8 Tepukan Bahu

Haya dan pria tinggi itu berlari menyelamatkan diri. Mereka berlari ke jalanan sempit di sebelah klub malam.

Ketika sedang berlari, mereka berdua baru sadar kalau ada seseorang yang mengejar mereka di belakang. Itu salah satu anak buah Ibas!

Anak buah Ibas yang mengejar Haya itu memiliki tubuh besar dan ia membawa tongkat besi. Matanya penuh dengan kemarahan.

"Sial!" umpat Haya.

Kenapa pria itu mengejarku, batin Haya kesal dan takut.

Haya semakin erat menggandeng pria tinggi di sebelahnya. Ia mengajak pria itu berlari menyusuri gang. Sepi sekali. Entah kenapa Haya merasa aneh dengan daerah sekitar klub malam ini. Kenapa sangat sepi seperti tidak ada warga yang tinggal di daerah ini.

Otak Haya berpikir keras. Apa yang harus dilakukan untuk melawan pria itu?

Tiba-tiba Haya ada ide. Di depannya ada sebuah jalan bercabang. Buru-buru Haya menarik pria di sampingnya untuk berbelok ke kanan.

Lalu Haya mengajak pria tinggi itu bersembunyi di antara rongsokan besi dan ban di pinggir jalan. Mereka menunggu sampai pria itu lewat dan tidak mengejar lagi.

"Kenapa kamu gak menembak?" tanya pria tinggi di samping Haya. Rupanya pria itu memperhatikan kalau Haya membawa pistol.

"Aku gak bisa menembak. Nanti kalau ada yang terbunuh bagaimana?" Haya menimpali.

Tak beberapa lama seorang pria lewat. Ia mencari-cari keberadaan Haya dan si pria tinggi itu. Karena tidak berhasil, ia pun pergi dari jalanan sempit itu.

Akhirnya Haya dan si pria tinggi bisa bernapas lega. Mereka sudah selamat dari kejaran anak buah Ibas.

Sekalipun Haya bisa bela diri sejak kecil, ia tidak boleh sembarangan melawan musuh. Ayah dan Kapten Ji selalu berpesan untuk menghindari perkelahian jika itu memungkinkan.

"Apa kamu baik-baik aja?" tanya Haya khawatir.

Pria tinggi di sampingnya mengangguk.

Haya lalu menepuk-nepuk bahu pria itu. Ia yakin pria di sampingnya ini berpura-pura kuat.

"Kamu pasti terguncang. It's okay. Kadang dalam hidup kita bertemu hal-hal mengejutkan dan menakutkan. Tapi aku yakin kamu akan jadi orang yang lebih kuat setelah ini," Haya berusaha menghibur pria di sebelahnya.

Haya ingat kata-kata itu dari Kapten Ji. Sewaktu di akademi dulu, Haya pernah hampir jadi korban penjambretan saat perjalanan pulang menuju akademi.

Waktu itu tas sekolah Haya ditarik oleh penjahat. Haya sangat ketakutan. Dia sampai menendang si penjahat. Sayangnya penjahat itu malah balik menyerang Haya dengan pisau. Alhasil tangannya terluka.

Kalau bukan karena Kapten Ji kebetulan lewat dan melihat Haya di serang penjahat, mungkin nasibnya sudah berakhir kala itu. Kapten Ji langsung memukul dan membawa si penjahat ke kantor polisi.

Karena syok dengan kejadian yang baru menimpanya, Kapten Ji menepuk-nepuk bahu Haya sambil berkata, "kamu pasti terguncang. Tidak masalah. Hidup ini penuh kejutan, Haya. Kadang kamu akan menemui kejadian menakutkan dan mengancam nyawa. Tapi setelah berhasil melewatinya, kamu akan jadi orang yang lebih kuat lagi."

Karena itulah, Haya berusaha mempraktekan ajaran Kapten Ji. Ia tidak ingin pria di sampingnya ini trauma dan ketakutan setelah melihat adegan tembak-tembakan dan kejar-kejaran dengan penjahat.

Pria di sebelahnya memandang Haya dalam diam. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Setelah ini cepatlah pulang. Jangan ke klub malam lagi," kata Haya sambil bangkit pergi.

"Tunggu," pria itu menghentikan langkah kaki Haya. "Kamu mau kemana?"

"Kembali ke klub malam," jawab Haya.

"Bukankah itu berbahaya?"

Haya tersenyum. "Aku harus kembali. Karena aku gak bisa membiarkan rekan-rekanku kesulitan di sana."

"Tapi nyawamu bisa terancam," kata pria itu serius.

"Aku seorang polisi. Berada dalam bahaya sih udah hal biasa," kata Haya santai. Dia tidak ingin membuat seorang warga sipil ketakutan.

Tiba-tiba ponsel Haya berbunyi keras. Haya mengangkat telponnya.

"Hayaaaaaa," teriak orang di ponsel Haya dengan keras. Saking kerasnya Haya yakin pria di sebelahnya bisa mendengar jeritan itu.

"Apa kamu baik-baik aja?" tanya suara di seberang sana. Itu Erika.

"Ya, aku baik-baik aja. Kenapa?"

"Astaga. Keadaannya kacau, aku dengar beberapa polisi terluka di klub malam itu," cerita Erika dengan panik.

"Oh ya?" Haya sangat terkejut. Tiba-tiba di otaknya terlintas nama Kapten Ji. Apakah pria tua itu baik-baik saja?

"Erika, jangan panik. Aku akan mencari rekan-rekan lainnya. Nanti aku akan menghubungimu lagi. Aku harus mencari Kapten Ji sekarang," kata Haya lalu menutup telponnya.

Haya menghela napas.

"Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik ya," kata Haya lalu berlari menuju ke arah klub malam.

….

Haya berjalan mengendap-endap ke pintu belakang klub malam. Suasana dari luar klub malam masih sangat tenang.

Haya menyalakan earphone walkie talkienya lagi.

"Kapten Ji," Haya berusaha memanggil Kapten Ji. Tidak ada suara. Bahkan rekan-rekannya yang lain juga tidak menjawab.

Apakah mereka baik-baik saja, batin Haya semakin khawatir.

"Haya," tiba-tiba ada suara yang memanggil Haya dari belakang.

Haya menoleh dan melihat Ethan sedang bersembunyi di antara tanaman di belakang klub malam.

Haya pun menghampiri Ethan.

"Kamu dari mana saja? Kapten Ji tadi mencari-carimu," kata Ethan.

"Aku tadi habis menyelamatkan warga sipil," jawab Haya pelan.

"Aku sedang berusaha menghubungi kantor pusat untuk meminta bantuan. Situasinya kacau. Beberapa polisi dan pengunjung masih terjebak di sana. Ada juga polisi dan pengunjung yang sudah keluar," Ethan bercerita.

"Terjebak?"

"Iya. Banyak tembakan tadi. Sampai orang-orang tidak bisa keluar. Aku bisa keluar karena Kapten Ji memintaku menghubungi kantor pusat," kata Ethan. Wajah Ethan penuh dengan keringat.

Pasti ia lelah, batin Haya.

"Aku harus masuk ke sana," kata Haya cemas.

Ethan menggenggam lengan Haya. "Jangan. Terlalu berbahaya. Kita sebaiknya menunggu bantuan dari kantor pusat."

Haya menggeleng. "Terlalu lama, Ethan. Aku gak bisa membiarkan Kapten Ji, rekan-rekan lainnya dan para pengunjung terjebak di sana."

Tanpa mendengarkan Ethan lebih lanjut, Haya sudah berlari masuk lewat pintu belakang. Ia berjalan pelan-pelan sambil memegang pistolnya erat.

Haya mengecek semua sudut klub malam sepi. Tidak ada suara. Lalu Haya memberanikan diri menuju ruang utama klub malam yaitu lantai dansa.

Ketika hampir mendekati lantai dansa, Haya bisa mendengar jeritan dan tangisan pengunjung. Lalu ia juga mendengar beberapa kali suara tembakan. Dan setiap suara tembakan berbunyi, pengunjung menjerit kaget.

Haya menggigit bibirnya. Ia mengintip lantai dansa. Tempat itu kacau sekali. Semua pengunjung sedang tiarap di lantai. Lalu haya melihat pria-pria berbaju hitam yang merupakan anak buah si bule sedang memegang senjata dan bersembunyi di bawah meja.

Mata Haya juga melihat para anak buah Ibas yang memakai baju denim, bersembunyi di dekat rak-rak minuman.

Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahu Haya. Haya kaget luar biasa dan hampir menjerit.

"Jangan berteriak," kata orang itu sambil menutup mulut Haya dengan tangannya.

Itu Kapten Ji. Pria tua itu sudah melihat Haya sejak gadis itu masuk melalui pintu belakang.

"Kenapa kamu di sini? Bukankah tim penyamaran harusnya sudah mengamankan diri?" tanya Kapten Ji cemas sekaligus mengingatkan Haya tentang latihan silumasi tempo hari.

Saat latihan, Haya diberi tahu untuk tidak ikut membantu Divisi Inteligen menangkap musuh. Sebisa mungkin setelah tugas menyamar selesai, tim penyamaran harus segera meninggalkan TKP dan bersiap menghubungi kantor pusat kalau situasinya kacau.

"Aku ingin membantu," jawab Haya polos.

Kapten Ji geleng-geleng kepala frustasi.

avataravatar
Next chapter