2 Dua

Saat kau merasa lelah, frustasi atau bahkan merasa dunia tak adil padamu, pulanglah. Keluargamu akan selalu menerimamu dengan tangan terbuka.

------------------------------------------------------

"Meera ... Lita, ayo turun sarapan!" Suara wanita itu masih begitu nyaring meski usianya sudah tak lagi muda.

"Iya, Bu," jawabku seraya menuruni tangga bersama Lita.

"Kak, nanti sore liat turnamen voli yuk," ajak Lita.

"Memangnya ada turnamen voli? Di mana?" tanyaku penasaran.

"Di mana apanya?" Ibu menimpali ucapanku.

"Itu, Bu. Turnamen voli di komplek depan, 'kan aku sudah cerita sama Ibu," jelas Lita.

"Oh iya Ibu lupa, 'kan sudah pernah cerita, ya."

Aku sudah mulai sibuk dengan nasi gorengku, sambil tetap mendengarkan percakapan dua wanita yang aku cintai itu.

"Paling juga kau mau melihat Yusuf, iya 'kan," gurau ayah, yang memang sedari tadi sudah ada di meja makan.

"Yusuf siapa, Yah?" tanyaku pada ayah.

Belum sempat Ayah menjawab. Lita sudah menyela.

"Ihhh Ayah, apa sih, sudah ah. Aku berangkat duluan takut telat, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." Kami hanya tertawa renyah.

*********

Begitulah hari-hari kami lalui dengan senyuman dan gurauan, tak lupa saling menyemangati.

Hangat, tentu saja, kami saling mencintai satu sama lain. Berbagi dalam segala hal, mulai dari hal sepele sampai hal yang serius. Pertengakaran kecil hampir selalu ada antara aku dan Lita, bukankah akan membosankan jika semua berjalan begitu manis? Aku masih ingat bertapa marahnya Lita beberapa hari yang lalu, saat aku membuka lemari pakaiannya yang begitu kacau. Akibat ulahku itu, Lita mendapat hadiah berupa omelan dari ibu. Hahaha. semenyenangkan inikah menjadi kakak? Aku yakin Lita tak akan tinggal diam, dia pasti sudah memiliki rencana untuk membalasku, memang belum dilancarkan, tapi aku yakin akan itu. Tanpa sadar aku tersenyum tipis mengingat kejadian itu.

"Kenapa senyum-senyum begitu?" tanya ibu.

"Ah ... tidak kenapa-kenapa, Bu. Tidak terasa Lita sudah besar, ya. Sudah mau kelas tiga SMA saja dia." Aku kembali tersenyum.

"Sama, kau juga, tidak terasa sudah besar, sudah sedang skripsi saja," jawab ibu.

"Bagaimana perkembangan skripsimu?" Kali ini ayah yang bertanya. Agak malu sebenarnya jika harus menjawab jujur, dan belum sempat kujawab.

"Masih mentok di judul, Yah. Kemarin ditolak katanya." Ibu sudah menjawab pertanyaan ayah tanpa meminta persetujuanku, tapi apalah dayaku.

"Sekarang sudah menyiapkan judul baru belum?" Ayah kembali bertanya.

"Sudah, Yah. Aku sudah menyiapkan dua, jaga-jaga kalau yang ini ditolak lagi."

"Coba Ayah liat." Aku menyerahkan dua judul yang sudah aku siapkan untuk skripsiku nanti, meski masih belum tau apa ini akan terima atau tidak, setidaknya aku sudah berusaha. Aku menyodorkan dua judul yang sudah kubuat. Ayah meneliti dengan saksama dan menunjuk opsi kedua.

"Ini lebih baik dari opsi pertama, lebih terarah dan tegas," jelas ayah.

"Lagian, kenapa tidak tanya Ayah dulu sebelum buat judul?" sambung ayah.

"Bukan tidak mau tanya Ayah, aku hanya ingin berusaha sendiri, mengetes sejauh apa aku belajar selam ini," jelasku. Ayah hanya tersenyum sambil membelai lembut rambutku.

"Kau tidak ke kampus?" tanya Ibu.

"Ke kampus, Bu. Sebentar lagi, bantu Ibu cuci piring dulu. Kata Caca, pembimbingku juga belum datang."

"Biar Ibu yang cuci, kau bawakan saja ini ke dapur, cuci tangan terus berangkat."

"Ya sudah, iya." Aku langsung menuju dapur untuk meletakkan piring kotor, lanjut cuci tangan dan berangkat. Aku pun pamit sambil mencium punggung tangan kedua orang tuaku.

"Jangan pulang terlalu sore, nanti adiknya marah," tambah ibu.

"Iya, Bu. Tenang saja, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

avataravatar
Next chapter