21 Dua puluh satu

Sejak meeting mendadak yang membuat acara jalan-jalan kami gagal, Adrian menjadi sangat sibuk. Berangkat sangat pagi, lembur hampir setiap hari. Dia sudah makan siang belum ya? Dari pagi dia belum menghubungi ku, pasti sangat sibuk, aku akan bawakan makan siang untuknya, aku berbicara dengan diriku sendiri. Makanan sudah siap, ojek online sudah datang, tinggal menghubungi Adrian. Aiihh, lama sekali tuan muda ini angkat telponnya, gumamku dalam hati.

"Langsung jalan mba?"

"Sebentar ya mas, saya telpon suami saya dulu."

"Iya mba silakan." Adrian masih belum menjwab telpon ku juga.

To: Suamik

Hei tuan muda, aku ke kantor sekarang bawa makan siang. Jadi, tunggu aku ya. Send...

"Ayo mas."

"Iya mba, ini helm nya." tidak sampai 30 menit, aku sampai di kantor dan segera membayar ongkos abang ojek, saat mengembalikan helm.

"Wah, suaminya kerja di perusahaan bonafid gini ko ga pake supir pribadi mba?" aku tertawa kecil.

"Kalau saya pake supir pribadi, nanti mas nya ga dapet penumpang cantik kaya saya. Ini, terimakasih ya."

"Si mba bisa aja, sama-sama mba." mulai turun dari ojek, sampai masuk lobby, sudah banyak pasang mata yang menatap ke arah ku, aku mencoba seramah mungkin ketika beberapa karyawan menyapa ku, terdengar juga ada yang bertanya siapa aku, "itu siapa La, kamu kenal?" , "Itu istrinya pak Adrian, Na!" "ternyata berita Pak Adrian sudah menikah itu bener ya La?" , "iya bener, sudah sana kalian istirahat." itu suara Fitri.

"Ehh Fitri, apa kabar, sudah makan siang?"

"Belum bu, saya baik, mau ke bapak ya? mari saya antar, beliau sedang bersama pak Raja di ruangannya." ya Tuhan, kenapa mahluk bernama Raja itu selalu saja bersama suamiku.

"Tidak perlu Fit, kau makan siang saja sana, itu temennya nungguin." aku menunjuk dua wanita yang sedang berdiri agak jauh dari kami, mereka tersenyum saat aku menunjuk ke arahnya.

"Ya sudah kalau gitu, saya keluar dulu ya bu."

"Iya sana, makan yang sehat."

****

"Saya rasa ini sudah cukup pak Raja. Selanjutnya, pak Raja bisa menghubungi pa Sigit."

"Iya pak Adrian, kalau begitu saya permisi. Maaf juga, lagi-lagi saya mengganggu waktu pak Adrian dengan istri."

"Tidak apa pak Raja, mari, saya juga mau pulang." Meera pasti marah, gumam ku dalam hati.

Sesampainya di rumah, aku disambut dengan wajah datar istriku, benar dia marah. Meski sedang marah, ia tetap tak melupakan tugasnya untuk melayaniku, tas kerja diambil alih, pakaian ganti sudah siap, aku yakin, sekarang dia pasti sedang membuat teh hangat.

Selesai membuatkan teh hangat, Meera duduk di sampingku. Hening, tidak ada pembicaraan, suasana menjadi mencekam, sekarang aku paham dengan yang Papa maksud berbahaya jika wanita marah.

"Maaf." aku memulai pembicaraan.

"Iya." jawabannya singkat sekali, kalau aku yang jawab seperti itu, pasti akan tercipta urusan yang baru.

"Nonton?" dia tidak menjawab, tapi malah pergi ke kamarnya, ya Tuhan harus bagaimana lagi aku membujuknya agar tidak marah.

Dia keluar dari kamarnya dengan tas kecil tergantung di bahu kirinya, ok aku bingung.

"Kau mau kemana?"

"Katanya nonton! ayo mumpung masih sore." dia tersenyum.

"Aku ambil kunci sebentar."

"Aku tunggu di luar." luar biasa sekali mahluk ciptaan-Mu ini Tuhan, bisa membuatku takut dan gemas bersamaan.

Di mobil, hening sesaat...

"Kau seharusnya tidak memberikan makananmu untuk pak Raja, sudah susah payah aku membuatnya untukmu, kau malah memberikannya untuk orang lain, tanpa izinku pula. Seharusnya kau menyuruhnya makan di luar tadi."

"Maaf."

"Itu menu baru yang aku bisa hari ini, dan orang lain yang menikmatinya."

"Maaf."

"Kalau makanan itu tidak enak bagaimana? kalau dia mengejek makanan ku bagaimana?"

"Maaf."

"Kau ini dari tadi hanya maaf, maaf, memangnya tidak ada kalimat lain apa." aiih, aku kira dia sudah tidak marah lagi, ternyata masih berlanjut.

"Hari ini tidak ada film romantis, mau film horor atau thriller?"

"Makan saja aku lapar." aku melipat bibir berusaha menahan tawa agar tidak keluar. Ya pasti lapar, tenagamu terkuras banyak karena mengomel sepanjang jalan kenangan Meera.

Kami langsung pulang begitu selesai makan. Meera sudah memasuki kamarnya sejak sampai tadi, dan aku masih di ruang kerja untuk memeriksa beberapa berkas lagi.

"Ini sudah malam mas, mau sampai jam berapa kau bersama berkas-berkas ini, kau sangat perlu istirahat, berkas-berkasmu itu tidak akan membantu apa-apa kalau sampai kau ...." Cup, aku mencium bibirnya kilat, kalau tidak, akan lebih panjang lagi omelannya.

"Kau istirahat lah, aku juga sudah selesai, selamat malam." dia menurut tanpa protes, mungkin masih syok dengan perbuatanku barusan. Sebenarnya ini juga pertama bagiku mencium seorang gadis, beruntung gadis itu tidak lain adalah istriku. Jadi, jangan tanya bagaimana detak jantung ku saat ini.

avataravatar
Next chapter