webnovel

Taka & Taku

Di siang hari nan amat panas, aku pulang dari sekolah dengan jalan sempoyongan karena menahan rasa haus dan lelah. Jarak antara rumah dengan tempatku menimba ilmu memang cukup jauh. Sesampainya di rumah, aku lekas membuka kancing kemejaku dan menyalakan kipas angin. Rasanya sungguh lega dan sejuk. Aku memejamkan mata beberapa saat untuk mengkhayalkan saat menikmati es krim yang biasanya kubeli di akhir pekan.

Namun, semua lamunanku hancur berantakan karena seseorang memanggil namaku. Aku kenal benar dengan suara itu yang selalu membuatku kesal. Dia adalah saudara kembarku, namanya Takuma Youra. Wajahnya sangat mirip denganku sampai-sampai orang yang baru pertama kali melihat akan mengira kami adalah orang yang sama. Tetapi, sifatku dengannya sangatlah berbeda. Aku mempunyai daya tarik tersendiri karena sifatku yang kuat, pemberani, dan ceria sesuai dengan namaku, yaitu Takama Youra. Sedangkan dia sangat lemah dan mudah menangis, meskipun dia itu laki-laki sama sepertiku.

"Taka, kamu sudah pulang? Kenapa tidak memberitahu Ibu terlebih dahulu?" tegurnya.

Aku menjawabnya cepat, "Terlalu panas di luar sana, makanya aku buru-buru masuk ke rumah untuk mencari kipas angin."

Singkat cerita, aku pergi menjauh darinya sebab aku tidak suka terlalu lama bersamanya. Aku tahu Taku tidak masuk ke sekolah hari ini karena dia demam. Makanya, Ibu memilih untuk merawat dia dibandingkan menjemputku di sekolah. Semuanya terasa menyebalkan, aku jarang mendapat perhatian dari kedua orang tua kami, tetapi dia selalu saja menjadi prioritas utama mereka. Saat aku kecil dulu, aku selalu saja disalahkan oleh mereka, dan dituduh bahwa aku yang membuat adikku menangis setiap saat. Padahal aku hanya ingin mengambil kembali hakku sebagai seorang kakak.

Kemudian, aku melihat diriku yang terpantul di dalam cermin dan bertanya pada diriku sendiri, "Apa ada yang salah padaku? Apa karena dia adalah adikku, makanya aku—"

Tiba-tiba saja Taku berdiri di belakangku hingga aku terperangah karena melihat bayanganku menjadi dua.

Dia bertanya dengan bantal yang masih dipeluk olehnya, "Taka, apa ada tugas hari ini di kelas?"

Aku meliriknya dengan penuh amarah seraya berkata ketus, "Tidak ada!"

Sontak dia terkesiap mendengar ucapanku. Walaupun dia saudara kembarku, tetapi aku sangat membencinya. Aku hanya berpura-pura baik kepadanya sejak dulu agar orang lain tidak memandang diriku buruk di mata mereka.

Suatu hari, aku pergi ke sekolah dengan gaya rambut yang berbeda supaya penampilanku dengannya tidak sama seperti biasa. Aku menoleh pada Taku yang sedang tersenyum merekah sembari menyapa siswa-siswi lain di samping kami. Bisa dikatakan bahwa kami juga termasuk murid terpopuler di SMP Xave. Banyak gadis yang berusaha mencuri perhatian kami, terutama kepadaku yang memiliki karisma. Lantaran siapa yang tidak tertarik dengan rambut kami yang berwarna pirang, sepasang mata hazel nan bercahaya indah, bibir tipis namun amat menggoda, dan rahang yang tegas memperlihatkan ketampanan kami. Hanya saja kami memiliki tinggi di bawah rata-rata, sehingga memberikan kesan imut di mata mereka.

Lalu, kami berdua masuk ke dalam kelas yang sama bahkan kami duduk saling bersebelahan. Hal itu membuatku makin membencinya. Sepanjang hari, aku seperti diikuti oleh diriku sendiri. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tidak menganggapnya ada. Ketika mata pelajaran bahasa Inggris dimulai, aku sering memberikan tanggapan kepada guru kami yang bernama Ibu Nita. Beliau sangat senang jika ada yang siswa yang selalu aktif di kelasnya. Namun akhir-akhir ini, orang yang sangat menyebalkan bagiku mulai berani menggeser posisiku di dalam kelas wanita paruh baya itu, tak lain adalah saudara kembarku sendiri.

Awalnya aku berpikir, dia tidak akan menjadi masalah bagiku untuk ke depannya. Tidak kusangka, perkiraanku sangatlah keliru. Dia mendapat pujian dari orang-orang yang mengagumiku selama ini. Jika kupikir-pikir, kepintaran kami hampir sama. Dia bisa menguasai rumus tenses hanya dalam satu jam tanpa cacat. Tetapi, itu tidak menjadi kebanggaan terhadapku.

Saat jam istirahat sedang berlangsung, aku ingin memakan bekal yang telah disediakan oleh Ibu tadi pagi. Malangnya, aku kelupaan membawa makananku. Aku terpaksa memperhatikan sekumpulan manusia di hadapanku yang sedang menikmati makanan mereka. Tiba-tiba Taku menyodorkan kotak besar yang terbungkus tas kecil di atas meja. Aku memiringkan kepala karena tidak mengerti terhadap tindakannya tersebut.

Dia tersenyum, "Ambillah. Aku akan membeli roti di kantin sebagai ganti bekalku."

Aku menyadari ada sesuatu di balik kebaikannya itu. Perutku keroncongan karena mencium aroma dari kotaknya. "Makan saja bekalmu sendiri," tolakku.

Namun, Taku menghentikan langkahku saat hendak berdiri, dan ia berkata, "Aku tidak apa-apa. Aku masih punya uang saku. Lebih baik kamu saja yang memakannya."

Ucapannya lagi-lagi membuatku makin kesal. Aku segera menepis tangannya dari lenganku hingga kotak itu tercampak ke lantai, serta isinya pun ikut keluar dan berhamburan ke mana-mana. Semua siswa di kelas mengelih pertengkaran kami. Aku mencengkeram kuat kepalan tanganku. Rasanya aku ingin sekali memakinya.

"Jangan sok baik padaku!" bentakku padanya.

Tindakanku itu membuat semua orang kaget dan suasananya seketika hening. Aku menoleh mata sayu saudaraku itu. Aku tersadar ia baru saja menitikkan air mata di pipi kirinya. Aku mencibir kepadanya dengan nada pelan "Dasar cengeng! Jangan nampakkan wajahmu itu, sialan!".

Lalu, Taku mengumpulkan makanannya kembali ke dalam kotak. Tanpa rasa bersalah, aku lekas keluar dari kelas dan berencana untuk bolos di mata pelajaran berikutnya. Aku tahu bahwa perbuatanku tadi sangatlah kasar, tetapi aku sungguh tidak suka dengan caranya yang terlalu baik karena hanya ingin mendapat perhatian lebih dariku.

Setelah peristiwa itu terjadi, aku ingin menjalin pertemanan dengan siswa kelas lain supaya tidak bisa bersama lagi dengan Taku, terutama pada saat jam istirahat. Kebetulan sekali saat aku berjalan melewati halaman belakang sekolah, salah satu siswa dengan gaya rambut undercut messy menatapku dengan dua orang sahabatnya sedang mengisap rokok di sudut itu.

Ia memanggilku "Hei, cowok tampan! Kemari sebentar."

Aku malah mengikuti perkataannya tanpa berpikir dua kali. "Ada apa?" tanyaku.

Dia menghadapku dengan batang rokok yang masih tertancap di mulutnya, lalu menawarkan sesuatu kepadaku. "Kau ingin bergabung dengan kami? Kami kekurangan anggota akhir-akhir ini."

Air mukaku berseri-seri ketika mendengar tawarannya itu dan mengiakan saja ajakan mereka.

Saat pulang sekolah, aku malah menghabiskan waktu bersama ketiga teman baru ku itu. Sedangkan Taku, aku membiarkannya sendirian pulang sampai ke rumah. Aku lebih suka bersama mereka dibandingkan dengan saudara kembarku itu. Kami menongkrong di kafe, bermain-main di markas mereka, dan melakukan kegiatan menyenangkan lainnya. Saat langit mulai senja, aku melihat Taku menungguku di persimpangan jalan. Dia membawa payung di tangannya. Aku hanya tersenyum sinis ketika ia menatapku dengan tatapannya yang menyedihkan itu.

Dia menghampiriku dan berkata, "Ibu menyuruhku menjemputmu."

Aku pun bertanya, "Lalu, untuk apa payung itu kau bawa?"

"Sebentar lagi akan hujan."

"Hahaha! Hujan apanya? Langit cerah dan panas seperti ini, masa kau bilang akan hujan?"

Seketika rintik-rintik air dari langit mendung turun perlahan dan makin lama menjadi deras. Aku tertegun memandang saudaraku itu yang tersenyum simpul di hadapanku.

"Sudah kubilang, kan?" ucapnya.

Aku membiarkan kali ini dia menang dariku. Jika saja dia tidak membawa payung tadi, seragam sekolahku akan basah kuyup, dan pastinya nyonya cerewet di rumah kami akan marah besar kepadaku. Orang-orang di jalan tampak senang saat melihat kami terlihat akur di bawah satu payung biru ini. Namun, hatiku tetap berkata lain. Rasanya aneh jika aku bersamanya. Aku seolah-olah berbicara pada diriku sendiri. Sepanjang perjalanan, aku tidak mengatakan apa pun padanya, meski ia berulang kali melontarkan pertanyaan yang sangat membosankan.

Malam harinya, aku dan Taku duduk sambil menonton acara kesukaanku di televisi. Ibu dan Ayah sedang tidur karena terlalu kelelahan bekerja di kantor sepanjang hari. Aku melirik pada saudara kembar itu yang sedang memakan popcorn. Ia tertawa meski wajahnya tampak pucat. Saat aku menyeruput air jerukku, ternyata isinya telah habis. Aku menyuruh dia untuk mengambilnya di dapur.

"Taku, ambil minumanku lagi, dong?"

Namun, dia tidak menjawab pertanyaanku. Karena kesal, aku menendang lengan kirinya dengan pelan. Aku tidak habis pikir, tiba-tiba saja tubuhnya terjatuh ke lantai begitu mudah.

"Hei, lemah! Ngapain pula kau tidur di situ?"

"Taka ... tolong aku," rintihnya.

"Jangan berpura-pura, deh! Bilang saja kalau kau malas mengambilnya!" Aku segera masuk begitu saja ke dalam ruanganku dan membiarkan Taku di sana sendirian. Aku tidak peduli lagi tentangnya.

Esok paginya, aku mendengar suara keributan dari luar. Aku lekas berdiri dari ranjangku dan mencari sumber suara itu. Kemudian, aku menemukan orang tuaku sedang beradu mulut di depan televisi. Dipelukan wanita itu, Taku terlihat pucat kesi dengan mata yang masih terpenjam.

Aku menghampiri mereka, "Ada apa dengan kalian?"

Ibu menatapku dalam-dalam "Tadi malam, kamu yang terakhir kali bersama Taku, bukan?"

Aku hanya mengangguk pelan.

"Apa dia baik-baik saja saat itu?"

"Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba saja terjatuh di lantai. Lalu, aku membiarkannya sendiri di sini tadi malam."

Tanpa kusadari, tamparan keras mendarat di wajahku. Aku mendelik namun menatap ke bawah. Reaksi ibu terhadap jawabanku barusan tidak pernah terlintas di pikiranku. Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa aku ini anak mereka?

"Taka!" teriak wanita itu padaku. "Kenapa kamu membiarkan adikmu pingsan semalaman di sini? Apa kau tidak merasa kasihan sama sekali padanya?"

"Aku ... tidak peduli!" balasku dengan lantang.

Aku lekas masuk ke kamar dan mengunci pintu. Lagi-lagi Taku yang selalu dibenarkan. Ibu baru pertama kali menamparku seperti itu. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan keluarga ini. Tiba-tiba handphone-ku berdering di atas meja membuat diriku tersadar kembali dari kesedihanku. Aku segera menjawab panggilan masuk dan suara berat dari seseorang yang tidak kukenal itu mengajakakku untuk bertemu di kafe yang aku kunjungi kemarin.

"Tunggu, ini dengan siapa?" tanyaku lirih.

"Apa kau lupa padaku, Taka? Aku temanmu, Werlos."

Perasaanku berubah saat ia menyebut namanya. Ia adalah teman baru yang aku temui di halaman belakang sekolah kemarin.

"Oh, maaf. Aku pikir ini orang lain karena nomor baru. Baiklah, aku akan ke sana sebentar lagi." Aku menutup panggilannya.

Lalu, aku hendak mengambil handuk secepat kilat dan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku memakai pakaian biasa karena hari ini adalah hari minggu. Oleh karena itu, aku akan memiliki banyak waktu untuk bersama mereka. Jika mengenai Taku, aku tidak mau tahu lagi tentangnya. Ibu dan Ayah pergi entah ke mana membawa saudara kembarku itu. Kesempatanku untuk keluar rumah siang ini sangatlah besar, itupun tanpa izin dari orang tua ku. Jika seseorang mengatakan bahwa aku anak yang kurang ajar, dia sangat salah besar. Aku hanya ingin mendapatkan kebahagian dan ketenangan di dalam hidupku. Namun, meraih mereka sangatlah sulit.

Sesampainya di depan kafe, aku melihat mereka sedang melambaikan tangan kepadaku. Tentu saja, aku membalas mereka dengan senyuman lebar. Mereka satu-satunya kehangatan bagiku. Di saat kami duduk bersama, Werlos menawarkan aku minuman dan membayar semua yang aku beli. Aku juga sesekali memperhatikan perawakannya, ia memiliki tubuh yang tinggi dan ramping, tapi wajahnya sangat tidak mendukung karena dipenuhi oleh jerawat. Dua orang lagi yang duduk di hadapanku adalah Ezra dan Soni, mereka juga sangat ramah terhadapku. Sesekali kami berfoto berempat dan mengirim foto itu di instagram Ezra karena ia yang memiliki banyak pengikut dibandingkan kami bertiga. Kami menghabiskan waktu beberapa jam untuk berkeluyuran ke tempat-tempat menyenangkan bahkan yang tidak kukenal sama sekali. Tetapi, aku tahu semua itu merupakan usaha teman-teman untuk menghibur diriku yang sedang bersedih.

Pukul lima sore, kami pun pulang ke rumah masing-masing. Tenagaku hampir terkuras karena terlalu banyak bersenang-senang, tetapi hari ini tidak akan pernah aku lupakan. Tibanya di rumah, aku mengambil kunci yang biasanya kami selipkan di tempat persembunyian. Aku heran mengapa mereka tidak kunjung pulang ke rumah sampai sekarang. Di saat aku hendak membuka pintu lemari pendingin, ada secarik kertas yang tertempel di sana.

Aku membacanya, "Kami sedang di rumah sakit. Jaga rumah."

Aku mengenal tulisan elok yang tertera di atas lembaran putih ini. Tulisan yang tidak memiliki coretan sedikitpun, adalah milik Ibu. Aku terdiam sejenak sebab merasakan sesuatu saat membaca pesan itu.

"Aku senang," ucapku sembari menyeringai.

Aku menghabiskan waktuku sendirian di rumah yang sederhana ini untuk beberapa hari tanpa gangguan dari orang tua bahkan kembaranku itu. Dan besoknya di sekolah, aku melakukan segala kegiatanku seperti biasa. Ibu Nita menyuruh kami untuk membeli buku panduan tamasya dan juga peralatan lainnya untuk persiapan liburan yang akan diadakan di suatu tempat. Kehidupan yang kurasakan sekarang walaupun hanya sementara sangatlah normal. Inilah hari kebahagiaan yang selalu kunanti-nantikan dalam hidupku.

Seketika tiga orang lelaki menghampiriku di saat aku sedang membaca buku untuk mata pelajaran berikutnya. Aku mendongak ke atas dan mendapati Werlos, Ezra, dan Soni sedang memegangi buku tulis di tangan mereka. Aku menaikkan satu alis mataku ke atas untuk memberikan bahasa isyarat kepada mereka.

"Taka, bantu kami buat kerjakan soal matematika, dong? Kami benar-benar tidak tahu," pinta Werlos.

"Hahaha! Apa yang tidak untuk ketiga sahabatku ini. Semuanya akan kulakukan untuk kalian."

Mereka tampak gembira mendengar jawaban dariku. Aku pun merasa bahagia bisa membantu orang yang selalu setia menemaniku. Namun seiring berjalannya waktu, entah apa yang terjadi pada ketiga sahabatku itu. Mereka terus-menerus meminta bantuanku, padahal aku punya kesibukan lain yang sangat mendesak pada saat itu juga. Aku terpaksa membawa buku-buku mereka ke rumah untuk mengerjakannya di malam hari.

Saat langit mulai senja buta, aku mendengar suara langkah kaki yang masuk di rumahku. Aku lekas memasang persiapan untuk membela diri. Parah nya, aku tidak tahu bahwa dia sudah berada di depan pintu kamarku. Keringat dingin mulai bercucuran di badanku, aku pun meneguk ludah sebelum bertindak. Seketika pintu terbuka dan tanpa kusadari mataku terpenjam saja, serta kayu pemukul kasur di tanganku berayun ke atas lalu menghantam orang itu. Namun, tidak ada suara sedikitpun darinya. Aku penasaran seperti apa hasilnya dan segera membuka mata untuk melihat maling itu.

"Ayah ...."

Betapa terkejutnya aku saat menyadari maling itu adalah Ayahku sendiri. Untung saja dia langsung menangkap kayu yang hendak kuayunkan tadi.

"Taka, apa yang kau lakukan?"

"Aku kira ada maling yang masuk ke rumah kita."

"Kau hampir memukul Ayah tadi."

"Maaf," ucapku lirih.

"Tidak apa-apa. Ayah juga hanya ingin memastikan keadaanmu, dan juga mengambil pakaian Taku."

"Taku? Ada apa dengannya? Mengapa kalian lama sekali di rumah sakit?" tanyaku kesal.

Ayah tidak merespons pertanyaanku. Ia hanya menunduk sembari menghela napas perlahan.

"Ayah ..." panggilku lagi.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya baik-baik saja," balasnya dan meninggalkanku sendirian di rumah.

Dua jam telah berlalu, aku selesai mengerjakan tugas tiga temanku. Aku bersandar di kursi seraya menenangkan pikiran. Terlintas saja di dalam benakku suara saudara kembarku itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Apa karena aku sudah beberapa hari ini tidak bertemu dengannya?

"Tidak mungkin."

Tiba-tiba saja aku mendapat pesan dari Werlos. Ia mengajakku untuk keluar besok siang. Tetapi pesan darinya yang berada di paling akhir membuatku untuk berpikir dua kali. Namun, aku tidak peduli segalanya. Aku hanya menginginkan bagaimana caranya agar aku bisa bahagia. Aku segera merebahkan tubuhku di ranjang, dan menantikan hari kebahagiaanku yang akan datang selanjutnya.

Esok siangnya di sekolah, aku lekas pulang ke rumah untuk mengganti pakaian. Namun, langkahku seketika berhenti saat melihat Taku yang sedang duduk di sofa. Aku tidak menyadari dia langsung pulang saat Ayah mengambil pakaiannya tadi malam.

"Taka, apa kabarmu?" sapanya.

Lagi-lagi wajahnya selalu membuatku kesal. Aku tidak menghiraukannya dan lewat begitu saja. Aku pikir dia akan berlama-lama di rumah sakit. Tiba-tiba Taku menghalangi jalanku dengan ekspresi yang tidak pernah berubah.

"Kau mau ke mana, Taka?"

"Bukan urusanmu!" Aku menatapnya dingin.

"Aku tahu kau pasti pergi bersama mereka. Kumohon, jangan percayai mereka."

"Kau tidak tahu apa-apa! Minggir sana!"

Aku tidak sengaja menolak dadanya dengan kuat hingga punggungnya terbanting di dinding. Taku menekan dadanya keras dan wajah memucat, serta memperlihatkan raut yang sedang menahan kesakitan.

"Makanya jangan sok peduli!" cemoohku padanya.

Aku lekas pergi dari sana dengan penuh emosi. Mengapa dia selalu saja membuat masalah denganku?

Kemudian di dalam markas Werlos, mereka sedang menikmati minuman keras dan mengisap rokok. Aku sedikit terkejut pada perubahan yang sangat berbeda dari mereka. Werlos dan lainnya tidak pernah meminum alkohol sebelumnya di hadapanku. Namun, aku memberanikan diri masuk begitu saja dan duduk di samping Ezra yang tengah mabuk itu.

"Kau sudah membawanya, Ta?" tanya Soni seraya menepuk punggungku.

Sesuai pesan yang telah dikirim Werlos padaku tadi malam, aku segera mengeluarkan buku-buku tugas mereka dan yang terakhir adalah uang tabunganku sebesar lima ratus ribu rupiah.

"Sudah," jawabku.

Mereka terlihat senang dengan jerih payah ku. "Biar aku saja yang menyimpan uang ini," ujar Werlos dengan cepat.

"Tapi, untuk apa?"

"Tenang saja, Taka. Uang ini akan kita pakai bersama untuk berkunjung ke tempat yang lebih mewah."

Ucapan terakhirnya sedikit membuatku cemas. Apa karena peringatan Taku tadi? Tetapi, aku yakin mereka akan menepati janji mereka padaku. Lalu, Soni menawarkan minuman berat yang baunya sungguh tidak sedap di penciumanku.

"Maaf. Aku tidak terlalu suka minum," tolakku pelan.

"Hem ... sayang sekali, padahal enak loh," timpal Ezra.

"Ngomong-ngomong, apa kau punya orang yang sangat kau benci?" Werlos menatapku sembari tersenyum aneh.

"Kalau soal itu ... tentu saja ada."

"Namanya siapa?"

"Taku."

Aku hanya menyebut nama panggilan saudaraku kepada mereka dan tidak menunjukkan fotonya. Selama pertemuan itu, aku tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku hanya mendengar canda tawa mereka yang terdengar sangat vulgar bagiku.

Hari ini tidak begitu menyenangkan bagiku. Semuanya pasti gara-gara Taku yang menghancurkan mood-ku.

Malam harinya, aku teringat dengan kegiatan tamasya yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Aku masih belum membeli buku panduan dan juga peralatan lainnya. Aku tidak punya pilihan lain selain meminta uang itu kembali dari Werlos. Sesuatu menimbulkan kecemasan besar padaku saat aku menelepon nomornya tetapi tidak pernah diangkat. Aku memilih untuk berpikir positif saja, mungkin handpone-nya sedang didiamkan.

Besoknya, aku datang ke kelas mereka namun mereka tidak ada sama sekali di dalam sana. Kemudian, aku bertanya kepada teman kelas lainnya. Ternyata mereka telah absen dua hari yang lalu. Pikiranku benar-benar kacau dan aku tidak punya cara lain. Tiba-tiba Taku lewat di sampingku, wajahnya tampak aneh saat melihatku. Lalu, dia pergi begitu saja dan memunculkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku.

Saat bel pulang berbunyi, aku hanya termenung di meja dan menyesal karena telah memercayai perkataan Werlos saat itu. Bagiku nilai uang tabungan itu sangatlah besar untuk usiaku yang masih lima belas tahun.

"Andai saja aku mendengar nasihat Taku kemarin ... semuanya tidak akan—"

"Taka!" Tiba-tiba saja Vera datang dan berteriak padaku.

"Ada apa?" tanyaku dengan nada datar.

"Taku! ... dia ... dengan Werlos!" pekiknya dengan napas terengah-engah.

Aku langsung berdiri dari kursi seolah-olah mengerti apa yang dikatakan oleh siswi itu. Lalu, aku berlari dengan cepat tanpa arah. Isi pikiranku hanya ada kepanikan.

Di mana dia?

Aku mencari mereka di beberapa tempat di sekitar toko, cafe, dan tempat yang sangat aku benci, yaitu markas Werlos. Aku mengetahui bahwa Taku adalah anak yang lugu, lemah, dan mudah menangis. Tetapi dia tidak akan pernah mau mencoba bermasalah pada orang lain karena ia tahu seperti apa fisiknya.

Namun, itu semua bertolak belakang dengan anggapanku ketika aku mengelih darah yang keluar dari hidung saudara kembarku itu. Werlos menekan kepalanya di lantai dengan kakinya yang masih terpasang sepatu butut.

"Ho ... jadi ini yang bernama Taku, orang yang sangat dibenci oleh Taka, sahabat kita," sindir Werlos sambil tersenyum sinis padaku. "Wajah mereka pun sangat mirip. Rupanya saudara kembar. Sama saudara sendiri masa saling musuhan?" Ia menarik rambut pirang Taku ke atas dan meludahi wajahnya.

"Taka ..." rintih Taku sambil memeluk sekantung plastik merah berisi uang yang sangat kukenali.

Soni dan Ezra menendang dada saudaraku itu dengan kuat hingga ia sesak napas. Seketika emosi ini berkumpul dan meledak di dalam benak dan hatiku. Spontan tangan dan kakiku juga bergerak sendiri. Mataku hanya terpaku lurus kepada mereka. Aku menghajar Werlos dengan kedua sahabatnya itu tiada henti. Meski tubuh ini pendek dan tidak berisi, tetapi kemampuanku melebihi mereka. Wajah Werlos kuhancurkan di dinding dan membantingnya lagi di tanah. Kaki Soni kupatahkan, lalu tangan dengan tulang jari tangan Ezra kuremukkan satu persatu alhasil mereka terkapar di gang itu dengan darah yang masih tertempel di dinding.

Taku masih terbaring di tempatnya, air mataku menitik ke bawah tanah, dan merangkul saudara kembarku itu. Wajahnya terlihat pucat pasi, serta napasnya tidak teratur. Aku sangat khawatir, dan lekas membawanya ke rumah sakit.

Setelah perawatannya, aku duduk di samping ranjangnya. Aku menghela napas sembari menggenggam tangan saudaraku itu. Selama ini, aku tidak menyadari bahwa ia mengidap penyakit jantung dan juga asma di usianya yang terbilang sangat muda. Oleh sebab itu, dia dirawat di rumah sakit cukup lama saat minggu lalu.

Aku benar-benar merasa bersalah atas perbuatanku selama ini terhadapnya. Aku menangis terisak-isak sambil menyebut namanya berulang kali. Seharusnya, kesalahanku tidak bisa dimaafkan. Aku pun sangat membenci diriku sendiri. Dari kecil aku telah merebut segalanya darinya. Kesehatan fisik dan rohaninya ada padaku. Namun, aku tidak membiarkannya untuk mendapatkan kasih sayang. Aku benar-benar jahat.

Tanpa kusadari ia terbangun dan memanggilku. Aku terkesiap dengan rasa penuh penyesalan, dan menundukkan kepala sebab aku malu pada diriku sendiri.

"Taka ... aku melihatmu ... menangis tadi malam. Makanya ... aku mencari tahu apa penyebabnya ...."

"Kenapa kau rela berkorban hanya demi aku yang selama ini selalu menyiksamu?"

"Itu karena kita ... adalah saudara. Kita berada dalam satu rahim, dan kita lahir ... di tanggal yang sama."

"Taku, maafkan aku. Aku berjanji untuk mengubah perilaku dan perkataanku."

Aku merangkulnya dan ia membalas dengan senyuman manis di bibirnya. Uang tabungan yang berhasil diselamatkan oleh Taku saat peristiwa itu kugunakan untuk biaya berobatnya. Aku juga merawatnya selama di rumah sakit karena aku ingin menebus segala dosa dan kesalahanku selama ini.

Hari itu, perkataan Taku telah menyadarkanku betapa pentingnya sebuah keluarga. Aku terlalu memercayai orang lain, bahkan yang belum tentu menjadi tempat yang aman dan hangat bagiku. Kelahiran Taku merupakan sebuah anugerah terindah dari Tuhan untuk kami. Aku bahagia mendapat saudara kembar yang sangat baik seperti Takuma Youra.

T A M A T