10 Sadar

Haya membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya buram lalu perlahan-lahan mulai jelas. Haya pun memandang ke sekeliling. Apakah ini rumah sakit?

Haya berusaha untuk bangun dari ranjangnya. Sayangnya punggungnya terlalu sakit untuk digerakkan.

"Haya?" tiba-tiba sebuah suara muncul. Itu Erika. "Jangan bangun. Kata dokter kamu harus banyak beristirahat."

Wajah Erika terlihat sangat khawatir.

"Kenapa aku di sini?" tanya Haya sambil berbaring.

"Kamu kena pukul beberapa hari lalu," jawab Erika.

"Beberapa hari lalu? Berarti aku udah pingsan selama beberapa hari terakhir?" Haya tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.

Erika mengangguk lemah.

"Semua orang di kepolisian sangat khawatir padamu. Kamu menemukanmu pingsan dan berdarah. Aku sangat sangat takut sampai…" Erika menghentikan kalimatnya. Ia tidak sanggup mengingat kondisi Haya beberapa hari lalu.

Saat tim bantuan dari kantor pusat tiba di klub malam, mereka mendobrak pintu belakang dan pintu depan klub malam. Tim bantuan datang dengan persenjataan lengkap. Mereka menangkap anak buah Ibas dan anak buah si bule.

Sementara itu, Erika dan Ethan dengan panik mencari keberadaan Haya beserta Kapten Ji. Saat menemukan tubuh Haya dan Kapten Ji yang bersimbah darah, Erika sampai menjerit. Ia belum pernah melihat darah sebanyak itu.

Tanpa di perintah lebih lanjut, Erika segera memanggil ambulans. Mereka segera melarikan Kapten Ji dan Haya ke rumah sakit terdekat.

"Lalu gimana keadaan Kapten Ji?" tanya Haya tiba-tiba.

Erika hanya bisa menelan ludah. "Ka-kapten sudah gak ada, Haya."

"Maksudnya?" mata Haya mulai berkaca-kaca.

"Kapten Ji sudah meninggal. Kemarin dia dikuburkan," jawab Erika lemah dan sedih.

Tak lama butiran air mata menetes di pipi Haya. Ia tidak percaya Kapten Ji meninggal. Pergi meninggalkan begitu saja.

Haya terisak. Erika juga ikut terisak.

"Semua salahku. Seharusnya aku bisa melindungi Kapten Ji," isak Haya kencang.

Erika memegangi tangan sahabatnya. "Enggak, Haya. Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu sama sekali gak salah."

Sekalipun Erika sudah mengatakan semua itu, hati Haya masih terasa sakit. Dia sama sekali tidak menyangka misi pertamanya ini dirinya akan kehilangan orang yang selama ini sudah menjadi instruktur, atasan bahkan ayah untuknya.

"Kapten Ji," Haya memanggil nama Kapten Ji ditengah tangisannya.

Sementara itu Ethan hanya bisa berdiri di pintu ruang perawatan Haya. Ia sangat sedih melihat Haya dan Erika sedang menangis.

….

Seorang pria bertubuh tinggi sedang duduk menatap langit dari jendela kamarnya. Pria itu menatap langit sambil membayangkan kejadian yang di alaminya beberapa hari lalu. Lebih tepatnya kejadian beberapa hari lalu.

Seorang gadis polos menepuk-nepuk bahunya sambil berkata, "kamu pasti terguncang. It's okay. Kadang dalam hidup kita bertemu hal-hal mengejutkan dan menakutkan. Tapi aku yakin kamu akan jadi orang yang lebih kuat setelah ini."

Pria itu tersenyum setiap kali mengingat kata-kata itu. Dia setuju kalau hidup ini penuh dengan kejutan. Dia juga setuju bahwa hidup ini kadang menakutkan. Tapi siapa sangka hidup yang penuh kejutan ini membawanya bertemu dengan seorang gadis yang menarik?

Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk. Seorang pria bertubuh kurus dengan rambut keriting masuk.

"Bos," pria itu membungkukkan badan memberi hormat.

"Ada apa, Riko?" tanya pria tinggi itu.

"Ini saya bawakan obat tidur, Bos," kata Riko sambil meletakkan nampan berisi obat tidur dan segelas air di meja.

Pria itu bangkit berdiri dan meminum obat tidurnya. Lalu ia kembali duduk dengan santai.

Ini adalah rutinitas wajib yang dilakukan Riko selama 5 tahun terakhir. Mengantar obat tidur dan segelas air untuk bosnya setiap malam. Kenapa? Karena bosnya tidak bisa tidur tanpa bantuan obat.

"Lalu gimana dengan gadis yang sedang aku cari?" tanya pria itu dingin.

Riko menggigit bibirnya.

"Saya sudah berusaha mencari informasi tentang gadis yang bos maksud. Sayangnya kami tidak bisa menemukannya," kata Riko setengah takut.

Pria itu menoleh memandang Riko. "Cari sampai dapat. Aku rasa mencari informasi seorang gadis bukan hal yang sulit."

Riko sadar mencari informasi seorang gadis bukanlah pekerjaan yang sulit. Tapi ia sama sekali tidak tahu nama atau bahkan wajah gadis itu. Bosnya hanya mendeskripsikan gadis itu berambut pendek. Di Indonesia ada berapa banyak gadis berambut pendek coba?

Pikiran Riko sebenarnya sudah di penuhi tanda tanya. Perilaku bosnya berubah aneh sejak kegagalan misi tempo hari.

"Namanya Haya," kata pria itu.

"Haya?" Riko kaget. Nama itu aneh sekali di kupingnya. Siapa sih orang yang akan memberi nama anak gadis dengan nama Haya?

"Nama itu menarik. Aku bahkan sudah mencari arti nama itu. Kehidupan," kata pria itu tersenyum puas.

Pria itu begitu menyukai nama Haya. Ia sangat suka sampai melafalkan nama itu sebelum tidur. Haya … Haya … Haya …

Sementara itu, Riko masih berusaha memproses perkataan bosnya. Kenapa bosnya tiba-tiba mencari arti nama gadis itu, batinnya bertanya-tanya.

"Ba-baik. Saya akan segera mencari informasi gadis bernama Haya itu," kata Riko. Ia membungkukkan badan lalu pergi meninggalkan kamar.

Setelah Riko pergi, pria itu merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk huruf H. Ia menemukan liontin itu ketika berpisah dengan gadis bernama Haya itu. Sepertinya gadis itu tidak sengaja menjatuhkannya.

"Kita akan segera bertemu, Haya," katanya sambil tersenyum memandangi lionton itu. Ia sangat yakin akan segera bertemu gadis itu.

….

Erika mengantar Haya ke komplek pemakaman yang khusus dibangun untuk mengenang jasa para polisi yang gugur dalam misi. Awalnya Haya tidak ingin diantar. Tetapi Erika memaksa. Ia takut kalau Haya akan terluka mengingat Haya belum bisa berjalan sepenuhnya. Haya masih duduk di kursi roda sejak keluar dari rumah sakit.

"Kamu gak perlu ke sini kalau gak siap," Erika mengingatkan sahabatnya ini. Ia tahu kalau Haya sangat sedih. Ia tahu kalau Haya sok tegar dengan pergi ke pemakaman.

"Aku harus ke sini. Aku sangat sedih gak bisa menyaksikan pemakamannya," kata Haya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Saat Haya terbaring di rumah sakit tidak sadarkan diri, seluruh anggota kepolisian pusat berbondong-bondong mengantar Kapten Ji ke tempat istirahatnya yang terakhir. Tidak terkecuali Erika.

Meskipun Erika tidak memiliki hubungan sedekat Haya dan Kapten Ji, tapi gadis itu juga merasa kehilangan. Sejak duduk di bangku akademi, Kapten Ji sudah seperti ayah untuknya. Boleh di bilang pria tua itu adalah instruktur terbaik selama Erika ada di akademi.

Erika mendorong kursi roda Haya ke sebuah makam dengan batu nisan putih. Di batu nisan itu tertulis nama Adji Pangestu.

Melihat batu nisan itu, Haya mulai menangis. Awalnya dia pikir semua ini hanya mimpi buruk. Tapi melihat nisan itu, Haya sadar bahwa Kapten Ji memang sudah pergi. Pergi meninggalkannya selamanya.

avataravatar
Next chapter