1 Prolog

Aku masih berumur 4 tahun saat itu. Aroma sup ibu tercium dari ruang keluarga tempat ku bermain dengan mainanku. Matahari hendak meninggalkan Distrik Solomon dan berputar ke tempat lain. Hembusan angin berdesir dari jendela rumah susunku. Senja yang hangat seperti senja-senja sebelumnya.

"Noor, kemari nak. Makan malam sudah siap." Ibu memanggilku. Aku duduk bersama ibu di meja makan kami. Ibu tersenyum kepadaku. Paras ibu yang cantik dengan rambut coklat panjangnya juga mata nya yang hitam pekat seperti gelap malam. Aku juga memiliki mata itu, namun rambutku berwarna hitam lebat.

Semuanya tampak normal sampai suara ledakan memekakkan telinga kami. Para tetangga berlarian dan terdengar suara tembakan terlepas. Rumah susunku yang berada di dekat pantai sepertinya di serang oleh puluhan peleton beresenjata. Tempat ku dan ibu berada di lantai teratas-lantai 19-kami hendak melarikan diri namun semuanya telah terlambat.

BRAK!! pintu rumah hancur dengan tendangan dari seorang pria. Pria itu memiliki wajah yang menakutkan. Ada luka gores yang melintang di wajahnya. Aku melihat lambang tengkorak yang tertancam pisau di dadanya. Matanya hijau zamrud dan rambutnya cepak berwarna hitam.

"Menyerahlah dan ikut denganku jika tidak ingin kehilangan nyawa. Aku adalah pemimpin penyerangan BRAINLESS di daerah ini." kata pria itu menatap dingin kepadaku dan ibu. Aku bersembunyi di balik ibu dan memegang tangan ibu yang gemetar.

"Siapa kalian?!, aku tidak akan pernah sudi mengikuti perintah kalian. Para prajurit kerajaan akan menghukum kalian semua!" ucap ibu seraya mengacungkan jarinya ke arah pria itu.

Pria itu meledakkan tawa dan mengeluarkan pisau dari sakunya. Dengan cepat ia mencekik ibu keras. Aku menitihkan air mata "lepaskan ibuu!!" teriakku dan memukul tungkai pria berkali kali. Ibu mengerang kehabisan nafas. Pria itu terlihat bahagia mencekik leher ibu dengan keras.

Jantungku berdegup cepat. Aku mengepalkan jariku dan meninju kemaluan pria itu. Pria itu kesakitan dan melepaskan cengkramannya. Ibu menarik napas panjang dan mengatur nya kembali. Ibu menendang pria kemaluan pria itu hingga terjatuh. Ibu menarik tanganku dan berlari keluar rumah.

Kami berlari menuju tangga namun sungguh nahas, Sekelompok orang membawa senjata menghadang kami. Kami berputar 180 derajat dan berlari ke arah balkon lantai 19. kami terpojok dan pria dengan goresan luka di muka nya berjalan melewati sekumpulan orang yang memegang senjata-sepertinya dia tidak berbohong jika dia adalah pimpinannya-Dia tertawa lagi dan mengacungkan pisaunya.

Saat tertawanya terhenti sekejap mata dia berada di depan ibu. Cepat bagai tubuhnya diterpa angin. JLEB!! dia menusuk ibu dengan pisaunya. Kemudian dia menendangku keras ke dinding balkon. Aku mengumpulkan kesadaranku dan mencoba untuk bangkit. Ibu menoleh kebelakang dan berkata "pergilah nak." tanpa suara. Ibu melemparkan sebuah kalung yang mengikat sebuah koin emas.

"Pergilah!" kali ini ibu berteriak kepadaku. Aku mengambil kalung koin itu dan tanpa berpikir aku naik ke dinding balkon dan terjun melompat.

Saat itu yang aku ingat hanyalah jatuh. dengan suara teriakan ibu dari kejauhan. aku pun tak mengerti kenapa aku memutuskan untuk jatuh. aku hanya mengikuti kata hatiku. Aku melihat langit senja dan burung beterbangan seakan bumi menghisapku, namun saat ku melihat ke dinding rumah susun tubuhku seakan menjadi kertas jatuh perlahan. Aku sadar aku jatuh namun seperti ada yang tidak membiarkan itu terjadi. tubuhku terbawa angin layaknya kertas yang tertiup hembusan angin malam. tubuhku sudah semakin dekat dengan tanah dan aku pun jatuh tidak jauh dari rumah susunku, lalu gelap.

Saat aku membuka mataku perlahan, terlihat samar wajah seorang kakek yang menggendong dia berlari menjauhi keruhusuhan. Kakek itu berhenti berlari saat telah jauh dari kerusuhan, tanganku masih menggengam kalung koin pemberian ibuku.

"Hey bocah! kau sudah bangun?" kakek itu bertanya. Aku mengangguk dan kakek itu menurunanku. Dia melirik ke arah kalung koin di tanganku.

"Bagaimana dengan ibu?" kataku lirih. Kakek itu tersenyum dan mengusap kepalaku lembut.

"Ikutlah denganku nak, ibumu bukan orang yang lemah. Dia pasti baik baik saja. Kau harus tumbuh besar dan kuat. Agar kau bisa menemukan kembali ibumu dan melawan bedebah-bedebah itu." jawab kakek itu.

avataravatar
Next chapter