17 Makanan

Haya membuka mata. Pagi ini ia bangun dengan perasaan aneh. Rasanya kejadian penculikan kemarin adalah mimpi. Haya masih tidak percaya dirinya diculik oleh seorang pria asing aneh yang mengincar seorang bandar narkoba.

Aaron

Aaron

Aaron

Nama itu terus muncul dalam benak Haya. Entah sihir apa yang sudah Aaron lakukan padanya hingga terus membayangkan nama itu.

Pria itu begitu… luar biasa. Dia sangat tinggi, tampan dan matanya… Haya tidak bisa menjelaskan seperti apa mata Aaron. Mata itu begitu gelap, tajam dan menyimpan sejuta rahasia.

Mata Aaron juga memberi Haya sensasi perasaan aneh. Sekalipun ada di situasi mencengkam, melihat mata Aaron membuat ketakutan Haya menghilang perlahan.

"Apa kamu lupa? Kita pernah bertemu."

Saat Aaron mengatakan itu, Haya terus berpikir kapan dirinya bertemu pria itu. Haya yakin belum pernah bertemu Aaron sebelumnya. Tapi kenapa pria itu terus saja kekeuh?

Anggap saja semua yang terjadi kemarin hanya sebuah mimpi, batin Haya menasehati dirinya sendiri.

Berusaha mengabaikan pikiran-pikirannya, Haya bergegas bersiap berangkat bekerja. Dia harus disiplin kalau tidak Kapten Irwan akan menceramahinya.

….

"Haya!!!" suara Erika menggema di sepanjang lorong lantai 1 kantor polisi. Gadis manis itu berlari ke arah Haya yang baru saja sampai di kantor.

"Hai, Rika," sapa Haya lemah.

Erika memperhatikan lingkaran hitam di bawah mata Haya. "Kamu abis begadang?"

"Ya."

Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan penculikannya. Setiap menutup mata kilasan kejadian penculikan dan bayangan kastil itu terus muncul.

Erika menemani Haya berjalan ke ruang Divisi Inteligen. Erika ingin sekali melihat seperti apa ruang kerja Haya yang baru.

Sesampainya di ruang Divisi Inteligen, mata Erika tidak bisa berkedip. Dia melihat ruangan besar yang dibagi menjadi beberapa sekat. Setiap sekatnya dipenuhi komputer-komputer canggih.

"Wah komputer Divisi Inteligen emang spesial banget ya," puji Erika.

Erika yang tergabung dalam Divisi Informasi dan Teknologi punya pengetahuan yang luas soal komputer dan teknologi.

"Sebaiknya kamu pindah ke divisi ini kalau mau dapat komputer yang canggih," ledek Haya.

Erika menggeleng. "Aku gak mau. Aku masih suka dunia meretas data dan jaringan informasi. Divisi Inteligen isinya penuh misi. Aku gak bakal kuat."

Haya tertawa kecil. Memang harus diakui fisik Erika tidak sekuat polisi pada umumnya. Itulah sebabnya Erika fokus belajar teknologi agar tidak menjadi polisi yang harus turun dilapangan atau berkelahi dengan musuh.

Kemudian, Haya mengajak Erika ke mejanya. Meja Haya terletak di pinggir jendela. Meski terbilang mungil, meja itu sangat nyaman.

"Ini makanan siapa?" tanya Erika sambil menunjuk bungkusan makanan di atas meja Haya.

Haya memperhatikan dengan seksama. Ia mengecek bungkusan itu. Isinya ayam panggang, kentang rebus, salad dan sekotak susu pisang.

"Ini dari siapa ya?" Haya juga ikutan bingung.

Ia yakin tidak memesan makanan di pagi hari. Dan tidak ada anggota Divisi Inteligen yang akan mengiriminya makanan mengingat sekarang masih jam 7 pagi. Terlalu pagi dan jam segini belum ada anggota Divisi Inteligen yang datang ke kantor.

"Apa ada yang ngirimin kamu makanan?" Erika bertanya-tanya.

Haya berusaha mengecek apakah pesan di dalam bungkusan. Rupanya ada secarik kertas. Ditulis dengan tinta merah darah.

Selamat menikmati, Haya.

PS: Tidak ada racun di dalamnya

"ASTAGA!!!" Haya menjerit dan melemparkan kertas itu.

"Kenapa sih?" Erika kaget dan memungut kertas itu. Haya terlihat habis melihat setan!

Bak disambar petir di siang bolong, Haya tidak menyangka dikirimi makanan oleh Aaron. Ya itu pasti Aaron. Pria itu kemarin bilang kalau makanan yang dihidangkannya tidak ada racun. Dan sekarang pria menulis pesan yang sama dengan kata-katanya kemarin.

Erika dan Haya duduk di meja Haya.

"Rika, aku rasa ada penguntit yang mengikutiku selama ini," kata Haya tiba-tiba. "Aku rasa dia mengincarku."

"Apa maksudmu?"

Mulailah Haya menceritakan apa yang dialaminya kemarin pada Erika. Haya bercerita tentang penculikan, Aaron bahkan makanan.

"Dia benar-benar tahu namamu? Dia menculikmu? Mengajakmu makan malam lalu mengantarmu pulang?" alis Erika terangkat. "Apa kamu kebanyakan nonton Netflix?!"

Orang yang mendengar cerita Haya pasti akan berpikiran sama seperti Erika. Cerita Haya tidak masuk akal untuk menjadi kenyataan.

"Demi Tuhan," Haya bersumpah. "Kali ini kamu harus percaya."

Erika tercengang. "Baiklah. Aku akan pura-pura percaya meski ini sulit sekali dipercayai, Haya."

Haya menghela napas.

"Bahkan dia bilang pernah bertemu denganku. Dia juga bilang aku sudah membuatnya gagal menangkap Ibas. Pria bernama Aaron itu mengincar Ibas juga."

"Aneh sekali," hanya itu yang bisa keluar dari mulut Erika.

"Tahu yang lebih aneh? Dia bilang kalau dirinya mengendalikan hidup dan mati orang, Rika. Aku sempat berpikir apakah pria itu anggota gangster," cerita Haya takut.

Erika mengelus-elus dagunya sambil berpikir. "Aku rasa dia bukan anggota gangster deh. Ya emang gangster itu ada di dunia ini cuman aku belum pernah dengan kasus gangster ini di media atau di misi kepolisian selama ini."

"Tapi kalau dia anggota gangster gimana dong?" Haya panik. Dia tidak mau berurusan dengan gangster.

Haya tahu gangster hanya dari film yang ia tonton di Netflix. Dia belum pernah bertemu dengan sebuah gangster besar atau semacamnya.

"Kayaknya gak mungkin deh," Erika berpendapat. "Kalau dari ceritamu, dia mungkin hanya penjahat yang punya urusan dengan bandar narkoba sekelas Ibas."

Andai Haya bisa berpikiran seperti Erika. Masalahnya ia punya firasat kalau Aaron itu lebih berbahaya dari penjahat. Ia bisa melihat aura kematian dari mata pria itu.

"Sekarang aku hanya berpikir dari mana pria itu tahu letak mejaku. Aku yakin dia gak mungkin masuk sendiri dan menaruh makanan ini," kata Haya cemas.

"Anggap aja itu rejeki," kata Erika santai.

Haya langsung memelototi sahabatnya. "Kalau dia meracuniku gimana?"

"Di pesan yang dia kirim ada tulisan 'tidak ada racun di dalamnya.' Tuh baca," Erika menunjukan pesan itu.

"Aku gak akan memakannya! Mending aku kasih ke cleaning service daripada makan makanan pemberian Aaron," kata Haya langsung bangkit berdiri. Ia menyambar bungkusan makanan itu dan berjalan mencari cleaning service.

….

Aaron sedang duduk di mejanya. Dia membaca beberapa buku. Lalu seorang pria berjas hitam masuk. Pria itu adalah anak buah Aaron.

"Apa dia memakannya?" tanya Aaron pada anak buahnya sambil terus membaca buku.

Pria itu menunduk. "Dia tidak memakannya, Bos."

Aaron mendongakkan kepalanya. Ia menatap anak buahnya.

"Ga-gadis itu memberikan makanannya pada cleaning service," kata anak buah Aaron.

Aaron tersenyum. "Menarik. Haya bukan tipe orang yang akan mudah percaya. Dia lebih pintar dari yang kuduga."

Anak buah Aaron yang awalnya takut memberi laporan itu mendadak bingung. Sejak kapan bosnya menjadi 'sabar'?

"Apa kita perlu mengiriminya makanan lagi, Bos?"

"Gak perlu. Karena dia akan segera mencariku cepat atau lambat."

avataravatar
Next chapter