9 Hiduplah!

"Dengarkan aku baik-baik, Haya. Kamu harus segera keluar dari sini. Bantu Ethan mencari bantuan," Kapten Ji memandang mata Haya lurus-lurus sambil memegang pundak gadis itu.

Haya menggeleng.

"Kalau aku keluar dari sini, bagaimana nasib Kapten Ji?"

"Aku sudah jadi polisi selama 30 tahun, Nak. Menghadapi bahaya seperti ini bukanlah hal besar," Kapten Ji berusaha meyakinkan Haya yang keras kepala.

"Baiklah," kata Haya pada akhirnya.

Kapten Ji dan Haya berjalan mengendap-endap ke pintu belakang. Haya harus segera meninggalkan gedung klub malam.

Dengan langkah kaki pelan, Kapten Ji dan Haya berhasil pergi ke pintu belakang tanpa ketahuan anak buah Ibas dan anak buah si bule.

Sayangnya ketika akan membuka pintu, gagang pintunya macet. Tidak bisa dibuka.

"Gawat," Kapten Ji mulai panik.

"Pintunya ada yang mengunci, Kapten," kata Haya ikutan panik.

"Haya!" teriak Ethan dari luar pintu.

"Ethan, pintunya terkunci," Haya berusaha memutar-mutar gagang pintu yang macet.

"Ethan, tenang. Kami baik-baik saja," kata Kapten Ji menimpali. "Sekarang minta bantuan kantor pusat untuk segera datang."

"Baik, Kapten."

Selama 30 tahun menjadi polisi, Kapten Ji baru pertama kali merasa seputus asa ini. Kenapa misi menangkap bandar narkoba bisa sesulit dan seberbahaya ini?

"Kita bisa lewat pintu depan," Haya memberi ide.

Kapten Ji menggeleng keras. "Tidak. Kalau kita lewat pintu depan berarti kita harus melewati ruang lantai dansa. Sementara tempat itu penuh dengan anak buah Ibas dan si bule yang bersenjata."

"Aku bisa mengendap-endap dengan pelan, Kapten," Haya berusaha meyakinkan.

Kapten Ji menarik napas. Ia berpikir keras. Bagaimana caranya mengeluarkan Haya dari tempat ini dengan aman, batinnya.

Haya dan Kapten Ji mengendap-endap menuju lantai dansa. Ini adalah kejadian paling menegangkan dalam hidup Haya selama 22 tahun.

"Haya, dengarkan aku. Aku akan mengalihkan perhatian mereka lalu kamu buru-buru keluar. Paham?" kata Kapten Ji.

"Tapi…"

"Tidak ada kata tapi, Haya. Ini perintah!" kata Kapten Ji tegas.

Mau tidak mau Haya menuruti ide Kapten Ji. Dalam situasi seperti ini percuma untuk membantah apalagi bersikap tidak patuh.

Kapten Ji berjalan mendahului Haya. Ia mengambil sebuah kaleng dan melemparkannya di ruang lantai dansa.

Semua orang kaget. Anak buah Ibas dan si bule juga kaget. Mereka langsung menembak ke arah jatuhnya kaleng itu.

"Siapa itu?!" teriak salah satu anak buah Ibas sambil menembak ke sembarangan arah. Tidak mau kalah, anak buah si bule juga ikutan menembak asal.

Semua pengunjung berteriak. Mereka sangat ketakutan mendengar suara-suara tembakan.

"Sekarang!" Kapten Ji memberi aba-aba.

Haya berjalan mengendap-endap. Pikirannya fokus pada pintu keluar. Setelah melewati lantai dansa iya bisa berjalan bebas menuju pintu keluar.

Saat sedang mengendap-endap, Haya menoleh. Betapa kagetnya ia melihat Kapten Ji diserang pria berbaju hitam dengan penutup wajah. Pria itu mencekik, merebut pistol dan berniat menembak Kapten Ji dari jarak dekat.

Haya tidak bisa membiarkan Kapten Ji dalam bahaya. Tanpa sadar, Haya kembali ke tempat Kapten Ji. Ia menendang tubuh si pria berbaju hitam.

Tubuhnya terdorong dan pistolnya terlepas. Akhirnya Kapten Ji terlepas dari cengkraman pria itu. Napas Kapten Ji tersenggal-senggal. Pria itu mencekiknya dengan sangat kuat.

"Kapten, gak kenapa-napa?" tanya Haya sangat cemas.

"Kenapa kamu malah kembali?!" Kapten Ji marah.

Belum selesai menjawab pertanyaan Kapten Ji, pria berbaju hitam itu kembali menyerang. Kini Haya yang menghadapi pria itu.

Sementara itu Kapten Ji sedang bersusah payah mencari pistolnya yang terjatuh. Situasi semakin genting dan berbahaya.

Di saat Haya sedang berkelahi satu lawan satu dengan pria berbaju hitam di depannya, dari ruang lantai dansa terdengar suara tembakan dan jeritan. Sepertinya anak buah Ibas dan anak buah si bule sedang baku tembak lagi.

Pria berbaju hitam itu mengambil pisau, ia hendak menusukkannya ke perut Haya. Untung dengan sigap, Haya menangkis tangan pria itu. Lalu Haya memelintir tangan pria itu hingga pisau di tangannya terlepas.

"Siapa kamu?!" bentak Haya pada pria yang sedang dipelintir tangannya. Ketika memelintir tangan pria itu, Haya bisa melihat tato berbentuk seperti kompas di lengan kanannya.

Pria itu tidak menjawab. Dia malah sibuk melepaskan diri dari pelintiran tangan Haya yang kuat.

Haya ingin melepas penutup wajah pria itu, sayangnya pria itu berhasil lepas. Ia berlari ke arah pintu belakang.

Akhirnya Kapten Ji berhasil menemukan pistolnya. Mereka berdua mengejar pria itu.

….

Ethan sangat cemas. Pintu belakang terkunci begitu Haya masuk ke dalamnya. Ethan sudah berulang kali mencoba membuka pintu itu. Tapi tidak bisa terbuka. Ia sangat khawatir dengan keadaan rekan-rekan polisi, Kapten Ji dan Haya di dalam sana.

Lalu tiba-tiba, ia ponselnya berbunyi. Itu Erika.

"Ethan, semua baik-baik aja?" tanya Erika panik di ujung telpon.

"Semuanya sangat kacau di sini," katanya Ethan sedih.

"Jangan khawatir. Tim bantuan dari kantor pusat sebentar lagi sampai. Ini aku juga ada di dalam mobil polisi. Tunggu kami di sana," kata Erika.

….

Pria itu terjepit di antara pintu yang terkunci dan Kapten Ji serta Haya yang sedang menghadang. Karena tidak punya pilihan, pria itu kembali menyerang Haya dengan benda-benda di sekitarnya, mulai dari tongkat kayu, pot bunga besar dan botol kaca.

Kapten Ji menembak kaki pria itu. Dor! Pria itu terjatuh. Ia memegangi kakinya sambil berteriak kesakitan.

Lalu bunyi sirine mobil polisi terdengar.

"Haya, itu bantuan dari kantor pusat," Kapten Ji sangat lega.

Di saat Haya dan Kapten Ji bisa bernapas lega, pria itu mengeluarkan sebuah senjata dan langsung menembak Kapten Ji. Tepat di dadanya.

Tubuh Kapten Ji jatuh ke lantai.

"Kapten Ji!" teriak Haya.

Haya memeluk tubuh pria tua itu. Ia menangis keras

"Hiduplah, Haya," kata Kapten Ji sambil memegang wajah Haya.

"Kapten, harus bertahan. Tim bantuan sudah datang," isak Haya. Ia memohon pada Kapten Ji agar terus membuka mata.

Kapten Ji tersenyum sambil menahan rasa sakit.

"Hiduplah," katanya sebelum menutup mata untuk selamanya.

Lalu pria berbaju hitam itu berjalan terpincang-pincang ke arah Haya yang masih menangis keras sambil memeluk tubuh Kapten Ji.

Pria itu mengambil balok kayu dan memukulkannya tepat di punggung Haya. Haya pun terjatuh ke lantai dan tidak sadarkan diri.

….

Dalam tidurnya Haya bermimpi kembali ke masa kecilnya. Saat itu Haya masih berumur 10 tahun. Suatu hari Ayah mengajak salah satu juniornya untuk berkunjung ke rumah.

Namanya Adji Pangestu. Pria itu masih muda. Mungkin berumur sekitar 30an. Rambut hitamnya di potong rapi dan giginya putih bersih. Melihat pria bernama Adji itu, Haya tersenyum.

"Haya, perkenalkan ini junior ayah. Namanya Detektif Adji," kata ayah senang.

Pria bernama Detektif Adji itu berjongkok di depan Haya.

"Halo, namamu Haya ya? Kapten Ardi sering menceritakanmu di kantor lho. Ternyata Haya memang anak yang manis," katanya sambil tersenyum. Ia juga menyerahkan sebuah boneka beruang kecil pada Haya.

Mendengar pujian itu, Haya tersipu malu. Ternyata selama ini ayah menceritakan Haya pada teman-temannya di kantor polisi.

"Terima kasih, Detektif Adji," kata Haya malu-malu.

"Panggil aja, Detektif Ji. Oke?"

Haya mengangguk. "Oke, Detektif Ji."

avataravatar
Next chapter