webnovel

4. Teman Pertama

"Haaahh!!"

Traaakk! Traaakk!!

Sudah hampir sebulan sejak kedatangan Riyan dan yang lainnya ke dunia ini dan ia terus saja berlatih. Walau tidak dapat mempengaruhi status, tapi Riyan terus saja berlatih pedang dengan Faleon untuk menambah kemampuan dasarnya.

Faleon mengajaknya untuk berlatih agar kemampuan dasar dalam berpedangnya dapat memumpuni. Memang tidak menambah status miliknya, Riyan berlatih pedang dengan Faleon agar ia dapat membela dirinya sendiri dari bahaya yang berada di sekitarnya. Akan fatal jika ia terkena serangan sedikit saja karena parameter nyawanya hanya 16 poin, itu mengerikan.

Traaakk!!

Ayunan kuat dari Faleon mementalkan pedang kayu yang Riyan gunakan. Melihat itu, ia sedikit terkejut. Pedang kayunya terlempar beberapa meter ke belakang sehingga tidak mudah untuk mengambilnya dengan cepat. Ia perlu mengalihkan perhatian Faleon terlebih dahulu agar tidak mendapat serangan dari belakang saat ia berusaha mengambil pedang kayunya.

"Hah... hah... hebat sekali, Riyan, hanya dalam 2 minggu kau dapat mengimbangiku sampai sini."

"Te-terima kasih..."

Bersama nafas yang tak beraturan, keduanya saling menatap mata satu sama lain. Faleon mengetahui bahwa Riyan sangat cepat mempelajari sesuatu, tapi ia tak menyangka jika Riyan juga dapat dengan mudahnya mempelajari gerakan fisik hanya dalam 2 minggu.

Dengan adanya skill [Comprehension], Riyan juga bisa mempelajari berbagai hal yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Buktinya ia mampu mengimbangi permainan pedang Faleon, padahal baru berlatih sekitar 2 minggu.

"Latihan untuk hari ini cukup sampai sini dulu..."

"Ya..."

Bruukk...

Setelah Faleon menyatakan itu, merek berdua ambruk terduduk di atas rumput karena sangat lelah. Mereka telah berlatih sekitar 1 jam sejak dimulai, itu hal yang wajar jika mereka kelelahan seperti ini. Untuk Riyan yang tidak terbiasa dengan gerakan tubuh, ia jauh lebih lelah daripada Faleon yang telah berlatih pedang selama lebih dari 7 tahun.

"Tidak ada yang melihat, kan?"

"Ya, kau tenang saja, mereka juga sedang berlatih di halaman depan."

"Baguslah..."

Sambil menghela nafas lega, Riyan merebahkan tubuhnya ke rerumputan halaman. Mereka berlatih di halaman belakang istana karena keinginan Riyan sendiri. Ia tidak ingin latihan ini diketahui oleh teman-temannya karena pasti akan memperburuk keadaannya dengan para murid.

Kadang-kadang, mereka juga berlatih di hutan dan berburu monster-monster lemah agar level Riyan sedikit naik. Para murid lainnya telah berada di sekitar level 16 dan 20, sedangkan Riyan masih berada di level 6. Itu karena Riyan tidak dapat menaklukkan seekor monster sendirian dan tidak ada yang mau menemaninya berburu, kecuali Faleon.

Status Riyan yang luar biasa lemah itu membuatnya hampir mustahil mengalahkan makhluk terlemah sekalipun. Makhluk terlemah di dunia ini memiliki poin nyawa sekitar 20 dan kekuatan fisik sekitar 4 poin. Jika Riyan terkena serangan dari makhluk tersebut sebanyak 4 kali, maka habislah sudah.

Faleon membantunya menaikkan level dengan cara mengurangi nyawa monster dan menerima semua serangan sekaligus melindunginya, lalu Riyan akan menyelesaikan serangan terakhir agar levelnya bertambah. Tidak ada parameter experience di dunia game, tapi hanya ada angka yang menunjukkan level. Semua itu tidak bisa diperkirakan.

"Riyan, apa kau tidak apa-apa dengan ini?"

"Hm? Apanya?"

"Kau tahu, kau selalu dijauhi oleh teman-temanmu kecuali 5 orang yang peduli padamu. Aku khawatir jika mentalmu akan terpengaruh."

"Aku sudah mengatakannya, aku tidak bermasalah dengan itu."

Sambil menjawab dengan nada sedikit marah, Riyan menatap tajam mata Faleon. Karena mendengar jawaban Riyan yang kesal tersebut, Faleon langsung mengundurkan diri dari pertanyaan sebelumnya. Ia takut kalau Riyan akan lebih kesepian saat ia tidak bersamanya.

Ia menatap langit biru, jalur awan putih bergelombang berlayar bebas di atasnya. Bukannya Riyan tidak merasakan apa-apa, ia hanya menekan semua emosinya agar tidak keluar. Sebenarnya, Riyan marah dan benci dengan kesalahpahaman yang membuat jarak besar antara dirinya dengan teman-temannya itu.

'Hah... andaikan bukan aku yang disuruh mengumpulkan angket kesiswaan pada waktu itu, aku pasti tidak akan mendapat perlakukan seperti ini.'

Memang Riyan sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini dari teman-temannya, tapi ia tetap bisa merasakan emosinya sendiri yang selalu ia sembunyikan jauh di lubuk hatinya. Riyan adalah manusia biasa yang dapat merasakan kemarahan dan perasaan-perasaan negatif lainnya, tidak mungkin ia tak merasakan hal seperti itu.

Setelah itu, Faleon bangkit berdiri dan berjalan menuju halaman depan.

"Aku akan mengecek latihan mereka yang ada di depan. Beristirahatlah dengan baik, Riyan."

"Ya, terima kasih atas bimbingannya hari ini."

Sambil melangkah menjauhi Riyan, ia melambaikan tangan kanan padanya tanpa menoleh ke belakang.

Beberapa saat kemudian, Riyan juga bangkit dari istirahatnya.

"Kalau begitu, aku akan beristirahat di kamar."

Ia berjalan memasuki gedung untuk para murid yang dipanggil menjadi pahlawan yang terpisah dengan istana dan hendak menuju kamarnya. Di kamarnya ia dapat beristirahat dengan leluasa dibanding halaman ini karena kemungkinan ada murid lain yang melihatnya lalu memberi cacian yang menyayat hatinya lebih banyak lagi.

***

Saat makan malam, Riyan sengaja membawa makanannya dan duduk di halaman istana bagian samping dengan alas rumput hijau. Alasan kenapa ia makan di luar, itu karena ia ingin melihat langit malam yang biasa ia pandang. Langit hitam dengan gemerlap kilau sinar bintang di sana-sini memenuhi pemandangan Riyan.

Ia menaruh piring makannya yang telah kosong di samping kepalanya. Sambil berbaring santai, ia menatap langit malam. Baginya, melihat langit yang dipenuhi bintang seperti ini sangat menenangkan jiwa. Seluruh bebannya seakan-akan hilang tanpa bekas, termasuk semua emosi yang ia rasakan hari ini.

Angin sepoi-sepoi malam menerpa tubuhnya secara perlahan, tapi tidak membuatnya kedinginan. Ia menikmati terpaan angin malam tersebut dan keadaannya saat ini. Waktu tenang seperti ini tidak ia dapatkan setiap saat, maka dari itu ia ingin menikmati suasana ini selama mungkin.

Pyaarrr!

Dan pada saat itu juga, air dengan volume kira-kira seember penuh mengguyur tubuhnya yang tengah berbaring santai itu. Karena air sebanyak itu tiba-tiba datang menimpa tubuhnya, Riyan langsung bangun dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Hahahaha! Lihat wajahnya itu!"

"Widih, jarang-jarang bisa melihat ekspresinya yang seperti itu, hahaha!"

"Bwahaha! Ternyata dia juga manusia, kupikir dia itu jelmaan iblis karena ekspresi datar dan matanya itu, hahaha!"

""Hahaha!!""

Ketika ia menoleh ke belakang, sekelompok murid laki-laki berjumlah sekitar 8 orang menertawainya terang-terangan. Mereka adalah sedikit dari murid yang menindas dan mengejek Riyan sejak dulu. Salah satu dari mereka yang mengerahkan sihir air yang telah dipelajari untuk mengguyur Riyan itu.

Riyan hanya dapat melihat mereka dengan tatapan tajam serta kemarahan yang ia tahan. Saat menyadari tatapan Riyan, mereka langsung melihatnya kembali, kali ini dengan tampang preman.

"Apa yang kau lihat, pecundang!?"

"Mau berkelahi, hah!?"

Mereka berjalan pelan mendekati Riyan yang telah berdiri siap menerima apa yang ia tabur. Memang bukan ia yang salah, tapi kesalahannya terletak pada tatapan tajam yang secara tidak sadar ia arahkan kepada mereka.

"Berhenti!"

Saat mereka sudah berada sekitar 3 meter dari Riyan, sebuah suara familiar menghentikan langkah mereka dalam sekejap. Mereka menoleh ke sumber suara tersebut dan terkejut melihat siapa itu. Yang menghentikan mereka adalah Tifania, gadis pujaan hampir seluruh murid laki-laki.

Ia berdiri di belakang mereka dengan ekspresi kesal dan kedua tangan yang ditempatkan di pinggangnya. Ia menatap tajam kedelapan orang yang ingin menghajar Riyan. Karena kemunculan Tifania, mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan Riyan.

Setelah situasi aman, Tifania berjalan mendekati Riyan.

"Riyan, kau tidak apa-apa? Ada yang terluka?"

"Tidak, aku tidak apa-apa. Kau tak perlu mengkhawatirkanku, Tifania."

Mendengar Riyan tidak terluka, Tifania menghela nafas lega yang berat. Hanya baju serta celana yang dikenakan oleh Riyan yang basah, selain itu tidak ada tanda-tanda bahwa ia sudah dipukuli atau semacamnya.

"Ayo masuk, Riyan, di sini dingin. Aku sih tidak apa-apa, kalau kamu bisa demam karena pakaianmu yang basah itu."

Saat Tifania menyelesaikan kalimatnya, Riyan melihat ke arah tubuhnya. Entah kenapa, ia sendiri tidak sadar kalau bajunya sendiri basah. Ia hanya memasang senyum masam karena itu. Ia mengambil piring bekas makannya dan berjalan bersama menuju dalam gedung.

Lorong dan ruang makan telah sepi karena hampir semua murid berada di kamarnya masing-masing, dan ada beberapa yang masih berkeliaran di luar, entah sedang apa. Tifania berjalan lurus menuju kamarnya, sedangkan Riyan melangkahkan kakinya ke dapur untuk meletakkan piringnya itu.

Di dapur, ia melihat seorang gadis berambut cokelat kehitaman di yang tengah berada di sekitar usia 18 tahun dengan celemek putih sedang mencuci beberapa tumpuk piring sendirian. Gadis itu terlihat lelah, tapi ia tetap melakukan pekerjaannya dengan benar.

"Permisi, aku datang untuk membereskan peralatan makanku."

"Kyaa!!"

Mendengar suara Riyan yang tiba-tiba muncul dari belakang tanpa diketahui, sontak saja ia berteriak karena terkejut. Karena hawa keberadaan Riyan yang lemah, ia menjadi sulit disadari oleh orang lain.

"Ah, kamu... bikin orang jantungan saja sih."

"Maaf."

Riyan menunduk sedikit untuk beberapa saat. Gadis itu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti karena dikejutkan Riyan dari belakang tanpa tanda-tanda sama sekali.

"Letakkan saja di sana, kau bisa beristirahat."

Mendengar itu, Riyan bukannya menuruti perkataan gadis tersebut, ia malah mendekati gadis itu, lalu mengambil beberapa piring kotor yang bertumpuk dan berdiri tepat di samping gadis tersebut. Ia meletakkan tumpukan piring kotor itu di tempat cucian dan mulai mencuci.

Melihat apa yang dilakukan oleh Riyan, gadis itu terkejut dan mulai bertanya-tanya.

"E-eh? Apa yang kau lakukan?"

"Hm? Aku membantumu mencuci piring."

Mendengar jawaban dari Riyan, gadis itu lebih terkejut lagi. Seorang pahlawan yang dipanggil dari dunia lain membantu pekerjaan seorang pelayan? Itu sangat tidak mungkin.

Secepat mungkin, gadis tersebut mendorong Riyan sedikit dengan maksud menyuruh Riyan pergi dari dapur ini, tapi ia tidak bergerak. Riyan tetap melakukan apa yang ia lakukan dan tidak menghiraukan si gadis.

Walau berkali-kali di dorong, Riyan tidak bergeming. Akhirnya gadis itu mengalah dan membiarkan Riyan membantu pekerjaannya. Setelah kira-kira 20 menit lamanya, piring-piring kotor telah selesai dicuci bersih. Dengan bantuan Riyan, pekerjaan gadis itu 2 kali lebih cepat dari biasanya.

Saat semua piring kotor selesai dicuci, Riyan langsung berjalan keluar hendak menuju kamarnya, tapi langkahnya langsung terhenti begitu panggilan gadis tersebut dari belakang.

"A-anu..."

Riyan menoleh ke belakang dan melihatnya dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Gadis itu sedikit takut dengan sorot mata Riyan, tapi ia tidak menunjukkan apa yang ia rasakan saat ini secara langsung. Dengan sedikit malu-malu, ia mengangkat suaranya pelan.

"Te-terima kasih..."

Mendengar ucapan 'terima kasih' dari seseorang, Riyan cukup gembira. Jarang sekali ia mendapat kalimat tersebut, bahkan mungkin hanya sekitar 5 kali dalam setahun di kehidupan sebelumnya. Tapi ia tetap menunjukkan ekspresi datarnya seperti biasa. Riyan tidak pandai dalam mengekspresikan suatu karena kehampaan yang mendekam hatinya selama bertahun-tahun.

Riyan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi seperti mengabaikan gadis tersebut. Tapi kakinya kembali terhenti karena gadis itu lagi.

"Anu... kalau boleh tahu, siapa namamu?"

Riyan sempat terdiam, tapi ia segera menjawabnya dengan pertanyaan yang menyindir, bukan jawaban yang diharapkan.

"Bukankah lebih baik mengenalkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum menanyakan nama orang lain?"

Mendengar kalimat tersebut keluar dari bibirnya, gadis itu sedikit tergagap. Ia benar-benar lupa dengan tata krama tersebut karena saking penasarannya. Tentu saja, tidak ada pahlawan yang berniat membantu seorang pelayan, itu sangat menarik rasa penasarannya.

Gadis itu langsung menundukkan kepala serta tubuhnya sampai 90 derajat sambil meminta maaf berkali-kali.

"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku!"

Melihat hal ini, Riyan sedikti bingung. Kenapa harus membungkuk sampai seperti itu dan meminta maaf sebanyak itu? Yah, ini adalah hal yang tidak terlalu ia mengerti. Pada dasarnya, para murid yang dipanggil dari dunia lain ke dunia ini memiliki kuasa sebagai bangsawan, Alestein yang secara langsung memberi wewenang pada mereka sejak hari pertama.

"Kau tidak perlu meminta maaf sampai seperti itunya. Berdirilah seperti biasa dan perkenalkan dirimu dengan baik, itu saja."

"Ba-baik!"

Mendengar suara Riyan yang memintanya berdiri seperti biasa, gadis tersebut langsung menegakkan tubuhnya kembali seperti semula. Ia tidak tahu kenapa Riyan menyuruhnya begitu, tapi ia merasa lega karena tidak dihukum. Biasanya pelayan yang kurang ajar kepada bangsawan akan dihukum, karena itu sama dengan penghinaan.

"Namaku Remia Selvyan..."

Dengan sedikit rasa takut yang mengambang di sekitarnya, ia mengenalkan dirinya sendiri pada Riyan. Sudah sewajarnya, itu karena sangat jarang ada bangsawan yang pernah menanyakan nama seorang pelayan, kecuali bangsawan tersebut ingin mengambil pelayan itu sebagai 'mainan'-nya.

"Aku Riyan Klaint."

"Riyan... Klaint..."

Melihat Riyan yang tersenyum padanya itu, wajah Remia sedikit memerah. Ia tidak pernah melihat, mendengar, atau melihat bangsawan seperti Riyan. Memang Riyan bukanlah bangsawan, tetapi ia dan para murid lainnya dianggap bangsawan oleh kerajaan Alivonia.

"Kau tidak perlu segan seperti itu padaku, aku tidak seperti teman-temanku lainnya, aku hanyalah seorang penduduk biasa."

Mendengar kalimat yang terlontar dari Riyan, Remia sangat terkejut. Yah, itu sudah pasti. Karena itu permintaan dari seorang bangsawan, ia ingin menurutinya, tapi itu juga salah satu tindakan yang tidak sopan.

"Ba-baiklah, tuan Riyan."

"Tidak usah pakai 'tuan'."

"Ba-baik!"

Karena Riyan sedikit menekan suaranya, Remia terlihat takut dan menjawabnya dengan refleks.

Setelah itu, Riyan berjalan keluar dari dapur menuju kamarnya yang sempat terhenti tadi. Remia yang melihat punggung laki-laki bermata tajam tersebut hanya dapat mengaguminya. Ia tidak pernah bertemu dengan seorang bangsawan seperti Riyan, mungkin kekaguman saja tidak cukup untuk menggambarkan apa yang ia rasakan.

"Riyan Klaint, dia orang baik."

Sambil merebahkan tubuhnya di atas kursi yang ada di sana, ia menggumamkan itu. Walau Riyan memiliki mata tajam dan terkesan tidak peduli dengan lingkungannya, ia adalah orang yang baik, menurut Remia, karena pada dasarnya Riyan memang orang baik.

*keterangan : tanda petik satu (') menandakan karakter tertentu sedang berbicara dalam hati

Tersedia di wattpad dengan judul dan pengarang yang sama~

Galih_Gatescreators' thoughts
Next chapter