1 Sebuah Awal

Segerombolan anak muda berusia 13-18 tahun di bawa masuk ke sebuah gedung tersembunyi di hutan terpencil. Mata mereka ditutup dan tangan mereka diikat.

Para anak muda itu hanya bisa mendengar suara-suara pria dewasa yang menyuruh mereka berbaris dan berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam gedung. Karena tidak tahu harus berbuat apa, mereka menurut.

Tak lama, para orang dewasa melepaskan penutup mata dan melepaskan ikatan tangan mereka. Akhirnya para anak muda bisa melihat seperti apa ruangan dalam gedung tempat mereka berada.

Ruangan itu seluas 20 meter persegi dan berlantai semen. Di dalam ruangan mereka melihat kursi-kursi kayu. Tepat di depan kursi-kursi tersebut ada sebuah kursi besar mirip seperti singgasana.

Di dalam ruangan juga sudah berdiri 5 orang pria bertubuh besar dan berpakaian hitam.

"Cepat duduk," kata salah seorang pria berbaju hitam itu.

Dengan cepat mereka mengambil kursi dan duduk tanpa banyak bertanya.

Semua anak muda itu saling pandang ke satu sama lain. Mereka bingung mengapa di bawa ke tempat seperti ini. Bukankah mereka dijanjikan pekerjaan? Mengapa mereka di bawa ke tempat seperti ini?

Lalu, seorang pria masuk. Tubuhnya tinggi menjulang Mungkin 185 sentimeter. Rahangnya tegas dan hidungnya mancung. Mereka juga melihat tubuh berotot pria itu di bungkus dengan setelan jas hitam. Sangat serasi dan menambah kesan gagah padanya.

Para anak muda itu takjub. Selama ini mereka lahir dan hidup di jalanan sehingga belum pernah melihat seorang pria memakai pakaian sebagus itu.

"Cepat beri hormat," teriak salah seorang pria berbaju hitam yang berdiri di belakang mereka.

Mau tidak mau para anak muda itu bangkit berdiri dan membungkukkan badan. Lalu mereka kembali duduk.

"Kalian tahu kenapa di bawa ke tempat ini?" tanya suara pria bersetelan hitam itu. Suaranya berat.

"Ya," jawab mereka serempak.

"Kalian ke sini karena dijanjikan sebuah pekerjaan kan?"

"Ya," jawab mereka lagi. Mereka terlalu takut untuk berkata hal lain.

Pria itu tersenyum dan duduk di singgasananya.

"Aku punya sebuah cerita. Apa kalian tahu siapa dewa kematian yang paling terkenal?" tanya pria itu.

Tidak ada yang menjawab.

"Seperti kalian tidak tahu apa. Baiklah kalau begitu," kata pria itu sedikit kecewa.

"Dahulu kala ada seorang dewa. Dia adalah anak tertua dari dewa kuno bernama Kronos. Dia kuat, pandai dan tangguh. Sayangnya, dia tidak bisa menjadi raja para dewa. Kalian tahu kenapa? Karena dia kalah undian dan mendapat wilayah kekuasaan di tempat yang gelap. Sangat gelap sampai tidak seorangpun dewa berani ke sana."

"Dewa itu mendapat wilayah kekuasaan di dunia bawah atau neraka. Hmm… awalnya dewa itu sedih karena dia tidak bisa menjadi raja para dewa. Tapi perlahan dia mulai sadar satu hal. Dunia bawah tanah memang gelap dan tidak gemerlap tapi tempat itu memegang kendali penuh atas hidup dan mati seluruh umat manusia."

"Sejak saat itulah, dewa itu mulai menggunakan kemampuan dan kekuasaannya untuk menghukum dan mengendalikan kematian seseorang. Bukankah itu menyenangkan?"

Para anak muda itu bingung. Mereka tidak paham dengan cerita yang disampaikan pria tampan bersetelan jas hitam itu.

"Kalian pasti bertanya-tanya siapa dewa kematian itu? Namanya Hades," pria itu tersenyum.

"Mulai saat ini, kalian akan bekerja di bawah dewa itu. Jadi kalian akan dipersiapkan untuk menjadi prajurit-prajurit Hades. Oh ya, Hades paling benci dengan pengkhianat. Dia bahkan menyiapkan neraka paling kejam untuk menghukum para pengkhianat. Jadi, aku sarankan jangan ada yang coba-coba berkhianat. Paham?"

"Ya," jawab mereka serempak.

Pria itu bangkit berdiri hendak meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum ia pergi, ia berkata, "satu hal lagi, mulai saat ini kalian harus memanggilku dengan sebutan Hades."

….

Seorang gadis berambut pendek berusia 22 tahun sedang berlari terburu-buru masuk ke sebuah kantor polisi. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah dilantik menjadi seorang polisi. Polisi sungguhan!

Gadis itu menengok ke kanan dan ke kiri. Dia tidak tahu harus harus masuk ke ruangan mana di hari pertamanya bekerja.

"Haya," panggil sebuah suara.

Sesosok pria berumur sekitar 50an sedang melambaikan tangan padanya.

"Kapten Jiiiiii," jerit Haya senang. Haya berlari ke arah pria tua itu dan langsung memeluknya.

"Astaga, apa kamu seorang polisi sekarang?" tanya Kapten Ji bangga.

Haya mengangguk gembira.

"Akhirnya setelah melewati akademi dan ujian berkali-kali aku berhasil membuktikan padamu, Kapten Ji. Aku seorang polisi sekarang."

Kapten Ji menepuk-nepuk bahu Haya dengan sangat bangga. Baginya Haya sudah seperti putri kandungnya.

"Gak sia-sia aku melatihmu selama ini," kata Kapten Ji puas.

Mendengar perkataan Kapten Ji, Haya jadi ingat masa-masa menempuh pendidikan di akademi polisi selama 4 tahun. Dulu Kapten Ji adalah instrukturnya.

Haya ingat selama di akademi, Kapten Ji banyak mengajarinya pengetahuan untuk menjadi polisi. Kapten Ji lah yang mengajari Haya cara menembak, berkelahi dan lain-lain.

Sejak lama, Haya ingin menjadi polisi seperti ayahnya yang seorang pensiunan polisi. Kapten Ji ini dulu junior sekaligus bawahan ayahnya. Tidak heran ayah menitipkan Haya pada Kapten Ji selama di akademi. Sejak saat itulahnya mereka berdua sangat dekat seperti ayah dan anak.

"Ayah bilang mau mengundang Kapten Ji untuk makan malam. Kata ayah, Kapten Ji gak boleh membawa buah tangan lagi," Haya memperingatkan dengan serius.

Haya masih ingat terakhir kali Kapten Ji ke rumahnya, pria itu membawa 10 kilo buah-buahan. Ayah, ibu dan Haya sampai bingung bagaimana harus menghabiskan semua buah-buahan itu. Haya dan ibu sampai harus membagi-bagikannya ke para tetangga sekitar.

Kapten Ji tertawa. "Baiklah. Tapi biarkan aku yang beli snacknya. Oke?"

Haya mengangguk.

Kapten Ji membawa Haya berkeliling kantor. Haya sangat senang. Ini pertama kalinya dia tahu isi kantor polisi. Selama ini Haya hanya melihat kantor polisi dari luar.

"Mulai hari ini kamu akan bekerja di bawah Divisi Barang Hilang, Haya," kata Kapten Ji.

"Lho kok barang hilang?" ada nada kecewa pada suara Haya.

Dari semua divisi di kantor polisi, ia ingin sekali masuk Divisi Inteligen, sama seperti ayahnya dulu. Tapi ia malah masuk Divisi Barang Hilang yang terkenal sangat membosankan. Apa serunya mengumpulkan laporan tentang barang orang yang hilang?

"Junior sepertimu mana bisa masuk Divisi Inteligen di hari pertama bekerja, Nak. Kamu harus ikut tes lagi untuk masuk ke divisi itu," Kapten Ji menjelaskan.

Haya menunduk sedih.

"Ayolah, Haya. Jangan sedih di hari pertamamu bekerja sebagai polisi sungguhan. Divisi Barang Hilang gak begitu buruk kok. Ayahmu dulu juga memulai karir dari sana," Kapten berusaha menghibur Haya.

"Baiklah. Tapi aku akan ikut tes Divisi Inteligen. Aku gak mau selamanya ada di divisi itu," kata Haya.

Kapten Ji membawa Haya ke ruang kerja Divisi Barang Hilang yang terletak di lantai 2 kantor polisi.

"Kapten Ji sekarang bergabung divisi apa?" tanya Haya penasaran.

"Kalau pria berbakat sepertiku pastinya Divisi Inteligen dong," Kapten Ji tertawa.

"Sombongnya," cibir Haya. "Apa jabatan Kapten Ji di sana?"

"Ketua divisi," jawab Kapten Ji bangga.

Haya semakin iri mendengarnya. Instrukturnya ini adalah seorang kepala Divisi Inteligen sementara dirinya harus masuk ke Divisi Barang Hilang.

"Kapten, tunggu aja. Suatu hari aku juga akan jadi ketua sepertimu," Haya penuh tekad.

Kapten Ji hanya tertawa mendengar perkataan Haya. Gadis ini selalu punya mimpi yang tinggi, batinnya bangga.

Note:

Pangkat Kepolisian di Novel Ini (urut dari jenjang paling tinggi ke rendah)

1. Jendral Polisi

2. Komisaris Jendral

3. Inspektur Jendral

4. Brigadir Jendral

5. Mayor

6. Kapten

7. Letnan

8. Sersan

9. Detektif

10. Officer

Saling sharing dan diskusi, bisa kontak: https://discord.gg/rhVETsZyhZ

avataravatar
Next chapter