1 Gak apa kan?

Air kran di kamar mandi masih mengalir. Hanya itu suara yang berasal dari lantai satu. Dari lantai dua terdengar suara TV sayup menyiarkan gosip siang. Sesekali terdengar teriakan Perempuan. Di sofa hijau panjang seorang perempuan berbaring. Rambutnya berantakan, matanya yang sembab terpaku pada layar ponsel di genggamannya. Ia berteriak, menangis, tertawa, sesaat. Suara ponsel dan TV beradu. Perempuan itu masih terpaku pada ponselnya. Lalu ia menangis, terisak.

Suara langkah kaki telanjang menaiki tangga kayu. Seorang laki-laki berkaus hitam Dan celana pendek hitam berjalan melewati perempuan itu. Ia memandang dengan heran, sesaat. Menggelengkan kepalanya dan mengusap  rambut basahnya dengan handuk.

"Mandi sana!" Laki-laki itu berkata sambil berlalu ke teras lantai dua, jemuran.

"Mas, nanti malem aku ikut ke kafe ya,"

"Ngapain?" Laki-laki itu menjawab dari jemuran

"bantuin lah, sekalian cari cowok,"

Ponsel perempuan itu berdering, ia  mengangkatnya dan bergegas masuk ke kamar. Ia keluar dengan kaos putih yang sama, hanya dilapisi dengan kemeja kotak-kotak merah, jeans dengan robekan yang tak beraturan.

"Ra! Mau ke mana?" teriak laki-laki dari jemuran saat Rara keluar gerbang rumah. Tak ada jawaban. Laki-laki itu menuruni tangga sembari mengacak rambut basahnya. Dua kali belok kiri, ia menuju kamarnya. Ranjang kecil untuk satu orang, gitar menggantung dekat meja. Di atas meja Komputer dan laptop bersanding seperti Kenangan dan kenyataan. Di Bawah jendela sofa kecil tampak penuh dengan pakaian. Laki laki itu duduk di sana. Memegang ponsel, sesekali ia terbelalak, sesekali meringis, sesekali tertawa.

Dari ruang tamu yang juga sebagai ruang tengah telepon berbunyi. Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Menggapai gagang telepon.

"Sore, ini Rangga," ia mendengarkan dengan perhatian

"Oh iya, iya, sama-sama," ia membelalakkan matanya dan menarik nafas dalam.

.....

Rara berlarian di sepanjang lorong rumah sakit. Ia benci aroma rumah sakit, warna, dan suasananya. Bahkan ia benci datang ke rumah sakit, tapi apa yang dilakukannya sekarang? Ia kebingungan, sesekali Berhenti dan membaca sesuatu di ponselnya, pesan Whatsapp. Ia menelepon seseorang. Matanya terus mencari.

"Em dimana? Aku di depan lift lantai dua, oh oke oke," ia masih mencari,

"Ra! Rara!" seseorang melambaikan tangan tinggi tinggi dari ujung lorong.

Nafas Rara tak beraturan, wajahnya memerah.

"Gak perlu lari juga kali, sorry ya aku buru-buru tau sendiri kan dosbingku kayak apa? Maaf ya ngrepotin kamu, anak BPH Cuma kamu yang gak sibuk, duluan ya,"

Rara masuk ke dalam ruangan pasien. Ia melihat seseorang yang dikenalnya. Terbaring, tak berdaya, dan kesakitan. Rara duduk di kursi samping ranjang. Matanya terus memandang laki-laki di depannya.

"Kak?" seucap kata Rara saat melihat laki-laki itu sadar. Ia bersyukur dan melayangkan sedikit senyuman.

"Ha? Kamu kok? Ah.." Laki-laki itu meringis kesakitan dan memegang pergelangan tangan kanannya yang diperban.

"Yang mana yang sakit kak? Aku panggil dokter ya?"

"Gak usah gak usah, kamu kok bisa di sini? Apa aku tadi jatuh saat kamu lewat? Atau aku jatuh di depan rumahmu? Apa? Mau alasan apa?"

"Enggak mau alasan kok, Tadi kak Gani yang di sini, trus ada bimbingan, jadi dia telpon aku,"

"Ngapain telpon kamu? Kok bisa Gani tau aku jatuh dari motor?"

"Ya  gak tau lah, yang penting kak Dimas gak papa, cuma lecet dikit, ayo pulang,"

"Rumah kita berbeda, pulang tak berarti untuk kita,"

"apaan sih? Mau di sini terus?" laki-laki itu hanya memandang rara dengan heran.

Seseorang membuka tirai, sekat antar pasien.

"Saudara Dimas bisa pulang, mohon ke meja administrasi," kata seorang suster dengan penuh senyum.

Mereka berdua menuju meja administrasi. Berjalan dengan kecanggungan.

"bisa pake KIS?" tanya Dimas setelah ia menerima tagihan.

"maaf KIS bisa digunakan di Puskesmas, kalau di Rumah sakit ini masih belum bisa digunakan, BPJS berlangganan barangkali punya?"

"ah..." dimas mendongakkan kepalanya dan mengambil nafas dalam.

"kenapa?" Rara melihat tagihannya,

"pakai uang tunai bisa ya?"

"iya," suster itu mengangguk dan tetap tersenyum. Rara menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan dan dua lembar lima puluh ribuan.

"kenapa kamu yang bayarin?" kata Dimas

"kenapa? Anggep aja utang, kalo udah ada balikin,"

"oke, habis ini mampir ATM. tapi motorku dimana?"

"gak tau, mungkin di kantor polisi, naik grab aja"

Mereka berdua berjalan, Dimas di depan, Rara mengikutinya. Menuju ATM di sudut gedung Rumah Sakit. Dimas mengembalikan uang Rara. Mereka berjalan menuju pintu keluar Rumah sakit. Di sana Rara memesan Grab Car, menunggu di halte dekat pintu keluar. Tak ada pertanyaan, tak ada gurauan, mereka hanya terdiam seperti orang asing.

"kak, itu tu," rara melambaikan tangan kepada mobil yang menepi ke arah mereka. Rara membukakan pintu, rangga masuk terlebih dulu. Saat Rara hendak masuk,

"ngapain? Rumah kita beda kan?" kata Dimas,

"hah? Trus aku?"

"pesen aja lagi,"

"gak bisa lah kak, kan masih order ini, masak iya nungguin kak Dimas sampe Rumah dulu?"

"canggih dikit dong, pesen Go Car, gak punya aplikasinya? Download dong, udah ah, thank you ya," Dimas menutup pintu dan mobil pun berjalan. Rara masih menatap heran ke arah mobil yang sudah tak kelihatan.

"uwah..." rara hanya tak menyangka bahwa Dimas sekekanakan itu, padahal ia selalu mengira Dimas sebagai Ketua Hima yang keren, luar biasa, pinter, ramah, dan ganteng. Rara menggelengkan kepalanya,

"eh, ngapain sih mikirin itu, gak penting ah," Rara bergumam. Ia masih di halte, ia mengotak atik ponselnya mencoba menghubungi seseorang.

"mas, jemput dong," kata Rara ketika seseorang menjawab panggilan darinya,

"Dimana?"

"eh Di? Mas Rangga dimana? hapenya juga gak aktif,"

"barusan keluar, jadi dijemput gak?"

"oh iya iya iya, di rumah sakit, di halte, di jalan... Dimana ya ini.... Eemmmm bentar bentar aku cari tulisan jalan,"

"ribet amat sih, shareloc aja,"

"oh iya deh, sorry sorry," Rara menutup teleponnya, membagikan lokasi kepada Adi. Rara mencari alasan dalam dirinya. Ia bertanya pada dirinya sendiri tentang perasaannya pada Dimas. Rara kagum pada perjuangan hidup Dimas dan kharismanya di kampus. Walaupun Rara tahu bahwa Dimas selalu bersikap dingin padanya, tapi Rara selalu menyukai saat bersama dengan Dimas. Ia bertanya apakah kegugupan dan detak jantungnya saat bersama Dimas adalah cinta atau sekedar kegugupan.  Udara malam membuat Rara semakin masuk dalam renungannya.

Sementara Adi tiba di tempat Rara. Adi melihat Rara bosan dan mengantuk. Ia bernafas panjang dan turun dari motor. Adi duduk di sebelah Rara. Menyadari ada yang duduk disampingnya, Rara menggeser tubuhnya tanpa menoleh pada seseorang di sampingnya. Adi melihat kelakuan aneh Rara hanya bisa menahan senyum.

"pulang nggak?" Adi membuka suara

"Adiiii ...." Rara kembali bergeser dan memeluk Adi.

"woy, bukan mukhrim nanti kena razia," kata Adi dingin. Rara melepas pelukannya dan tersenyum pada Adi.

"eh, ngapain? Kok nangis?"

"enggak, siapa yang nangis?" Rara mengelak. Adi memegang pipi Rara. Ia memastikan Rara baik-baik saja.

"kenapa?" tanya Adi.

Rara memandang Adi dengan mata berkaca-kaca. Ia kembali memeluk Adi dan menangis. Adi terpaku. Tangannya terangkat, ia tak tahu apa yang terjadi, tangannya perlahan turun dan memeluk Rara. Ia menepuk punggung Rara. Mengusap rambut Rara hingga ia bangkit dan berdiri. Adi yang kaget menjadi salah tingkah.

"Ayo pulang Di, laper," kata Rara

"hah?" singkat adi dengan nyengir keheranan.

Jalanan kota masih padat. Jam pulang pekerja kantor. Adi menatap fokus ke jalanan depan, sementara Rara melihat sekeliling. Lelahnya penumpang bus kota, Pejalan kaki, dan para pengendara motor yang saling adu kecepatan, berebut pulang.

..........

Setelah setengah jam perjalanan mereka sampai di rumah. Rara menaiki tangga, sementara Adi hanya melihatnya dari ruang tamu.

"Ra! Aku balik ke Kafe ya," pamit adi

"ikut di," sahut rara memelas

Mereka saling berpandangan, Rara berwajah muram sementara Adi masih heran dengan Rara.

"kayaknya, kamu sakit deh ra?" Adi berjalan menaiki tangga menghampiri Rara.

Adi menyentuh dahi Rara, membandingkan dengan dahinya sendiri. Kemudian ia menuntun Rara naik ke atas. Adi membuka pintu kamar Rara.

"kamu istirahat aja di rumah, badan kamu panas gitu,"

"tapi di, aku kan..."

"udah lah ra, kalau kamu sakit nanti yang nganterin kamu ke kampus siapa? Yang buatin kamu makan siapa? Yang jagain kamu siapa? Yang repot siapa? Aku kan? Yaudah nurut!"

"ya maaf di, tapi..."

"apa? Apa lagi?"

"aku laper Di, sumpah!" kata Rara sambil mringis

Adi yang sedikit malu dan salah tingkah pun turun, ia melempar tasnya di sofa ruang tamu. Adi mencari mie instant di laci dapur dan segera memasak untuk rara. Mereka makan bersama mie instant rasa seblak jeletot.

"Mi instan buatan kamu lebih enak dari mie instan terenak di kampusku,"

"makan aja kenapa sih, habis ini aku ke kafe, jangan lupa cuci piring," adi tetap makan. Tak ada kata di antara mereka. Terus makan. Adi pergi ke kafe untuk bekerja, sedangkan Rara pergi ke kamarnya.

Adi tak tahu karena alasan apa ia selalu khawatir pada Rara, merasa bersalah atas kesedihan Rara, dan marah akan apa yang membuat Rara menangis. Ia mengira bahwa dirinya merasa harus balas budi pada keluarga Rara yang memberikan pekerjaan, tempat tinggal, dan menjadikannya sebagai keluarga. Kehidupan di panti asuhan selalu mebuatnya kesepian hingga Rangga mempekerjakannya dan memasukkanya ke dalam kartu keluarga. Adi hanya berpikir demikian.

Sepulangnya dari Kafe, Adi memeriksa cucian piring, mematikan lampu kamar mandi dan ruang tengah. Adi menuju kamarnya di lantai dua. Saat melewati kamar Rara Adi mendengar suara tangisan. Ia tak yakin suara itu berasal dari kamar Rara. Adi mendekatkan telinganya pada pintu kamar Rara. 

"Ra? Belum tidur?" adi mencoba bertanya, tapi tak ada jawaban.

"kamu gak apa kan Ra? Aku tidur di depan tivi ya, kalau kamu butuh aku bangunin aja," Adi pun pergi ke kamarnya, berganti pakaian dan kembali ke depan tivi. Tidur.

avataravatar
Next chapter