webnovel

Gudang Sekolah

Teetttttt...

Teeeetttttt

Teeeeeettttttt

Bel pulang sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran telah usai saatnya kembali ke rumah. Suara merdu yang sangat dinanti oleh para murid dan juga para guru, seakan pembangkit semangat mereka karena sudah kelelahan mengajar dan menerima pelajaran.

Para siswa pun tampak berantusias membereskan buku serta alat tulis mereka ke dalam tas, dan langsung berhambur pergi meninggalkan kelas. Berbeda dengan Tamara, ia selalu berangkat lebih awal dari temannya dan selalu pulang paling akhir.

"Aduuuhhh Ara, kamu itu kebiasaan deh kalau beresin buku lama, kaya putri Solo," cerocos Jessie, sahabat Tamara dari kecil. Tamara atau yang lebih sering dipanggil Ara hanya melongos dan mendongakkan kepalanya menatap Jessie dengan tatapan jengah.

"Siapa yang nyuruh kamu nungguin, sih. Balik duluan sana, aku 'kan bawa mobil sendiri hari ini," sahut Ara. Ya, Ara memang terkadang pulang bareng sama Jessie, makanya sahabatnya itu selalu menunggu.

"Astauggeeee sayuuurrrr looodeeeehhh, kenapa enggak bilang dari tadi sih Ara yang paling pinter, cantik, tapi juteknya minta ampun," seru Jessie berkacak pinggang dan melototkan matanya.

"Astaga Jessie Isabella, anaknya Pak Ahmad. Aku udah bilang dari tadi pagi malahan," balas Ara ikut geram.

"Oh iya lupa, kalau gitu aku yang cantik jelita ini balik duluan, ya. Paapayyyy."

Ara hanya menggelengkan kepalanya, ia sudah terbiasa dengan sahabatnya yang cerewet, pelupa, dan suka telat mikir. Berbeda dengan dirinya, jutek, tak banyak bicara, namun ia sangat pandai dan selalu mendapat juara satu di kelasnya.

Tak lama kemudian, Ara pun meninggalkan kelas. Ia berjalan menuju ke parkiran, jarak parkiran dari kelasnya memang cukup jauh. Sekolahan Ara sangat besar dan luas, kualitas sekolah pun tak perlu ditanyakan lagi dan mungkin hanya kaum elit saja yang mampu menyekolahkan anaknya di sana.

Ara berjalan pelan menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi, ia memang selalu pulang akhir karena menghindari keramaian. Ya bisa dikatakan kalau Ara itu Introvert Girl.

"Tamara Parveen!" seru Bu Agnes, guru killer di sekolah itu, namun ia selalu lemah lembut jika di hadapan Ara.

Ara pun menoleh ke sumber suara itu, "Ada apa ya, Bu?" tanyanya penasaran, karena Bu Agnes terlihat panic dan terengah- engah.

"Ah ituuu, saya butuh bantuan, untung kamu masih di sini. Kamu mau nggak bantuin ibu bawa buku- buku yang sudah tak terpakai ke gudang belakang? Soalnya cleaning servis udah pada pulang jam segini, temen- temen ibu juga sudah pada pulang, jadi nggak ada yang bantuin deh, hehe.

"Mau, kan?" tanya Bu Agnes penuh harap.

"Tentu saja," jawab Ara tersenyum manis.

Mereka segera ke perpustakaan. Ara sangat terkejut saat melihat tumpukan buku yang menggunung layaknya Gunung Everest. Andai saja ia tahu sebelumnya, mungkin ia akan menolak untuk menolong Bu Agnes, karena itu akan memakan waktu yang lama dan juga melelahkan.

Bu Agnes dan Ara pun membawa buku- buku ke gudang. Ara tetap bersedia membantu walaupun ia terus menggerutu dalam hatinya. Karena bukunya terlalu banyak jadi harus sedikit demi sedikit membawanya. Mungkin sekali membawa, tumpukannya setinggi 40 cm dan tentu itu sangat berat. Untung saja jarak perpustakaan ke gudang tidak terlalu jauh, kalau iya mungkin tangan dan kaki Ara sudah lepas dari asalnya.

"Aduh Ara, saya mau ke toilet dulu ya, kebelet nih. Tinggal dikit kok, kamu lanjutin ya.

Makasih, byee Ara cantic, ucap Bu Agnes. Wanita berhijab biru itu pun berlari terbirit- birit karena alam sudah memanggilnya.

Ara segera mengambil tumpukan buku terakhir, namun saat kembali ke gudang ia berpapasan dengan Arsenio. Lelaki tampan, sikapnya dingin, sekaligus lelaki idaman para wanita dan guru- guru genit, namun tidak bagi Ara. Baginya, Arsenio itu sangatlah menyebalkan.

Arsenio tampak sedang membawa keranjang berisi bola- bola basket yang kempes, mungkin sudah tidak dipakai lagi jadi akan diletakkan di gudang. Ara dan Arsenio pun masuk ke gudang itu, mereka segera meletakkan barang yang dibawa ke ruangan yang berbeda.

"Ngapain kamu ngelihatin aku!" gertak Arsenio, atau yang lebih sering disapa Nino.

"Siapa yang ngelihatin kamu sih, jadi orang tuh jangan kepedean," sahut Ara tak kalah pedasnya.

"Dasar cewek galak!"

"Dasar cowok nyebelin!"

Mereka meletakkan kedua tangan di dada, berhadap- hadapan dan saling melototkan matanya. Tiba- tiba terdengar suara pintu hendak ditutup, mereka panik dan langsung berlari menuju pintu.

"Ahhh, anak itu pasti sudah pulang, nyebelin banget tuh anak enggak mengunci gudang dulu, main pergi- pergi aja," gerutu Bu Agnes seraya mengunci pintu gudang dan ia pun langsung pulang. Bu Agnes tidak tahu jika masih ada orang di dalam.

Ara dan Nino pun semakin panik karena pintu gudang telah tertutup rapat. Mereka menggedor- gedor pintu, namun tak ada satupun yang datang. Mungkin di sekolahan sudah tidak ada orang selain satpam, padahal satpam jam segini berada di depan gerbang, jadi tidak mungkin mendengar teriakan mereka.

Nino dan Ara frustasi, mereka terus menggedor pintu. Hingga akhirnya lelah pun menghampiri. Mereka menyandarkan tubuh di balik pintu, mengatur nafas dan menyeka keringat yang bercucuran di kening mereka.

"Aduuhh capek, haus lagi," celetuk Ara. Ia mengambil botol minum di tasnya, untung saja masih ada sedikit air di dalamnya.

"Bagi dong, aku juga haus." Nino langsung menyambar botol Ara, ia menghabiskannya padahal Ara belum sempat minum.

"Aku belum minum, dodol!" geram Ara seraya menoyor kepala Nino.

"Sakit dodol! Nih aku balikin.

Pletakk. Botol mendarat mulus di kepala Nino, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan dan mengusap kepalanya.

"Kasar banget sih jadi cewek, kalau aku amnesia gimana. Kamu mau tanggung jawab?"

"Lagian kamu sendiri sih. Udah tau habis masih dikasih ke aku. Harusnya aku yang minum, bukan kamu."

"Udahlah, jangan ngajak berantem, aku mau cari cara supaya bisa keluar dari sini," seru Nino, ia pun berdiri dan menyusuri gudang mencari celah supaya bisa keluar.

Gudangnya begitu luas, terdapat beberapa ruangan- ruangan di sana. Namun, hanya ada dua ruangan yang tidak dikunci, tempat Nino meletakkan bola yang rusak dan buku yang Ara bawa tadi. Tidak ada jendela di ruangan itu, hanya ada ventilasi dinding yang berukuran kecil dan tidak mungkin muat untuk tubuh mereka jika keluar dari sana.

Nino semakin kesal dibuatnya, ia hendak menghubungi orang tuanya. Namun, ponselnya berada di dalam tas dan masih di dalam kelas. Ah, lengkap sudah penderitaannya. Ia pun teringat Ara, ia menghampiri wanita berambut panjang berwarna hitam kecoklatan yang tengah bersandar di pintu karena kelelahan.

"Heh," seru Nino seraya menendang kaki Ara yang tengah diselonjorkan.

"Apaan sih, sakit tau!"

"Mana ponselmu? Aku mau hubungin orang tuaku biar bisa keluar dari sini."

Ara terdiam, kenapa tidak kepikiran menghubungi Papa dan Mamanya dari tadi, pikirnya. Ia begitu bodoh rupanya.

"Kenapa diem aja sih! Siniin nggak?"

"Enggak, aku bakal telpon Papa sama Mama aku dulu. Ini 'kan ponselku!"

Belum sempat menyalakan ponselnya, Nino langsung merebut ponsel itu dari tangan Ara. Ia tidak sabar karena wanita itu sangat lambat.

"Biar aku aja!"

Nino menyalakan ponsel Ara, matanya membelalak seketika saat melihat baterai ponsel itu tinggal 1% saja. Ia segera menekan nomor Papanya, berharap ponsel itu mati jika ia sudah berhasil menghubungi orang tuanya.

"Arghhh, shittt!"