webnovel

Awal Pembicaraan

Seluruh penghuni asrama Lioness sedang menikmati sarapan mereka, kecuali Orion. Tatapan seorang gadis tidak pernah lepas darinya, itu bukanlah tatapan yang biasanya dia dapatkan dari gadis-gadis lainnya.

Selain tatapan dari Ellina, sesuatu juga menarik perhatian Orion. Ada seorang balita di pangkuan Elizabeth, dia sedang menyuapi anak itu dengan lembut.

"Nona Elizabeth, apakah itu anak mu?"

'Tentu saja itu adalah anaknya, Orion. Jika tidak, kenapa nona Elizabeth harus repot-repot begitu?' Orion tahu bahwa pertanyaan nya itu bodoh, tapi dia melakukan itu untuk basa-basi di awal.

"Iya, ini adalah putri kami. Kalian baru melihatnya hari ini, kan. Soalnya kemarin dia tidur ketika kita sedang makan malam" Elizabeth berkata sambil tersenyum.

Gadis yang ada di pangkuan Elizabet itu memiliki rambut berwarna pirang, memiliki mata berwarna hijau serta biru. Orion takjub melihat mata gadis itu, dia pernah bertemu dengan seseorang yang memiliki gejala mata seperti itu.

'Seorang Heterochromia, bahkan di dunia ini hal seperti itu masih ada'

"Dia punya mata yang indah" Orion berkata.

"Benarkah? Mungkin kelangkaan ini memang indah, tapi aku rasa. Semuanya akan setuju jika berkata bahwa mata mu lebih indah dan menarik, Orion" Elizabeth berkata.

"Kurasa, kalian terlalu melebih-lebih kan. Mata ku tidak sebagus yang kalian pikir" Orion tersenyum tipis.

"Menemukan seorang Heterochromia memang langka, tapi aku belum pernah mendengar seseorang dengan mata berwarna emas. Jadi, itu jauh lebih langka" Alvin berkata.

"Mungkin kau belum pernah mendengarnya saja, senior" Orion berkata, dia merasa sedikit tidak nyaman dengan pembicaraan itu. Karena Ellina semakin memberikan tatapannya yang tajam.

'Kurasa setiap detik gadis itu semakin mengancam ku dan jika aku dekat-dekat dengannya, aku bisa dibunuhnya'

"Nona Elizabeth, siapa namanya?" Kiana bertanya.

"Olivia Blanchefleur, panggil saja Olive. Benarkan Olive" Elizabeth melihat ke putrinya itu, gadis itu langsung tersenyum lebar.

"Olive sangat lucu dan menggemaskan" Kiara berkata, dia terlihat sangat menikmati senyum Olivia.

"Berapa usianya, nona?"

"4 Tahun, dia sangat manja" Elizabeth berkata sambil mengusap kepala gadis itu.

Mereka kembali sarapan dan itu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk selesai, sekarang Orion dan para seniornya sedang berkumpul di sofa. Mereka bercerita tentang beberapa hal yang sebelumnya pernah terjadi di akademi.

Orion menikmati itu, dia merasa mendapatkan wawasan baru. Alvin dan yang lainnya juga memberitahu Orion tentang sedikit peraturan umum di akademi, Orion mencatat itu. Dia bisa saja hanya mendengarkan dan menyimpan itu di kepalanya, karena ingatannya yang sangat kuat.

Tapi dia mencatat itu untuk diberikan kepada Kiara dan Kiana, karena kedua gadis itu sedang menolong Elizabeth membereskan sisa sarapan tadi. Dan Orion tentu berniat membantu kedua kekasihnya itu, dengan mencatat apa yang dia ketahui.

"Orion, apa kau punya waktu nanti?" Meliodas datang dari belakang mereka.

"Tentu" Orion mengangguk.

"Kalau begitu, temui aku di lapangan nanti" Meliodas menepuk bahu Orion lalu pergi.

"Apa ada masalah, Orion?" Glen bertanya.

"Aku juga tidak tahu, senior"

TAP

Orion melihat ke bawah, seseorang menyentuh pahanya. Itu adalah Olivia, dia memukul-mukul paha Orion sambil memakan sebuah permen. Mereka tersenyum melihat tingkah gadis itu yang menggemaskan, Orion hanya membiarkannya sambil mengusap kepala gadis itu.

"Orion, kurasa kau harus sedikit berhati-hati" Alvin berkata.

"Berhati-hati?"

BUK

Orion bergedik, begitu juga para seniornya. Dalam waktu singkat, rasa gemas yang Orion berikan ke gadis itu berubah menjadi rasa sakit yang tidak tertahankan. Gadis itu baru saja memukul "Batang" nya, Orion kesakitan karena itu dan seniornya hanya bisa berempati tentang itu.

"Astaga.....Sakit sekali...." Orion berkata sambil menahan rasa sakit itu.

"O-Orion, jangan lupa bernafas..." Dale mencoba membantu.

"Y-ya, alirkan rasa sakit itu ke tempat lain" Alvin menambahkan.

"Mudah berkata.....Dari pada melakukan itu...." Orion mengatur pernafasannya.

"Umm?" Gadis itu bingung melihat reaksi Orion.

"Olive, ayo kemari" Glen berkata sambil merentangkan tangannya.

"Tidak" Olivia menggeleng sambil memeluk kaki Orion.

"Olive, dimana kamu sayang?" Elizabeth berkata.

"Dia disini, nona Elizabeth" Dale menunjuk kebawah.

"Oh, apa yang kamu lakukan di sini?" Elizabeth mengambil Olivia.

"Bermain dengan kakak itu" Olivia menunjuk Orion.

"Kamu tidak nakal, kan? Apa dia berbuat hal jail pada mu, Orion?" Elizabeth melihat ke Orion.

"Ti-tidak nona Elizabeth, dia manis seperti malaikat" Orion tersenyum kaku, rasa nyeri masih bersarang diselengkangannya.

"Ya, memang begitulah dia...." Elizabeth tersenyum.

"Orion, kemarilah. Kalian bertiga harus berkenalan dengan Ellina" Elizabeth berkata sambil menggendong Olivia, dia pergi ke meja makan.

"Aku akan segera kesana...."

"Apa itu yang tadi coba kau peringatkan kepada ku, senior-Alvin?" Orion melihat ke Alvin.

"Ya, soalnya aku juga pernah begitu" Alvin mengangguk.

"Biar ku tebak, pasti senior Dale dan senior Glen juga kena" Orion berkata sambil melihat ke Glen dan Dale.

"Ya, kau benar. Dia melakukan itu ketika usianya 2 tahun" Dale mengangguk.

"Apa dia melakukan itu untuk sesuatu?"

"Entahlah, kita tidak bisa menebak isi pikiran anak-anak" Glen mengangkat bahunya.

"Aku akan ke tempat nona Elizabeth dulu" Orion berdiri dan langsung ke meja makan.

Disana sudah ada Elizabeth dan para gadis, Kiara dan Kiana berdiri di samping meja makan. Orion bergabung dengan mereka berdua, Elizabeth dan yang lainnya di sebrang sana.

"Nah, Ellina. Perkenalkanlah diri mu, sayang" Elizabeth berkata.

"Baik, senang bertemu dengan kalian..." Ellina berkata, namun ketika matanya melihat ke Orion. Itu tidak menunjukkan apa yang dikatakan olehnya.

"Nama ku Ellina Blanchefleur, tahun pertama. Sama seperti kalian, semoga kita bisa menjadi teman baik" Ellina berkata sambil tersenyum kepada Kiara dan Kiana.

Orion sadar bahwa senyum itu tidak di tujukan untuknya, namun ada hal lain yang sekarang sangat mengganggu pikirannya dan membuatnya cemas.

"Blanchefleur? Ellina adalah anak nona Elizabeth, ya?" Kiara berkata.

"Ya, itu benar. Sebelumnya kita tidak bisa bertemu karena aku memiliki urusan, makanya aku tidak ada kemarin" Ellina mengangguk.

"Kalau di lihat dengan seksama, Olivia sedikit mirip dengan Ellina" Kiana berkata.

"Tentu saja, dia ini adalah adik yang paling aku sayangi" Ellina berkata sambil mencubit pipi Olivia.

"Kakak, sakit!!!" Olivia mencoba mengelak namun tidak bisa.

'Ah, jadi begitu. Gadis ini sudah memberitahu tuan Meliodas tentang apa yang terjadi dan itulah kenapa tuan Meliodas memanggil ku.....'

'Aku dalam masalah besar, semoga tuan Meliodas bisa berpikir dengan jernih nantinya sebelum bertindak yang membuat ku dalam bahaya'

"Lalu, aku akan memperkenalkan diri...." Kiana berkata.

"Nama ku Kiana, tahun pertama. Senang bertemu dengan mu Ellina dan semoga kita bisa menjadi sahabat" Kiana tersenyum kepada Ellina.

"Ya, aku juga berharap begitu" Ellina juga tersenyum.

"Kiara, tahun pertama. Kiara harap kita akan menjadi teman serta sahabat yang dekat dan baik" Kiara tersenyum.

"Begitu juga dengan ku, Kiara...." Ellina kembali tersenyum.

"Tapi, apa kalian tidak punya nama keluarga?" Ellina terdengar bingung.

"Benar juga, aku tidak memikirkan itu sebelumnya" Gabriella menambahkan.

"Kami berdua tidak memiliki nama keluarga, ayah dan ibu juga tidak punya" Kiana berkata.

"Ah, begitu. Tapi, siapa yang peduli jika punya nama keluarga atau tidak. Benar, kan" Ellina berkata.

"Ya, itu hanyalah nama" Kiana mengangguk.

"Lalu, Orion" Elizabeth melihat ke Orion.

"A-ah, baik..." Orion sekarang menjadi sedikit bingung, untuk bisa berbicara normal kepada gadis yang baru saja mengalami kejadian yang sedikit klise baginya.

"Na-nama ku Orion, tahun pertama. Semoga kita bisa akrab" Orion berkata sambil tersenyum kaku kepada Ellina.

"....." Ellina yang melihat itu hanya diam.

"Ellina..." Elizabeth melihat putrinya, dia menegurnya.

"Ah, ya. Senang bertemu dengan mu, kalau begitu aku harus pergi" Ellina menjawab dengan dingin dan ketus, dia pun pergi.

"Hmm.....Ada apa dengan gadis itu? Maaf ya, Orion. Dia tidak bermaksud begitu, dia itu gadis yang baik" Elizabeth berkata.

"Ya, aku mengerti...." Orion mengangguk.

"Kebetulan aku juga harus pergi, kalau begitu permisi" Orion pun berjalan keluar.

"Orion, mau kemana?" Kiara menyusulnya.

"Tuan Meliodas ingin bertemu dengan ku di lapangan"

"Apa perlu, Kiara temani?"

"Tidak perlu, lagi pula aku hanya ke lapangan...." Orion mengambil sesuatu dari saku celananya.

"Tapi bacalah ini, ini peraturan dasar dan umum di akademi kita. Mungkin ini tidak lengkap tapi masih bisa membantu" Orion menyodorkan buku kecil itu kepada Kiara.

"Apa Orion yang membuat ini?"

"Aku hanya mencatat apa yang dikatakan oleh para senior kita, aku harap..."

"Itu bisa membantu kalian" Orion berkata sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, wajahnya sedikit merona.

"A-Apa Orion tidak membutuhkan ini?"

"Aku bisa mengingat itu dengan jelas, jadi tidak perlu"

"Ka-Kalau begitu, Kiara terima" Kiara mengambil buku itu.

"Jangan lupa membaginya dengan Kiana, ya...." Orion mengusap kepala Kiara.

"Aku pergi dulu" Dia pun pergi.

"....." Kiara hanya diam melihat kepergian Orion, sambil memeluk erat buku kecil itu.

Orion keluar dari asrama dan langsung menuju ke lapangan, di lapangan dia bisa melihat Meliodas yang duduk di bawah pohon, Orion memasuki lapangan dan berjalan menuju Meliodas, Meliodas yang melihat Orion memberi tanda agar Orion kemari dan duduk bersama.

Orion duduk di depan Meliodas dan melihat ke Meliodas, tidak ada keraguan dan ketakutan di tatapan matanya. Meski dia tahu bahwa dirinya memang salah, meski tidak sepenuhnya. Dia cukup yakin bahwa Meliodas adalah orang yang memikirkan sesuatu sebelum mengambil keputusan.

'Jika Ellina memang sudah mengatakan apa yang terjadi, maka jika tuan Meliodas adalah orang yang selalu mengambil pandangan dari 2 sisi. Maka dia pasti akan bertanya tentang apa yang terjadi melalui pandangan ku'

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan. Tuan Meliodas?" Orion memulai pembicaraan.

Next chapter