webnovel

Chapter 05 : Hari Pertama

Aku keluar dari pintu sekat yang menghubungkan langsung ke kamar mandi. Oke, baiklah. Mandi dengan air dingin di pagi hari itu bukanlah sebuah ide yang bagus. Aku tidak bisa menyalakan air panas di bathup, sedangkan shower-nya tidak mau menyala. Mungkin ada yang bermasalah dengan keran airnya. Dan lagi, aku terpaksa berendam dengan air dingin pagi buta begini. Menyebalkan sekali.

Setelah memakai seragam lengkap dengan almamater, aku mengeringkan rambutku dengan hair dryer yang kutemukan di dalam laci nakas di samping tempat tidur. Kulirik jam yang bertengger di dinding samping rak buku, jarum pendek menunjuk diantara jam lima dan enam. Jika menurut catatan, sarapan dimulai jam 6, masih setengah jam lagi. Mungkin aku bisa menyapa penghuni lantai 7? Walaupun ada banyak kamar di lantai ini, tapi setidaknya aku bisa menyapa beberapa.

Aku mematikan hair dryer dan menyisir rambutku, kemudian menguncirnya dengan pita yang kutemukan di meja rias. Setelah bercermin dan memastikan tidak ada yang salah dengan penampilanku, aku tersenyum, kemudian menggepalkan kedua tanganku, mencoba menyemangati diriku sendiri. Bagaimanapun, ini debut pertama SMA-ku, kan? Aku harus mencerminkan sifat yang baik agar bagus dimata semua orang. Aku tidak berniat mencari masalah di hari pertama masuk SMA.

Setelah latihan senyum untuk beberapa saat, aku mengambil sekotak kudapan pemberian Nata. Aku berniat memberikan kudapan itu untuk orang-orang yang ada di ruang santai, walaupun aku tidak yakin ada orang yang sedang menonton TV pagi-pagi begini. Tapi mungkin ada juga, kan?

Aku memutar kenop pintu, lalu menutupnya. Aku berjalan pelan melewati koridor, dan akhirnya sampai di ruang santai. Disana sudah ada sekitar empat orang yang sedang mengobrol sambil menonton berita pagi.

Aku menarik napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. Dengan hati berdebar, aku mendekati mereka berempat. "H-Halo.."

Sontak, mereka berempat berhenti berbicara saat melihat kedatanganku.

"Ah, kamu pasti pendatang baru itu, ya?" Seorang gadis berkulit gelap dan berambut hitam keriting yang dikuncir kebelakang tersenyum lebar padaku. Gadis itu beranjak berdiri dan menjabat tanganku tanpa seizinku. "Perkenalkan, namaku Charlotte de Fretes. Aku berasal dari Belanda. Kamu tahu, kan? Negara yang biasa disebut negeri kincir angin!"

Baik, dia cerewet sekali.

Aku tersenyum kaku, kemudian mengangguk samar. "Aku tahu,"

"Charl, kamu membuatnya gugup." Seorang gadis yang sangat familiar di mataku terlihat sedang mengemut permen sambil duduk di sofa dengan kaki menyilang. "Oh, hai Anise! Kita satu Lantai, ya?"

"M-Maria?!" Seruku tidak senang.

"Ada apa dengan raut wajahmu itu?" Maria terkekeh pelan. Tentu saja dia menyadari bahwa aku tidak menyukainya, mengingat caranya berbicara begitu kasar.

Aku menggeleng, kemudian memaksakan seulas senyum lebar. "Tidak apa-apa. Senang bisa selantai denganmu."

Tapi bohong.

"Wah, kalian sudah saling kenal?" Seorang gadis berambut hitam bergelombang sepunggung menatapku dan Maria bergantian. "Aku Emma Raven, dari London. Masih negara yang sama disini, jadi aku sering pulang sesuka hati." Emma tertawa pelan, dan sungguh, aku ingin berkata padanya bahwa aku tidak bertanya.

Seorang gadis dengan rambut cokelat dicepol keatas menatap risih kepada kami. "Kenapa kalian berisik sekali, sih? Tidak bisakah kalian membiarkanku belajar sebentar? Hari ini aku ada tes untuk pengambilan ni―oh, ada pendatang baru, ya?" Eh, sungguh, dia tidak menyadari keberadaanku? Memang, orang-orang disini tidak ada yang waras! "Namaku Elena Chaterine, panggil saja Elena."

"Heh, rajin sekali belajar. Padahal tanpa belajar juga pasti lulus." Charlotte, atau mungkin bisa dipanggil Charl, mengendikkan bahunya dan menatap remeh Elena.

Elena menatap Charl tajam-tajam. "Aku bukan pemilik bakat keberuntungan sepertimu, Charl."

"Bakat keberuntungan?" Ulangku dengan nada bertanya.

"Seperti dugaanmu, aku ini pemilik bakat keberuntungan!" Sahut Charl dengan bangga. "Buktinya, aku berada di kamar nomor 777 di lantai 7! Nomor keberuntungan. Meskipun sejak dua tahun lalu aku tidak menyadari tentang bakatku, tapi para anggota osis datang kepadaku dan meyakinkanku bahwa aku terkena Sindrom Pubertas." Charl beranjak duduk dan bersender di sofa dengan santai.

Maria menghela napas panjang. "Aku bahkan tidak menyangka saat tes tertulis, dia mendapat nilai sempurna, padahal malamnya dia bermain PsP di kamarnya."

"Dan dia mendapat kredit sebesar 500 dollar dari Lotte permen karet hanya dengan bermodalkan keberuntungan." Tambah Emma sambil memutar bola matanya.

Aku melongo menatap Charl yang justru sedang mencoba merebut kotak kudapan dari tanganku. "Wah, ini untukku, ya?"

Aku membiarkannya mengambil kotak kudapan itu. Toh, memang itu untuk kuberikan kepada mereka. "Untuk semuanya." Koreksiku.

Charl membuka kotak kudapan yang menyerbakan harum yang menggiurkan. "Wah, Cup Cake!"

"Terima kasih!" Seru mereka bersamaan, oh, Maria menjadi pengecualian.

Masih sekitar dua puluh menit lagi sebelum sarapan dimulai, kami memutuskan untuk mengobrol dulu sesaat.

"Eh, kalian menonton turnamen kemarin di gedung olahraga?" Emma membuka topik pembicaraan. "Kemarin yang menang siapa?"

"Kau masih bertanya?" Charl memutar bola matanya sambil tertawa pelan. "Tentu saja si Kiss of Death yang menang. Memangnya siapa lagi selain dia?"

"Kiss of Death?" Oh, sungguh, yang terlintas di benakku adalah ciuman kematian. Apa ini seperti kisah putri tidur versi horornya?

Elena menutup buku yang sedari tadi dibacanya. "Kiss of Death, dia adalah satu-satunya gadis yang menduduki peringkat pertama dalam kategori Level Gold."

Aku menatap datar Elena. "Level Gold?"

"Nata belum menjelaskan padamu?" Maria menaikan sebelah alisnya, menatapku heran.

Aku menggeleng. "Katanya kemarin dia ada misi atau apapun itu, lalu meninggalkanku sendirian di luar Aparterment."

Maria menghela napas pelan. "Di sekolah ini, terbagi menjadi dua bakat, yaitu bakat Level Gold, dan Level Silver. Level Gold berarti bakat yang kau miliki dapat berguna untuk perang, Silver berarti bakat yang kau miliki berguna untuk dirimu sendiri dan orang-orang sekitar." Jam tangan di pergelangan tangan kirinya berdering, kemudian gadis itu beranjak berdiri. "Kamu masuk ke Level Silver, jadi jangan terlambat masuk kelas." Kata gadis itu yang kemudian berjalan mendekati Lift dan menekan tombol bawah.

"Eh, kamu mau kemana?"

Maria melirikku lewat ekor matanya. "Tentu saja ke ruang Osis." Jawabnya, sebelum akhirnya masuk kedalam Lift.

"Kenapa sih, dia?" Aku bersungut-sungut sebal dengan kelakuannya.

Charl menatap ke arah Lift, meskipun sosok Maria telah menghilang dari pandangannya. "Asal kamu tahu, dia dulu tidak seperti ini."

"Huh?"

"A-Aahh... tidak. Bukan apa-apa." Charl beranjak berdiri, kemudian merapihkan kotak kudapan dan beberapa bungkusnya. "Sudah jam enam, ayo ke Kafeteria. Aku lapar."

Elena dan Emma bertatapan, kemudian tersenyum tipis. "Iya, ayo."

Aku hanya terdiam, tidak mengerti, dan hanya mengikuti mereka menuju Kafeteria.

***

Kelas 1-A, kelas yang akan aku tempati hingga tahun berikutnya. Aku memasuki kelas tersebut dengan terpana, mendapati bahwa kelas ini terlalu mewah untuk ukuran kelas SMA biasa―mengingat ini bukanlah sekolah biasa.

Tempat duduknya berjejer keatas seperti kursi bioskop, namun bedanya disini terdapat meja panjang yang hanya terpotong dibagian tengah untuk tangga keatas. Papan tulisnya pun juga sangat besar, sampai aku ragu jika itu bukanlah papan tulis, melainkan layar untuk menonton film.

Aku berjalan menapaki tangga, menatap nomor yang tertempel di setiap meja. Nomor meja disesuaikan dengan nomor kamar yang didapat, jadi tidak terlalu sulit bagiku untuk menemukannya. Aku berhenti di barisan ketiga dari atas, demi mendapati nomor mejaku berada tepat di sebelah dinding kaca yang menghadap langsung ke lapangan.

Aku duduk diatas meja, diam seperti orang bodoh. Sepertinya aku datang terlalu pagi.

Pintu kelas yang terbuat dari kaca terbuka, memamerkan seorang lelaki berseragam lengkap masuk kedalam kelas dengan wajah lesuh. Lelaki itu menatap mataku, membuatku balik menatap matanya. Aku terkejut begitu mendapati bahwa lelaki tersebut adalah Kelvin. Maksudku, dulu saat sekolah, dia selalu memakai pakaian yang berantakan―meskipun dia adalah ketua kelas. Tapi, lihatlah, sekarang dia begitu rapih dan nyaris membuatku tertawa.

"Sial," umpat Kelvin yang sepertinya mengetahui bahwa aku sedang menahan tawa. "Ja-Jangan tertawa! Ini bukan kemauanku, tahu!" Ujarnya sembari berjalan pelan menapaki tangga, mencari nomor mejanya.

Aku hanya mengangkat bahuku tanpa merasa berdosa. "Untuk informasi, kamu tidak cocok jika kancing kerah kemejamu dikancingkan." Ujarku jujur.

"Aku juga tidak suka," Kelvin cepat-cepat membuka kancing kerahnya, membuat penampilannya yang tadinya culun menjadi sedikit rileks. "Tadi aku nyaris tidak bisa bernapas karena kancing sialan ini."

Aku menopang wajahku saat mendapati dia duduk di meja sebelahku. "Memangnya kenapa?"

"Ah, aku duduk di sampingmu lagi, deh." Kelvin beranjak duduk di kursi. "Entah sial atau apa, aku satu lantai dengan si ketua osis dan dia memaksaku berpakaian rapih. Aku tahu dia ingin aku terlihat disiplin. Tapi, memasukkan kemeja dan mengancingkan kerah dengan dasi yang begitu erat, itu sama sekali bukan gayaku."

Tanpa kusadari, aku terkekeh. "Rambutmu juga terlihat licin." Ujarku. Aku menjulurkan tanganku, kemudian mengacak-acak pelan rambutnya. "Nah, Kelvin yang berantakan begini kan lebih cocok."

Kelvin tersenyum tipis, kemudian menyisir rambutnya dengan jemari tangannya yang lentik. "Rasanya aneh, ya. Rasanya kita seperti datang ke sekolah seperti biasa dan mengobrol seperti biasa, namun di tempat yang berbeda."

Aku mengangguk. "Kau benar," lapangan terlihat jelas dari dinding kaca, menampakkan beberapa orang yang sedang bermain kejar-kejaran dengan begitu bahagia. "Aku suka sekolah ini, tapi aku tidak suka bagaimana cara mereka memaksa kita untuk bergabung."

"Benar," Kelvin mengangguk setuju. "Tapi aku tahu itu bukan sepenuhnya salah mereka. Organisasi gila itu yang membakar Apartermentku dan diriku, jika saja Maria tidak menusuk orang itu dan menarikku berteleportasi."

"Iya," tanganku menggepal erat. "Mereka membakar rumahku, tempat yang paling kuanggap berharga. Semoga saja tidak ada korban."

Setelah hening canggung beberapa saat, Kelvin kembali membuka suara. "Jadi, kau si penglihat masa depan?"

"Dan kau si pengendali Gravitasi?" Balasku.

"Yap, aku biasa memakai kemampuanku untuk pergi ke kelas tanpa menaiki tangga." Jawab Kelvin bangga.

"Cih, pantas saja kau selalu datang pagi."

"Hey, aku juga sering melihatmu bertingkah nekat!" Kelvin menatapku dengan sedikit kesal. "Kamu kemarin pagi menyelamatkan anak kucing yang nyaris tertabrak mobil, kan?"

Aku membatu. "B-Bagaimana kamu tahu?"

"Aku sering melihatmu dari atas langit." Jawab Kelvin dengan santai. "Tenang saja, tidak ada seorang pun yang melihatku."

Aku memutar bola mataku. "Setidaknya, aku menggunakan kekuatanku untuk menolong orang." SIndirku.

Kelvin yang tidak berniat memperpanjang perdebatan hanya tertawa.

Beberapa menit kemudian, kelas mulai ramai. Dan berikutnya, aku mendapati fakta bahwa aku sekelas dengan Nata, Maria, dan Mauren. Maksudku, aku tidak keberatan sekelas dengan Mauren yang ramah. Tapi, sekelas dengan Nata dan Maria? Tidak terima kasih.

Dan lagi, Maria duduk di depanku, Mauren di sebelah Maria, dan Nata di belakangku. Lengkap sudah ketidak sukaanku.

"Kau tampak tidak senang," bisik Kelvin.

"Hati-hati kalau berpikir, nanti pikiranmu bisa didengar oleh gadis di belakangmu." Aku balas berbisik. "Semoga saja dia tidak membaca pikiran untuk menyontek."

Nata yang duduk di belakangku menopang wajahnya dengan kedua tangan, kemudian tersenyum maut. "Anise, kamu tahu kan aku di belakangmu?"

"Tentu saja!" Sahutku. "Aku hanya mengingatkan Kelvin, Nata. Semoga saja kamu tidak sembarangan menggunakan kekuatanmu, ya."

Nata menatapku tidak senang. "Aku tidak sebodoh itu, Anise. Asal kamu tahu, aku masuk peringkat sepuluh besar dalam kecerdasan otak."

Aku tidak bertanya, itulah yang kupikirkan. Dan aku yakin dia sudah membaca pikiranku jika dilihat dari raut wajahnya yang semakin tidak bersahabat.

"Bagaimana kalau kalian taruhan?" Kelvin membuka suara, membuatku dan Nata menoleh padanya disaat yang bersamaan. "Aku dengar, hari ini ada ulangan pengetahuan umum, dan mungkin saja itu sudah dipelajari saat SMP, jadi mungkin siapapun yang nilainya lebih rendah, akan mentraktir sesuatu."

Ah, aku kadang lupa bahwa Kelvin bisa sepintar ini.

"Baiklah," Nata melempar bola kertas kepada Maria, membuat Maria dan Mauren menoleh ke belakang. "Hey, Maria, Mauren, ayo taruhan!"

"Hm? Nilai tertinggi? Boleh." Mauren menyeringai lebar. "Bagaimana jika traktir makan di luar minggu ini?"

"Setuju!" Maria berseru semangat seperti anak yang baru dibelikan balon oleh orangtuanya. Dan sungguh, aku belum pernah melihat sifat Maria yang seperti ini. Sifatnya yang periang lebih cocok untuknya daripada sikap kasarnya yang biasa.

"Asal kamu tahu, dia dulu tidak seperti ini."

Perkataan Charl terngiang-ngiang di benakku, membuatku sedikit merasa bersalah telah menyebut Maria kasar.

"Anise!"

Aku tertegun, kemudian menatap Nata, Maria, dan Maura yang sedang menatapku lekat. "Kenapa melamun? Kamu setuju tidak?"

"E-Eh? Tentu saja!" Ujarku semangat. "Kelvin juga ikut taruhan?"

Kelvin menggeleng.

Baiklah, berarti ini hanya pertarungan empat orang.

Akan aku tunjukan bahwa aku tidak sebodoh yang mereka kira.

***TBC***