lalu pergi menyusul Tifania yang berjalan di depan mereka, tentu saja ketiga orang lainnya juga mengikuti Gilbert dari belakang.

Di sisi lain, Riyan melepas senyuman dan ekspresi lega.

'Ini yang terbaik.'

Melihat kelima murid tersebut menjauh dan akhirnya menghilang, Riyan tersenyum puas mengetahui rencananya berjalan lancar. Setelah itu, ia berbalik menghadap Faleon dan Remia yang sedang berdiri di belakangnya. Saat ia menoleh, ia mendapat sesuatu dari gadis pelayan tersebut.

Plaakk!!

Sebuah tamparan keras dari Remia mendarat di pipi sebelah kirinya. Saking kerasnya, ia terjatuh dan parameternya berkurang mencapai 9 poin dari totalnya. Riyan terduduk di tanah dengan pipi yang merah akibat tamparan keras itu.

Ketika ia mendangakkan kepalanya, ia melihat air mata Remia yang terjatuh di tanah sambil menatap matanya disertai ekspresi kesal. Riyan terkejut melihat tetesan air yang berasal dari mata Remia, tapi ia kembali memasang ekspresi datarnya.

"Awalnya kupikir kau orang yang baik. Tapi alasan kenapa kau di jauhi itu, ternyata memang seharusnya."

Setelah mengatakan itu, Remia berjalan meninggalkan dua orang yang tersisa di sana dengan langkah cepat. Sambil berjalan seperti itu, air matanya berjatuhan mendengar kebenaran Riyan.

Riyan bangkit berdiri sambil memegangi pipi kirinya yang memerah bekas tamparan Remia tersebut. Ia tahu bahwa ini akan terjadi, tapi ia tetap melakukannya.

"Aduduh..."

Sambil meringis kesakitan, ia hendak berjalan meninggalkan Faleon sendirian. Tapi sebelum ia sempat melangkahkan langkah keempatnya, ia dihentikan oleh suara Faleon yang terdengar khawatir.

"Riyan, apa kau yakin dengan ini?"

"Hm? Apanya?"

Tanpa menoleh, Riyan menanggapi pertanyaan Faleon.

"Apa kau tidak sadar!? Kau telah kehilangan kepercayaan seluruh teman-temanmu! Baik itu teman barumu, gadis pelayan itu, maupun kelima pahlawan yang peduli padamu selama ini! Dengan ini kau akan semakin kesepian!"

Mendengar ucapan dari Faleon, Riyan terkejut. Ia tidak tahu kenapa jenderal besar kerajaan Alivonia ini masih percaya padanya setelah semua apa yang dikatakan olehnya. Kemudian ia berbalik dan melihat lurus ke arah mata Faleon.

"Kenapa kau masih mempercayaiku setelah mendengar apa yang kukatakan barusan, jenderal?"

"Kenapa katamu?"

Faleon sedikit tertunduk karena pertanyaan dari Riyan. Sesaat kemudian, ia mengangkat wajahnya yang menatap rumput halaman belakang istana ini dan menatap Riyan dengan sorot mata tajam.

"Apa kau berpikir semua yang kudengar waktu itu adalah kebohongan belaka darimu? Dengan reaksi yang mendambakan kehadiran seseorang untuk menemanimu itu!? Jangan bercanda!"

"Semua itu hanyalah kebohongan yang kukatakan karena ada Tifania di depan pintu perpustakaan menguping pembicaraan itu."

"Kau sadar!? Aku saja tidak sadar! Jangan berbohong lebih dari ini, Riyan!"

"Siapa yang berbohong padamu, jenderal? Aku mengatakan hal yang sebenarnya."

Riyan kembali menyunggingkan senyum tipisnya yang ditujukan untuk Faleon. Walau begitu, Faleon tetap berada di pendiriannya dan terus berusaha menghancurkan kedok Riyan.

"Aku juga tidak memerlukan apa yang namanya teman. Mereka hanyalah alat bagiku, tidak peduli siapa orangnya, termasuk kau, jenderal."

Mendengar itu, Faleon sedikit terkejut. Ia hendak melangkah maju memberi sebuah pukulan peringatan, tapi niat itu ia urungkan melihat sesuatu yang tak biasa dari Riyan. Ia hanya melontarkan senyum kecil kepada Riyan, sebelum akhirnya suara lembutnya terdengar.

"Kau dapat berbohong dengan kata-kata, tapi hati takkan bisa mengelak dari kebenaran, Riyan."

"Hah?"

Srr...

"A-apa ini?"

Menyadari air yang mengalir di pipinya, Riyan terlihat kebingungan. Matanya dipenuhi dengan air yang menghalangi pandangannya. Secara tidak sadar, ia telah mengeluarkan dan menunjukkan isi hatinya pada Faleon.

"Air mata? Milikku? Ada apa denganku?"

Ia berusaha menghapus air matanya, tapi tetap saja jatuh ke tanah. Faleon yang melihat Riyan seperti itu tersenyum. Selama ini, ia tidak pernah melihat ekspresi apapun dari Riyan, kecuali wajah datarnya, wajar jika ia merasa senang. Riyan selalu memendam perasaannya selama bertahun-tahun, Faleon lega dengan itu.

"Kau terlalu memikirkan orang lain sehingga kau tak peduli bagaimana perasaanmu. Memang kau dapat menahannya, tapi pada waktunya hatimu akan menjerit, seperti saat ini."

Ia berjalan mendekati Riyan dan menepuk-nepuk punggungnya sambil mengatakan itu. Riyan masih mengusap air matanya, sampai beberapa menit kemudian berhenti. Setelah itu, mereka berdua berjalan kembali ke gedung dimana para pahlawan tinggal.

***

Di kamarnya, Tifania mengurung diri tanpa ada seorang pun yang menemani dirinya. Ia membenamkan wajahnya di guling empuk yang ia peluk di atas kasur sambil berbaring.

"Apa-apaan itu... sebenarnya? Kenapa... kenapa Riyan berbohong pada waktu itu? Kepada jenderal Faleon, kepadaku. Aku tahu kalau aku tidak sengaja mendengarnya, tapi mustahil jika Riyan dapat menyadariku yang menguping di luar dari dalam."

Air matanya mengalir membasahi guling yang ia peluk itu.

Di tempat lain, di sebuah ruangan, Remia juga melakukan hal yang kurang lebih sama dengan Tifania. Ia menangis, tapi bukan seperti Tifania yang dibohongi, melainkan menyesal karena telah berteman dengan Riyan.

Tersedia di wattpad dengan judul dan pengarang yang sama~

Galih_Gatescreators' thoughts
Next chapter