1 Malam Kelam

Hujan sangat deras mengguyur kota Situbondo. Rei membiarkan dirinya basah oleh guyuran hujan. Mengadahkan tangannya di sela-sela hujan yang turun, menikmati hujan yang seakan turut bersedih dengan takdir yang mengikat dirinya.

"Aku tidak bisa seperti ini. Semuanya harus berakhir. Mereka tidak boleh menjadi tameng di dalam kehidupan ku" gumam Rei dengan air mata yang terus mengalir dari mata cantiknya,"jika aku mati. Apakah semua akan baik-baik saja?" Tanya Rei pada dirinya sendiri,"bukan berarti karena mereka orang kaya. Hidup ku, mereka jadikan lelucon. Aku membenci keluarga itu." Isak Rei sembari menyeka air matanya. Membuat Rei mengabaikan keadaan di sekitarnya.

Sampai dimana, sebuah cahaya menyilaukan mata, membuat Rei mengangkat tangannya melindungi kedua netra matanya yang terkena pantulan cahaya lampu mobil yang menyilaukan matanya. Dia memilih diam dari pada menghindar dari cahaya yang membawa Rei dalamkesebuah kegelapan. Toh, hidup atau mati Rei tak peduli. Karena hidupnya tak berharga bagi dirinya sendiri.

BRAK!!!

Suara tabrakan terdengar keras. Hantaman tubuh Rei dengan mobil itu tedengar sangat keras. Tubuh Rei terpental beberapa meter dari tempat dia berdiri. Rei merasakan tubuhnya seringan kapas. Terkapar tak berdaya di atas aspal yang basah karena air hujan. Samar-samar dia mendengar orang-orang yang berebut menolong Rei. Bahkan ada yang menangis melihat Rei yang berlumuran darah. Rei hanya bisa pasrah. Hingga akhirnya, Rei terlelap dalam gelap.

——

Rei seolah-olah berada di dunia lain. Semuanya berwarna putih. Tampak seorang gadis dengan rambut panjang membelakangi dirinya, Rei mencoba mendekati gadis itu. Tiba-tiba, gadis itu menoleh ke arah Rei. Membuat Rei mengerjapkan mata.

Cantik. Itu yang berada di benak Rei saat ini.

"Tolong jadi aku" kata gadis itu membuat Rei mengerjapkan kedua matanya.

"Maksud kamu?" Tanya Rei tanpa mendapat jawaban kemudian gadis itu menghilang dengan sebuah senyuman di wajahnya. Sirna tanpa jejak.

Rei mencoba mengejar gadis itu. Namun sayangnya, gadis itu terlalu cepat menghilang. Hingga akhirnya sebuah hentakan di tubuh Rei membuat Rei membuka kedua matanya.

——

"Terima kasih Tuhan!" Terdengar suara seorang pria yang kini samar-samar wajahnya terlihat oleh Rei. Tersirat raut wajah legah dari wajah lelahnya. Tampak kantung mata yang menggelantung di wajah tampannya,

"Apa anda mendengar panggilan saya Nona? Syukurlah anda bisa kembali, jika tidak. Bisa hancur rumah sakit kami" kata seorang perawat wanita yang kini tampak bernafas lega.

Rei hanya tersenyum. Kemudian Rei menganggukkan kepalanya.

"Nona, sebentar lagi jika kondisi anda tetap stabil. Anda akan kami pindahkan ke ruangan VIP" kata seorang dokter pria muda dengan menyelipkan tangannya ke dalam kantong jubah putihnya. Memotong apa yang dikatakan perawat cantik yang kini diam seribu bahasa.

Lagi-lagi Rei hanya bisa mengangguk lemah. Ntah mengapa Rei merasa rambutnya kini bertambah panjang. Apakah Rei sudah tertidur sangat lama?

Ntahlah. Rei terlalu malas untuk berpikir. Dia memilih untuk terlelap kembali. Mengabaikan semua pertanyaan yang tersirat di kepalanya.

——

Rei's Pov,

Aku mencoba membuka kedua mata ku, mereka seolah-olah tak bersahabat dengan diriku. Kedua kelopak mataku terasa berat untuk aku buka. Aku terasa asing dengan tubuh ku sendiri. Tubuh ku terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku memperhatikan tanganku yang tampak lentik, lengkap dengan cat kuku berwarna hitam. Tunggu!

Cat kuku berwarna hitam? Sejak kapan aku menggunakan cat kuku berwarna hitam!

"Kamu sudah sadar Tha?" Tanya seseorang yang kini tampak berharap mendengar jawaban dari ku,

"Hmm—"aku hanya bisa bergumam dengan lirih. Tenaga ku masih belum terkumpul sempurna.

"Syukurlah! Kalau begitu aku sudah bisa pulang" katanya sembari beranjak dari kursi.

Jika bisa aku deskripsikan, pria itu tampan. Walaupun di telinganya terdapat tindikan di beberapa titik. Rambutnya sedikit panjang, tapi rapi. Seperti Oppa Korea. Kulitnya putih. Hidungnya juga mancung. Sayangnya, aku tidak mengingatnya. Karena aku tidak merasa memiliki seorang teman pria. Namun langkah pria itu, dihentikan oleh dua orang pria yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar ku.

"Lou—, Gatha baru sadar. Kamu mau ninggalin dia begitu aja?" Tanya pria jangkung yang menahan langkah pria bernama Lou.

"Tugas gue sudah kelar, Ka! Udah deh, jangan halangi gue"

"Tapi Uncle Bara bilang—"

"Lo kenapa juga sih Heng! Gue mau pergi ke tempat lainnya. Tugas gue, sebagai tunangan yang baik udah gue lakuin kan? Nunggu dia sadar dari koma. Lagian dia gak akan sedih juga, kalau gue tinggal" jelas pria itu yang mendapat helaan nafas pasrah dari dua orang pria di belakangnya. Aku masih bingung dengan semua ini. Tunangan? Siapa?

Aku memilih untuk bersuara, memperjelas keadaan ini. Karena jujur saja, aku tidak paham dengan semua ini.

"Em—, maaf... Kalian siapa?" Tanya ku membuat mereka bertiga kompak menatap ke arah ku,

"Lo gak kenal kita bertiga Gatha?" Tanya pria yang memiliki wajah oriental,

"Gatha? Kalian salah orang. Aku bukan Gatha—," elak ku, karena aku Rei bukan Gatha. Siapa Gatha? Apakah mereka bertiga salah mengenali seseorang? Aku rasa begitu.

"Alamakjang... Fixed dia anosmia!" Tandas pria oriental itu lagi. Memukul keningnya sendiri,

"Lo kira korona! Amnesia Njirrr!!!!" sahut pria yang lainnya,

"Amnesia? Aku ingat semua—, tapi aku—" elak Rei, sayangnya Rei tidak bisa menyelesaikan perkataannya,

"Cepat panggil dokter" pinta pria yang bernama Lou membuat dua pria di belakangnya berlari ke luar dari kamar ku. Membuat aku berdua dengannya di ruangan yang terasa sempit. Ntah mengapa... Aku merasa tidak baik-baik saja.

Pria itu melangkah ke arah ranjang ku. Aku mencoba duduk, berusaha agar terlihat baik-baik saja.

"Lo gak lagi sandiwara kan Gatha?" tanyanya penuh selidik,

"Aku—, serius. Aku bukan—" aku tergagap, tatapan Luo sangat menakutkan,

"Gatha, aku tau kamu tidak terima dengan keputusan ku buat akhiri hubungan kita. Tapi gak gini juga caranya. Kamu nabrak orang sampai koma!"

"Aku? Nabrak orang sampai koma?" Tunjuk ku, pada diriku sendiri.

"Lalu... Jika bukan kamu siapa lagi?" Tanya Luo tidak sabar,

"Tapi—"

Tiba- tiba seorang dokter masuk bersama seorang perawat, mereka tampak cemas. Aku mengerjapkan kedua mataku, kenapa harus serumit ini menjelaskan jika aku buka Gatha, tetapi Rei.

"Nona Gatha, apakah kepala anda sakit?" Tanya dokter yang merawat ku tadi,

"Tidak, aku baik-baik saja" jawab ku,

"Tolong berikan kacanya Suster!" pinta dokter itu,

Aku kemudian menerima sebuah kaca mini yang suster itu berikan, dan....

"Bagaimana bisa?????" Teriak ku, sembari menatap satu per satu makhluk yang berada di dalam kamar ku.

"Bagaimana bisa? Maksud kamu?" Tanya Lou kepada ku,

"Wajah ku?"

"Gatha? Jangan drama! Wajah kamu baik-baik saja"

"Tapi—"

"Perlu kita lakukan CT Scan?"

"Tidak perlu. Jiwa nya saja yang sakit!"

"Apa?" Tanya ku tak terima, bagaimana bisa pria yang bernama Lou mengatakan aku sakit jiwa.

"Gatha! Renungkan perbuatan mu! Jangan harap ada drama. Karena aku tidak suka hal itu" tandas Lou sembari pergi meninggalkan aku.

Aku hanya terdiam. Percuma saja. Karena aku memang bukan berada di dalam tubuh ku. Shock! Itu yang aku rasakan. Permainan apa ini Tuhan? Mengapa jiwa ku berada di tubuh orang lain.

"Nona—, kami akan melakukan pemeriksaan ulang. Anda—"

"Em—, saya rasa tidak perlu Dok! Saya baik-baik saja. Saya hanya sedikit shock" tolak ku, aku tidak ingin semua bertambah rumit. Cukup aku saja yang tau, siapa diri ku. Aku hanya perlu bersabar, sampai mendapatkan jawaban atas semua kejadian aneh yang menimpa diri ku.

Jika aku berada di dalam tubuh Agatha? Bagaimana dengan tubuh ku? Apakah aku masih hidup? Atau aku sudah mati?

avataravatar
Next chapter