1 Perjodohan?

"Zia, apa kamu sayang sama mama?"

Seorang wanita berpakaian dokter dengan wajahnya yang masih tampak awet muda meskipun sudah berkepala empat itu telah resmi menjadi seorang ibu baru dari gadis bernama Zia. Saat ini, dia tengah menatap putrinya dengan serius.

"Kenapa mama nanya gitu?" Kening Zia mengerut, dia sungguh tidak paham mengenai maksud dari pertanyaan sang mama.

Wanita di depannya yang bernama Anita itu membuang napas pelan, dia merupakan sahabat almarhum mama Zia yang telah meninggal bersama sang papa akibat insiden kebakaran di rumahnya satu Minggu yang lalu.

Anita memang sudah sepakat ingin merawat Zia dan menganggapnya sebagai putrinya sendiri. Terlebih, almarhum sahabatnya dulu pernah berpesan jika suatu saat dia meninggal, dia ingin Zia menjadi anggota keluarganya.

"Mama tidak meminta banyak hal, ini juga wasiat almarhum mama kamu yang menyampaikannya sebelum dia meninggal. Tepatnya saat kami masih duduk di bangku kuliah," jelas Anita.

Zia semakin tidak mengerti dengan pembicaraan ini. "Mama bicara apa, sih? Dan apa maksudnya dari surat wasiat itu, Ma?"

"Kami berencana ingin menjodohkan kalian saat sudah dewasa. Mama, dan almarhum mama kamu, sudah sepakat ingin mewujudkannya."

Zia yang semula menyender, reflek menegakkan tubuhnya. "A–apa?"

Anita menggapai jemari tangan Zia, lalu mengusapnya pelan. Ada sorot penuh harap dari kedua matanya ketika menatap mata Zia. "Kamu harus menikah dengan Dewa, putra sulung mama."

Ada jeda untuk beberapa saat, sementara otak Zia berusaha mencerna ucapan mamanya. Di ruang tamu itu hanya ada mereka berdua. Serta AC yang menyala yang membuat Zia semakin merasa suasana di sana sangat mendesaknya.

"Mama ingin aku menikah dengan anak mama sendiri? Mama tidak bercanda, kan?" tanya Zia tak percaya.

Zia memang belum pernah mempunyai pacar, tetapi jika dijodohkan seperti itu, Zia merasa ingin tertawa saat ini juga. Bagaimana tidak? Di zaman semodern ini, masih ada sistem perjodohan seperti di zaman Siti Nurbaya dahulu?

Ah, Zia benar-bener tertawa geli.

"Zia, mama serius. Ini wasiat dari almarhum mama kamu. Dan perjodohan ini demi kebaikan kamu juga. Masa depan kamu sudah terjamin baik setelah menikah dengan Dewa, Zia," kata Anita berusaha meyakinkan.

Tawa reflek Zia terhenti, tergantikan dengan helaan napas panjang. "Tapi kenapa harus anak mama? Zia bahkan belum pernah melihat Dewa. Zia juga tidak tahu bagaimana sifatnya. Lagi pula, di antara kami tidak cinta, Ma."

"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Zia. Kamu tidak usah meragukan sifatnya lagi. Dia anak baik dan patuh. Dewa juga menyayangi mama dan papa. Dia pasti bisa pelan-pelan mencintai kamu juga, Zia."

Tatapan mata Anita yang penuh harap dan permohonan itu membuat Zia merasa tidak enak. Apalagi saat mengingat jika wanita itu sudah bersedia merawatnya dan menganggapnya sebagai putrinya sendiri.

Namun, Zia tidak semudah itu bisa berkata 'iya'. Menikah bukan hanya soal masa depan, tetapi juga ibadah.

Yang artinya, dia harus menahan apapun untuk tidak berbuat ulah yang bisa menyebabkan dirinya berdosa. Apalagi, Zia juga belum pernah melihat Dewa.

Dan Zia, masih belum siap untuk menjalani ikatan pernikahan dengannya.

"Maaf, Ma. Tapi Zia butuh waktu untuk memutuskan. Lagi pula, umur Zia masih belum cukup dewasa untuk menjalin rumah tangga, Ma. Zia belum siap," jawab Zia dengan berat hati.

Zia melihat raut wajah Anita yang berubah sendu. Embusan napas panjang yang terdengar setelahnya juga menjelaskan betapa berharapnya Anita pada Zia untuk menerima perjodohan itu.

Namun, Anita juga tidak mau terlalu memaksa. Zia bukan anak kandungnya, dia tidak punya banyak hak atas setiap keputusan Zia. Anita akhirnya kembali menatap Zia dengan hangat setelah sempat menunduk.

"Mama bisa menerima apapun keputusan kamu, Zia. Tapi mama sangat berharap kamu bisa mengetahui apa itu arti balas budi. Mama yakin, kamu pasti sudah memahami akan hal itu."

Jantung Zia rasanya seperti dipukul, ada hantaman yang cukup keras sehingga membuat dadanya terasa sesak. Zia bergeming untuk beberapa detik sebelum membalas senyuman Anita dengan sopan.

"Zia tahu, Ma."

Anita tersenyum, mengusap rambut panjang Zia dengan lembut. Dia menyadari hal itu sangat sulit bagi Zia. Namun, dia melakukan itu bukan semata-mata untuk kepentingannya.

Sementara Zia hanya bisa menahan sesak dalam dadanya. Sekali pun dia membutuhkan waktu, tetap saja dia sudah tahu jika kepputusannya uuntuk menolak sangatlah mustahil dia ucaapkan.

***

Di lain sisi, seorang laki-laki yang tengah duduk santai di depan meja belajarnya sudah lebih dari satu jam memandangi foto seorang gadis di dalam ponselnya.

Namanya Dewa, putra sulung Anita dan Rehan yang masih berada di luar negeri untuk melanjutkan studi S2 sebagai mahasiswa di salah satu universitas ternama di sana. Beberapa menit yang lalu dia mendapat kabar dari sang mama mengenai perjodohannya dengan anak dari sahabat almarhum mamanya.

Bibirnya tidak luput dari senyum ketika mengetahui jika gadis di dalam foto itu sebentar lagi akan menjadi calon istrinya. Meskipun Dewa belum pernah bertemu apalagi berbicara dengannya, tetapi Dewa yakin gadis bernama Zia itu termasuk dalam kategori tipenya.

"Mengapa dia manis sekali? Ayolah, aku menjadi tidak sabar ingin cepat bertemu dengannya secara langsung," puji Dewa dengan tawa pelan.

Ah, sekarang Dewa benar-benar sudah jatuh cinta pandangan pertama pada calon istri imutnya.

"Aku tidak tahu kenapa mama bisa punya sahabat yang memiliki putri semanis dia?" lanjut Dewa menggumam lagi. Dia sungguh tidak berhenti untuk memuji kecantikan seorang Zia.

"Dewa, sepertinya kamu sudah menemukan tempat di mana hatimu harus berlabuh." Dewa tersenyum lagi, sebuah senyum yang sangat menawan dan membuat siapa saja pasti tidak bisa berpaling darinya.

Seumur-umur, setelah masa SMA yang mengharuskan dirinya untuk putus dengan pacarnya, sampai sekarang di mana Dewa sudah lulus S1, dia belum pernah lagi memiliki seorang pacar. Bahkan teman perempuan, pun, tidak banyak yang akrab dengannya.

Sejujurnya banyak yang mendekatinya, hanya saja Dewa sudah tidak lagi tertarik untuk bermain-main. Meskipun di umurnya yang terbilang masih muda, Dewa tidak mau lagi mendapat luka soal cinta.

Iya, dia dulu putus karena pacarnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Jika bertemu dengannya lagi, entah mantan pacarnya, ataupun mantan sahabatnya, Dewa hanya ingin mendengar kata maaf dan penyesalan darinya.

Kalau pun tidak bisa, Dewa hanya berharap kelak anak-anaknya tidak tumbuh dewasa seperti mereka.

Beberapa menit pun berlalu, Dewa bangkit dari duduknya, berjalan menuju sisi kiri ranjang dan mengambil sebuah kotak berwarna merah di laci paling bawah. Dewa lalu duduk lagi untuk membuka kotak berisi sesuatu yang special itu.

"Apa kamu akan menyukai ini?" gumam Dewa sembari menatap sebuah cincin berlian yang sangat cantik di dalam kotak itu.

"Aku harap kamu senang saat melihat kedatanganku nanti, Zia." Dewa berucap lagi. Kali ini dengan senyum tipis yang tampak ragu.

Dewa menutup kotak itu lagi. Memasukkannya kembali ke dalam laci, lalu membuang napas panjang. Besok, dia akan bersiap-siap untuk berangkat ke bandara sesuai dengan permintaan sang mama.

"Tunggu aku, Zia. Aku akan segera datang melihatmu."

avataravatar
Next chapter