webnovel

2. Status Kekuatan

Saat ini para murid dibiarkan beristirahat sampai waktu makan siang, jadi Riyan dan yang lain berada di kamarnya masing-masing untuk beristirahat dan mengolah informasi yang baru saja mereka terima. Riyan berbaring di kasurnya sambil menatap langit-langit mengingat rasa sakit yang datang tiba-tiba saat mendengar nama Alestein tadi.

"Apa itu tadi?"

Sejauh yang ia tahu, ia tidak pernah mengalami sakit kepala mendadak seperti itu, karena itulah saat ini ia benar-benar kebingungan. Pikirannya melayang ke sana kemari memikirkan keluarganya yang menunggu dirinya di rumah dengan hidangan makan malam yang telah disiapkan di atas meja. Ia harus meminta maaf kepada keluarganya karena menghilang mendadak tanpa izin terlebih dahulu.

Ia berdiam diri di kamar sambil mengolah informasi-informasi yang ia dapat dari penjelasan panjang lebar Alestein di meja yang penuh dengan kertas dan pena. Kertas di dunia ini terbuat dari bahan dan proses yang sama seperti di dunianya dulu, sedangkan penanya terbuat dari bulu angsa yang telah diolah sehingga dapat digunakan untuk menulis.

Tanpa ia sadari, matahari telah berada di tengah langit menunjukkan puncak siang sedang terjadi. Ia menghabiskan hampir empat lembar kertas untuk menuliskan semua informasi penting yang ia ingat dan meletakkannya di atas meja, lalu membacanya secara perlahan. Pada saat itu juga, Faleon datang memasuki kamarnya.

"Riyan, sudah waktunya makan siang."

"Ya, tunggu sebentar."

Riyan tidak terlalu terkejut akan hal ini karena ia sadar bahwa sebentar lagi memang waktunya makan siang. Ia membereskan kertas-kertas yang berhamburan di mejanya dan menumpuknya menjadi satu agar tidak memakan banyak ruang. Setelah selesai, ia berjalan mengikuti Faleon yang berjalan membimbingnya menuju ruang makan.

Sesampainya mereka di sana, para murid sedang menyantap makan siang mereka dengan lahapnya di meja-meja bundar yang dapat memuat 6 orang sekaligus. Sepertinya mereka telah menerima kenyataan bahwa tidak ada jalan untuk kembali ke dunia asal mereka dan menjadi penduduk kerajaan Alivonia ini. Riyan bergabung dengan mereka di meja lain yang lumayan jauh, tapi seperti biasanya, ia duduk terasingkan oleh teman-temannya karena masa lalunya.

"Riyan, apa kau sendiri?"

Sebuah suara yang menyapanya terdengar dari belakang. Seketika itu juga seluruh perhatian para murid tertuju kepada Riyan dan orang yang berbicara padanya. Yang berbicara dengan Riyan adalah seorang gadis cantik berambut cokelat yang sedikit pirang panjang dengan mata cokelat menawan.

"Tifania?"

Bukan hanya murid yang terkejut, tapi Riyan pun ikut terkejut. Selama ini tidak ada yang pernah menyapa, apalagi berbicara dengannya saat di kelas, jadi ia cukup terkejut melihat gadis tercantik di kelasnya menyapa dirinya yang sedang duduk bersiap menyantap menu makan siang di depannya.

Tifania Raenhill, murid primadona di SMA yang ditempati Riyan. Jika ada kontes kecantikan yang digelar di sekolahnya, maka Tifania pasti akan selalu menjadi juara ataupun runner up. SMA swasta yang ditempati Riyan terdapat gadis-gadis cantik, tapi Tifania berdiri di atas mereka semua. Parasnya membuat semua murid bertekuk lutut, baik itu laki-laki maupun perempuan.

"Apa sebelahmu kosong?"

"Eh? Iya."

"Kalau begitu, boleh aku duduk di sampingmu?"

"Kenapa?"

"Hm? Tempat duduk yang lain sudah penuh, jadi aku tidak dapat duduk di meja dan menikmati makan siang yang telah disiapkan oleh yang mulia Alestein."

Kemudian Riyan melihat ke sekelilingnya untuk memastikan apakah benar yang dikatakannya. Ketika ia memeriksa, tempat duduk yang lain memang sudah penuh. Karena itu, ia menghela nafas dan mengangguk kecil menandakan persetujuan. Lalu Tifania duduk di sampingnya dan mulai mengambil makanan yang terdapat di meja tersebut.

Memang mejanya terpisah-pisah, tapi menu makanannya tetap sama, tak ada yang berbeda. Kebanyakan menu adalah daging, roti, sup, dan sayur mayur, tak ada nasi. Mungkin karena beras memang belum di temukan atau para penduduk dunia ini tidak tahu cara mengolahnya dengan benar. Mengikuti Tifania, Riyan juga mengambil makanan secukupnya.

Selagi mereka berdua makan di meja yang sama, hampir seluruh murid merasa sangat iri dan kesal melihat seorang Riyan Klaint sedang makan siang berdua dengan gadis tercantik di kelasnya, Tifania Raenhill. Walau begitu, mereka tetap melanjutkan makan siang mereka dengan tenang tanpa keributan yang berarti. Hanya suara obrolan yang terdengar di sana-sini, sebagian besar tentang Riyan dan Tifania yang sedang makan berdua.

"Hei, Riyan."

"Hm? Ada apa?"

"Apa kau kesepian?"

Riyan yang sedang menelan roti bersamaan dengan sup itu tiba-tiba tersedak karena pertanyaan dari Tifania yang mengejutkannya.

"Uhuk! Uhuk!"

"Ri-Riyan, ka-kau tidak apa-apa?!"

Tifania panik seketika melihat Riyan yang tersedak seperti itu. Ia mengambil segelas air mineral dan memberikannya pada Riyan dengan sedikit panik. Riyan menerima segelas air tersebut dan meminumnya, lalu ia mengambil nafas dalam-dalam.

Ia meletakkan gelas tersebut ke atas meja dan kembali duduk tegak. Ia menghela nafas sedikit dan menatap piring makan siangnya dengan sedikit senyum masam. Tifania yang melihat Riyan berekspresi seperti itu panik. Ia mengira bahwa Riyan marah karena pertanyaan tersebut menyinggung perasaannya.

"Apa kau marah?"

Tifania bertanya dengan wajahnya yang tertunduk tak berani menatap Riyan. Jika memang benar Riyan marah, maka ia takkan mengusiknya lagi, itu yang ia pikirkan.

"Tidak, hanya saja aku terkejut ada orang yang menanyakan itu. Selama ini tak ada yang pernah menanyakan itu padaku."

Mendengar pernyataan mengejutkan dari Riyan, Tifania terkejut dengan matanya yang terbelalak. Yang dikatakan Riyan adalah kebenaran. Tidak ada yang pernah menanyakan hal itu, termasuk pamannya sendiri.

Orang tuanya telah lama meninggal karena kecelakaan 8 tahun lalu. Ia dan adik perempuannya ditinggal mati oleh keduanya. Pamannya, adik dari ibu Riyan, mengambil mereka berdua dan mengurus kehidupan mereka sejak saat itu sampai saat ini. Walau begitu, pamannya tidak berniat mencampuri kehidupan sekolahnya, itu karena ia harus mengurusnya sendiri.

"Kenapa?"

"Entahlah, aku juga tidak tahu."

Riyan menjawabnya spontan dengan senyum masam yang melengkung menghiasi wajahnya. Setelah berbicara sebentar, mereka kembali melanjutkan makan siang. Di antara semua pahlawan yang dulunya murid di dunia lain itu, yang paling menarik perhatian adalah mereka berdua, paling tidak untuk saat ini.

***

Setelah makan siang, para murid diarahkan menuju lapangan oleh pasukan kerajaan, termasuk Faleon. Sesampainya di lapangan, ada seorang pria yang tengah menunggu. Dari pakaian yang ia kenakan, kelihatannya ia bukanlah pasukan kerajaan.

"Selamat siang, namaku adalah Tria Holand, ketua serikat petualang."

Sembari membungkukkan tubuhnya sedikit, salah satu perempuan berambut cokelat pirang mengenalkan diri dengan sopan. Setelah beberapa saat, ia kembali menegakkan tubuhnya.

"Aku kemari karena diminta oleh yang mulia Alestein untuk mengukur seberapa kuatnya kalian, wahai para pahlawan yang datang dari dunia lain."

Mendengar hal ini, tentu saja para murid terkejut. Mereka tidak tahu jika akan ada pengukuran kekuatan seperti ini. Dijelaskan oleh Alestein bahwa mereka yang dipanggil dari dunia lain memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari penduduk asli dunia ini, tapi tetap saja hal itu harus tetap dipastikan.

Tria mengeluarkan sebuah bola kristal dari tas yang ia bawa tersebut dan duduk di rumput lapangan istana. Melihat hal ini, para murid juga secara otomatis duduk di rumput mengikutinya. Para prajurit agak terheran-heran dengan tindakan pahlawan-pahlawan mereka itu.

"Majulah satu persatu dengan tertib dan turuti ucapanku agar proses ini mengukur kekuatan ini dapat berjalan dengan lancar."

Setelah mendapat instruksi dari Tria, Gilbert maju mendahului teman-temannya untuk memastikan apakah berbahaya atau tidak. Di antara semua murid-murid, yang memiliki keberanian paling besar adalah Gilbert.

"Apa ini tidak berbahaya?"

"Oh, tidak sama sekali. Tapi kalian harus sedikit merasakan sakit agar data tentang kekuatan kalian dapat terekam dengan sempurna."

"Baiklah."

Lalu Tria menyuruh Gilbert untuk meletakkan kedua tangannya di atas bola kristal tersebut. Gilbert melakukan apa yang harus Tria suruh dengan yakin tanpa keraguan sedikit pun. Hatinya agak waswas, tapi ini demi teman-temannya yang tidak terbiasa dengan dunia ini.

"Akh..."

Setelah beberapa saat, Gilbert merasakan sakit di telapak tangannya untuk sesaat. Karena sakit tersebut, ia langsung melepas genggaman tangannya dari bola kristal itu. Kemudian, bola kristal yang ada di hadapannya itu bersinar terang dan mati dalam sekejap.

"Apa yang baru saja terjadi?"

Gilbert dan para murid kebingungan dengan apa yang barusan mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Tidak ada jawaban dari Tria yang sedang fokus ke bola kristalnya. Selesai fokus, ia mengambil sebuah gelang besi tipis yang kelihatannya terbuat dari alumunium dan memberikannya kepada Gilbert yang tengah penasaran.

"Ambil ini dan pakailah, lalu konsentrasikan pikiranmu ke gelang tersebut dan ucapkan [Status]."

Gilbert melakukan apa yang dikatakan oleh Tria.

"[Status]"

Zwuunngg...

Saat ia mengucapkan kata tersebut, muncullah sebuah layar hologram yang sedikit tembus pandang seukuran kertas F4. Gilbert terkejut melihat hal ini, sama seperti para murid lainnya yang terlihat tertarik dengan gelang besi tersebut.

"Apa ini?"

"Itu adalah kekuatan serta kemampuanmu di dunia ini."

Mendengar ucapan Tria, Gilbert tertegun. Apa yang ia lihat adalah sesuatu yang tidak pernah ada di dunia mereka sebelumnya.

---

Nama : Gilbert Arkbell

Ras : Human

Kelas : Hero

Level : 0

Nyawa : 80/80

Mana : 40/40

Kekuatan Fisik : 90

Kekuatan Sihir : 30

Ketahanan : 50

Atribut : Cahaya, Penguatan, Api

Skill : Appraisal, Comprehension, Sword Disciple, Power Booster, Slash, Rotation Slash, Vixion Slash, Auto-Counter

---

Melihat status milik Gilbert, Tria dan seluruh orang yang hadir di sana, kecuali para murid, terkejut. Mereka seperti tidak pernah melihat sesuatu yang seperti ini, padahal kenyataannya memang benar.

"Apa statusku ini bagus?"

Sebuah pertanyaan bodoh dilontarkan oleh Gilbert kepada Tria dan langsung dijawab olehnya.

"Benar-benar pahlawan, bahkan masih di level nol seperti ini kekuatannya sudah seperti level 10."

"Eh?"

Tentu saja, mereka adalah pahlawan yang dipanggil dari dunia yang lebih kuat, tidak mungkin statusnya sama seperti penduduk dunia asli ini. Karena melihat itu, para murid lainnya menjadi sangat bersemangat untuk mendapat gilirannya. Mereka berbaris dengan rapi untuk mendapatkan gelang besi yang dapat menunjukkan kekuatan mereka.

Satu demi satu, mereka mendapatkan gelang besi mereka masing-masing. Dari 10 murid yang telah menerima gelang besinya, belum ada satu pun yang memiliki status yang dapat menyaingi Gilbert.

"Oh, yang ini juga bagus."

Saat Tria mencetuskan itu, seluruh perhatian murid terpusat kepada seorang gadis yang baru saja mendapat gelang besinya.

---

Nama : Tifania Raenhill

Ras : Human

Kelas : Healer

Level : 0

Nyawa : 70/70

Mana : 60/60

Kekuatan Fisik : 20

Kekuatan Sihir : 120

Ketahanan : 70

Atribut : Cahaya, Penyembuh

Skill : Appraisal, Heal, Area Healing, Angel Bless, Magician Disciple, Magic Transfer, Life Boost

---

Semua perhatian murid dan prajurit terengut oleh Tifania. Para prajurit melepas kekhawatiran melihat seseorang yang memiliki kemampuan serta kelas penyembuh. Kemampuan penyembuh sangat dibutuhkan untuk menyembuhkan petarung yang bertarung di garis depan. Dengan ini, Tifania menjadi salah satu aset yang berharga bagi mereka.

Setelah sedikit keributan itu mereda, akhirnya mereka semua para murid mendapatkan gelang besi mereka masing-masing.

Yang terkuat di antara mereka adalah Gilbert, Yushu, Corona, Graham, Rizu, dan Hendra. Mereka adalah enam orang terkuat di antara para murid yang dipanggil menuju dunia ini sebagai pahlawan. Selesai pengukuran kekuatan tersebut, para murid kembali ke dalam istana dan merayakan ini.

Saat Tria hendak membereskan bola kristalnya, berdirilah seorang pemuda berambut hitam dan mata berwarna cokelat yang wajahnya terlihat tidak berekspresi.

"Permisi, saya belum mendapatkan gelang."

"Eh?"

Mendengar pernyataan dari pemuda itu, Tria terkejut. Pemuda yang belum mendapatkan gelang besi tersebut adalah Riyan, seorang pemuda yang hampir selalu terabaikan dan tak terlihat oleh orang lain.

"Be-benarkah?"

"Ini buktinya."

Riyan mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan bahwa tidak ada gelang apapun yang ia kenakan. Tria yang melihat itu menghela nafas sedikit, kemudian tersenyum sambil kembali mengambil bola kristal yang belum ia masukkan sepenuhnya ke dalam tas.

"Maafkan aku, aku tidak mengira bahwa masih ada yang belum dapat."

"Itu tidak apa-apa."

Kemudian Tria menyuruh Riyan melakukan hal yang sama seperti yang teman-temannya lakukan sebelumnya. Setelah merasakan sedikit sakit, ia langsung menarik telapak tangannya dari bola kristal tersebut. Tria hanya tersenyum masam melihat reaksi yang sama berkali-kali selama lebih dari setengah jam.

Beberapa saat kemudian, Tria memberikan sebuah gelang besi pada Riyan. Tanpa ragu-ragu, Riyan mengambil gelang tersebut dan memasangnya di tangan kirinya.

"[Status]"

Zwuungg...

Saat ia mengucapkan kalimat aktifitasinya, layar hologram mengambang di atas pergelangan tangannya menunjukkan status miliknya. Karena hanya tersisa mereka berdua di lapangan istana, mereka berdua terkejut melihat status milik Riyan yang tidak bisa dipercaya. Tria benar-benar terbelalak melihatnya.

Tersedia juga di wattpad dengan judul dan pengarang yang sama~

Galih_Gatescreators' thoughts
Next chapter