1 BAB 1 TANGISAN ARETHA.

Seorang gadis berusia dua puluh lima tahun dengan kertas kresek berwarna hitam ditanganya yang berisikan makan malam untuknya dan sang Ayah. Ia terlihat tengah menunggu lampu hijau berubah menjadi merah, dengan begitu dia bisa segera menyebrangi jalan raya. Kedua matanya terlihat memerah seperti tengah menahan tangis. Dan sekarang yang berada di dalam pikirannya adalah sang Ayah, hanya dia yang ada di dalam pikirannya saat ini. Dan gadis muda itu tidak lain adalah Aretha.

Aretha terlihat tidak henti-hentinya melafalkan doa di dalam hatinya, supaya Ayahnya tidak menonton tv hari ini. Karena dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada sang Ayah kalau ia tahu mengenai berita yang sudah tersebar kemana-mana mengenai sang Kakak yang berprofesi sebagai seorang aktor. Terlebih, saat ini Ayahnya itu tengah dalam keadaan kurang sehat.

Aretha yang sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, karena lampu merahnya belum juga berubah menjadi merah, dia pun memutuskan untuk menyebrang jalan raya dengan menggunakan tangan kanannya untuk memberikan kode pada kendaraan yang akan melintas. Tanpa ia sadari, terlihat sebuah mobil yang tengah melaju kencang ke arahnya. Saat mobil itu yang sedikit lagi akan menyentuhnya, dia pun berteriak histeris dengan menutup kedua matanya ketika ia baru menyadari kalau seperkian detik lagi, mobil itu akan benar-benar menghantam tubuhnya.

"Apa kedua matamu buta? Sampai kamu tidak melihat kalau lampu lalu lintasnya masih berwarna hijau?" bentak seorang laki-laki itu, dengan wajahnya yang sudah memerah karena merasa kesal dengan apa yang dilakukan oleh Aretha.

Aretha yang mendengar dirinya dibentak, dia pun segera membuka kedua matanya, untuk melihat siapa laki-laki yang tengah membentaknya itu.

Saat ia sudah membuka kedua matanya, dan mendapati seorang laki-laki yang berparas tampan tengah menatapnya dengan tatapan tajam.

"Aku sama sekali tidak buta!" Aretha balas menatapnya dengan tatapan tidak suka.

"Alhamdulillah lampunya sudah merah," ucap Aretha saat ia melihat lampu hijaunya berubah menjadi merah. Dan ia pun telihat akan segera bergegas meninggalkan laki-laki itu. Tapi sayang, dengan cepat laki-laki itu mencengkram lengannya yang membuat Aretha tertahan.

"Kamu apa-apaan sih! Lepaskan tidak lenganku," marah Aretha.

"Tidak! Sebelum kamu minta maaf kepadaku," ucap laki-laki itu yang masih menatap Aretha dengan tatapan tajam.

"Kenapa aku yang harus minta maaf kepadamu? Jelas-jelas, kamu yang akan menabrakku. Jadi, yang harus minta maaf itu adalah kamu bukannya aku," balas Aretha yang tidak mau kalah dengan laki-laki itu.

Laku-laki itu terlihat semakin kesal saat mendengar kata-kata Aretha.

"Masih banyak urusan penting yang harus aku selesaikan, daripada aku harus meladenimu," ucap Aretha seraya melepaskan tangannya dari tangan laki-laki itu.

"Dan tenang saja, aku sudah memaafkanmu kok! Jadi, bye! Aku harap tidak akan bertemu denganmu lagi," tambah Aretha seraya melenggang pergi meninggalkan laki-laki itu yang masih menatapnya dengan tatapan tajam.

"Dasar gadis gila! Awas saja, kalau aku bertemu dengannya lagi. Aku akan memberinya pelajaran," geram laki-laki itu, dan dia pun segera kembali ke mobilnya.

***

Sesampainya di rumahnya yang berukuran tidak terlalu besar, Aretha dengan cepat mencari keberadaan sang Ayah. Perasaan takut kembali menyeruak menggerogoti hatinya.

Kaki Aretha terasa lemas, saat ia mendapati sang Ayah tengah berada di depan tv. Dengan tenaga yang masih tersisa, dia pun melangkahkahkan kakinya menghampiri sang Ayah yang tengah menatap tv, dengan kedua matanya yang sudah memerah.

"Ayah makan dulu ya?" ucap Aretha dengan berlinang air mata menatap sang ayah yang pandangannya tidak beralih dari televisi.

Karena tidak mendapatkan respons dari sang Ayah, Aretha pun memeluk erat sang Ayah dengan berlinang air mata. Dia benar-benar sudah tidak bisa menahan rasa sesak pada dadanya.

"Kamu kenapa menangis sayang?" tanya sang Ayah yang semakin membuat Aretha terisak mendengar ucapannya.

Karena sang putri yang tak menjawab pertanyaannya, dia pun mengurai pelukan sang putri padanya untuk memastikan kalau putrinya baik-baik saja.

"Hey! Sayang, katakan pada ayah. Kenapa kamu menangis?" ucap sang ayah dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya.

"Katakan sayang, apa yang membuatmu menangis?" ucapnya lagi karena Aretha tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Kalau sampai kakakmu tahu kalau kamu menangis, dia pasti akan merasa sedih dan marah pada orang yang membuatmu menangis seperti ini. Kamu tahu sendiri kan, kalau kakakmu itu sangat membenci melihatmu menangis," ucap sang Ayah yang membuat Aretha semakin terisak.

"Tadi, saat Aretha akan menyebrang, ada seorang laki-laki yang memarahi Aretha. Padahal Aretha tidak sepenuhnya salah Yah," ucap Aretha setengah berbohong.

"Memangnya, apa yang kamu lakukan hingga membuatnya memarahimu?" tanya sang Ayah seakan dia sudah melupakan apa yang sudah dilihat di layar tv beberapa menit yang lalu.

"Aretha menyebrang saat lampu lalu lintas masih hijau," cicit Aretha.

"Pantas saja laki-laki itu memarahimu sayang, tapi kamu tidak apa-apa kan?" ucap sang Ayah memastikan.

"Aretha tidak apa-apa kok Yah," ucap Aretha.

"Aya..hh mak…an dulu ya?" tambah Aretha dengan terbata karena mencoba menahan tangisnya.

"Nanti ya sayang, kita tunggu kakakmu pulang dulu supaya kita bisa makan malam bersama," ucap sang Ayah seraya mengalihkan pandangannya menuju pintu rumahnya berharap sang putra akan membuka pintu itu, seolah-olah dia mengabaikan berita yang ia tonton beberapa menit yang lalu mengenai putra sulungnya.

"Lebih baik Ayah makan duluan saja ya, mungkin kakak masih sibuk syuting," ucap Aretha pada sang Ayah.

"Ayah tahu sendiri kan, kalau kakakku yang tampan itu, kalau dia sedang sibuk syuting dia pasti akan terlambat pulangnya," tambah Aretha pada sang ayah dengan tersenyum walaupun air matanya masih berlinang membasahi wajahnya.

"Iya sudah kalau begitu kita makan duluan saja, mungkin kamu benar kalau kakakmu itu tengah sibuk syuting," ucap sang ayah dengan raut wajah tidak bersemangat.

Aretha pun tersenyum saat mendengar kata-kata sang ayah yang akhirnya mau untuk makan malam terlebih dahulu tanpa menunggu kakaknya yang memang tidak akan pernah pulang lagi ke rumah.

"Ayah tunggu di sini ya, biar Aretha siapkan makan malamnya dulu," ucap Aretha pada sang ayah, dan Aretha pun melangkahkan kakinya menuju dapur menyiapkan makan malam untuk sang ayah.

Sesampainya di dapur, Aretha luruh ke lantai dan meletakkan kepalanya di atas kursi plastik yang ada di depannya. Aretha kembali terisak karena hatinya yang terasa sangat menyesakkan saat melihat keadaan sang Ayah yang seperti sadar tapi tidak sadar dengan apa yang terjadi pada kakaknya. Karena jelas-jelas, Ayahnya itu sudah menonton berita mengenai kecelakaan yang menimpa sang Kakak.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan untuk membuat Ayahku bisa mengikhlaskan kepergian Kak Akhtar," isak Aretha dan menyadari kalau ia harus segera menyiapkan makan malam untuk sang Ayah.

"Ayah pasti sudah menungguku untuk mengambilkan makan malam untuknya," ucap Aretha seraya bangun dari lantai dan segera menghapus air matanya hingga tidak ada yang tersisa pada wajahnya.

Setelah bangun dari lantai, Aretha pun segera mengeluarkan makanan yang ia beli tadi untuk sang Ayah.

"Semoga ayah suka dengan makanannya."

Aretha terlihat berjalan keluar dari dapur menuju meja makan dimana sang ayah sedang menunggunya.

"Kenapa lama sekali Tha, Ayah kan sudah lapar banget ini," ucap sang Ayah yang tengah terduduk di kursi rodanya.

"Hehehe maaf Yah, soalnya tadi Aretha ke kamar mandi sebentar karena perut Aretha tiba-tiba terasa mulas," ucap Aretha yang tentu saja tengah berbohong pada sang Ayah.

"Aretha suapin ya Yah," ucap Aretha yang sudah duduk di depan sang Ayah.

"Terimakasih ya Tha," ucap sang Ayah dengan tersenyum.

"Sama-sama Yah. Pokoknya Ayah harus cepat sembuh. Aretha sedih kalau melihat Ayah sakit seperti ini. Kalau kak…ak mengetahui Ayah sedang sakit, Aretha pasti diomelin," ucap Aretha yang kembali menitikkan air matanya saat menyebut sang kakak.

"Loh! Kok nangis lagi Tha? Kan bukan salah Aretha kalau Ayah yang sakit. Ayah saja yang bandel karena tidak mau menjaga kesehatan," ucap sang Ayah seraya menghapus air mata Aretha.

"Kamu jangan khawatir, nanti kalau kakakmu memarahimu. Ayah akan balik memarahinya," tambah sang Ayah yang masih menghapus air mata Aretha.

"Kapan ayah makannya, kalau kamu menangis terus Tha," lanjutnya yang pura-pura kesal.

Aretha terkekeh melihat Ayahnya yang pura-pura terlihat kesal.

"Iya, iya! Aretha enggak nangis lagi kok ini," ucap Aretha seraya menghapus air matanya dan ia pun mulai menyuapi sang Ayah.

"Nah! Gitu dong. Kalau tersenyum kan jadi tambah cantik," ucap sang Ayah seraya mengunyah makanan yang disuapi oleh Aretha.

"Enak enggak yah?" tanya Aretha pada sang Ayah.

"Memangnya kapan masakan putri Ayah yang cantik ini enggak enak," ucap sang Ayah dengan tersenyum.

"Tapi kok ini rasanya beda ya, dari rasa masakanmu Tha? Lebih enak yang tadi siang deh!" tambahnya.

"Itu karena Aretha beli makanannya, mangkaknya Aretha agak lama pulangnya," ucap Aretha seraya tertawa kecil.

"Pantas saja, rasanya beda."

"Tadi, kata Ayah makanannya enak," goda Aretha.

"Memang enak kok! Tapi lebih enak masakanmu," balas sang Ayah.

"Iya deh, Aretha percaya. Sekarang Ayah makan lagi. Pokoknya, makanannya harus sampai habis."

Dan Aretha pun kembali menyuapi sang Ayah hingga makanannya habis.

Beberapa menit kemudian, Aretha pun selesai menyuapi sang Ayah. Begitu pun dengan makanannya sendiri.

"Karena makanannya sudah habis, itu berarti saatnya Ayah untuk minum obat," ucap Aretha seraya mengambil obat sang Ayah yang ada di atas meja makan.

"Minum dulu Yah," tambah Aretha seraya memberikan sang Ayah segelas air putih.

"Terimakasih sayang," ucap sang Ayah setelah meminum air putihnya.

"Dan ini obatnya," ucap Aretha seraya memberikan sang Ayah dua tablet obat.

Aretha tersenyum saat sang Ayah meminum obatnya tanpa protes yang seperti dia lakukan kemarin.

"Karena Ayah sudah meminum obatnya, itu berarti waktunya Ayah untuk tidur biar cepat sembuh," ucap Aretha pada sang Ayah.

"Lalu kakakmu bagaimana?" ucap sang Ayah yang kembali membahas mengenai Akhtar.

"Kalau mengenai kakak, biar Aretha saja yang menunggunya sampai pulang Yah. Jadi, sekarang Ayah harus tidur ya," ucap Aretha yang dianggukkan oleh sang Ayah.

Aretha tahu kalau sang Ayah terlihat sangat enggan untuk tidur karena sang putra yang belum pulang. Padahal, putranya itu sudah berjanji akan pulang malam ini.

"Iya deh! Ayah tidur duluan," timpal sang Ayah.

Mendengar jawaban yang diberikan oleh sang Ayah, Aretha pun segera mendorong kursi roda sang ayah menuju kamar.

Saat sudah sampai di kamar sang Ayah. Aretha pun membantunya untuk berbaring di atas tempat tidurnya.

"Tha, nanti kalau kakakmu belum juga pulang sampai jam sebelas, kamu tidur saja ya? Ayah tidak mau kalau kamu sampai tidur terlalu malam," ucap sang ayah yang dianggukkan oleh Aretha.

"Sekarang Ayah tidur ya," ucap Aretha dengan tersenyum seraya menyelimuti sang Ayah.

"Selamat malam Ayah! Tidur yang nyenyak dan mimpi indah," tambah Aretha seraya mengecup kening sang ayah dengan penuh sayang.

"Aretha akan di sini, sampai ayah tertidur," lanjut Aretha.

"Terimakasih ya Tha," ucap sang Ayah dengan tersenyum dan ia pun mulai memejamkan kedua matanya untuk memasuki alam mimpi.

"Aretha tidak tahu bagaimana caranya untuk memberitahu Ayah yang sebenarnya," ucap Aretha di dalam hati seraya menatap sang ayah dengan mata berkaca-kaca.

TO BE CONTINUE

Happy reading readers, jangan lupa review, dan kritik beserta sarannya. jangan juga follow ig sayaa @idaflicka. Ini adalah novel pertama saya diwebnovel, semoga kalian suka.

avataravatar
Next chapter