webnovel

Prolog

Walaupun aku tak menginginkannya, tapi langkah kakiku membawaku padamu, lagi. Meski pada akhirnya, keserakahanku menghancur semuanya.

Barangkali, perempuan itu tak bisa lagi menghitung sudah berapa kali dia melihat berita yang sama terpampang di layar TV sehari setelah dia tiba di kota ini. Wajah yang sama, ucapan yang sama, ekspresi yang sama, pun benda yang sama. Tidak aneh, sih. Media pasti akan memberikan sesuatu yang sedang menjadi perbincangan hangat, untuk mendapatkan atensi banyak orang. Tapi kalau semua stasiun TV menayangkan hal yang sama, sebagai penton tentu saja dia akan bosan sendiri.

Terkadang, dunia itu aneh.

Perempuan itu namanya Anggia, orang-orang sering memanggilnya Gia. Tak ingin disebut wanita, sebab lebih menyukai kata perempuan. Baginya, wanita hanyalah kata yang menempatkannya pada posisi tak berdaya. Menjadi wanita itu identik dengan rumah tangga, mengurus suami dan anak, mengabdikan diri. Sederhananya, wanita adalah kata yang selalu dikaitkan sebagai peran pendukung untuk laki-laki dalam hal ini suami.

Sementara perempuan identik dengan seseorang yang bebas dalam berpikir, dalam memilih, dan dalam menentukan kehidupannya sendiri tanpa harus disandingkan dengan orang lain atau menjadi sesosok lemah yang selalu hidup bergantung pada seseorang. Perempuan adalah sesosok yang mandiri. Menjadi perempuan tak lagi banyak dituntut untuk fokus pada urusan dapur, ataupun melayani keluarga. Terlepas dari nilai-nilai luhur, tentu saja.

Meskipun sulit, apalagi dengan pandangan orang-orang terhadap dirinya, tapi Gia menyukai dirinya yang sekarang. Menjadi manusia yang lebih berguna, mewujudkan cita-citanya satu persatu tanpa hambatan, memiliki jenjang karir yang memuaskan, dan tentu saja kebebasan untuk berekspresi tanpa kekangan dari siapapun.

Pulang ke kota kelahiran setelah lima belas tahun lamanya, tentu saja membuat Gia merasa asing. Entahlah, dia hanya tak terlalu banyak mengingat tentang seluk beluk kota ini. Rasanya terlalu banyak yang berubah, kecuali beberapa hal yang masih terkenang di dalam kepala. Setelah kepergian sang ayah sebulan setelah kelulusannya di SMA, perempuan itu memang pindah ke ibu kota bersama dengan sang kakak. Orangtuanya bercerai ketika dia masuk SMP, perempuan itu tinggal dengan sang ayah dan sang kakak tinggal dengan ibunya.

Setahun setelah masuk SMA, ibunya meninggal dunia karena sakit. Setelah lulus SMA, ayahnya yang menyusul. Seperti memang sudah ditakdirkan oleh semesta untuk bersama, walaupun di dunia mereka berpisah dengan alasan sudah tak satu pola pikiran. Menikah ternyata serumit itu, hanya karena tak lagi satu pola pikir, hubungan bisa rusak. Melihat pertengkaran kedua orangtuanya bahkan sudah seperti makanan sehari-hari, yang membuat Gia terbiasa dengan teriak-teriakan ataupun dentuman keras dari pintu yang tertutup.

Semenjak pergi, Gia tak pernah lagi kembali. Lagipula, dia merasa tak ada lagi yang harus dia temui di sana, dan tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tapi setelah mendapatkan perintah dari atasannya, mau tidak mau Gia harus kembali. Hanya tiga bulan, sampai tugasnya selesai. Kalau dia serius, tugasnya bisa selesai dalam waktu singkat. Gia awalnya tidak mau, sebab Pearl Garden terlalu banyak meninggalkan luka untuknya. Tapi, sang atasan tentu saja sangat mengenal perempuan itu.

"Nanti kau bisa mendapatkan promosi untuk menjadi kepala bagian peneliti, gajimu tentu saja akan naik, Gia."

Dasar payah!

Gia memang sengaja datang sehari sebelum pertemuan dengan tim, sebab dia ingin mengenal lebih banyak soal lokasi yang akan mereka datangi nanti. Tapi bertemu dengan orang yang akan menjadi ketua tim nantinya di kafetaria dan bukannya kantor tentu saja tak pernah Gia bayangkan sebelumnya, yang sukses membuatnya kesal bahkan dari tadi malam sesaat setelah dia mendapat e-mail dari lelaki itu. Dan sialnya, dia malah dibuat menunggu hampir satu jam lamanya.

Perempuan itu dibuat mendengus tatkala seseorang kini sudah duduk di bangku di hadapannya, pun membawa segelas ice tea matcha dan juga ice americano. Matanya mendelik tajam, pun kening yang berkerut dalam ketika lelaki itu mendorong segelas ice tea matcha ke hadapannya dan tersenyum seolah tak ada yang salah di sini.

"Kau masih menyukai ice tea matcha, 'kan?"

Jangan Gia, tidak boleh menyiram minuman ini ke wajahnya. Tahan. Demi promosi jabatan.

"Baiklah, aku sudah menunggumu lebih dari satu jam. Jadi sekarang, aku tidak ingin basa-basi. Kita bahas langsung saja," ujarnya, mengabaikan pertanyaan yang baru saja orang itu tanyakan.

"Kau tak berubah," bisiknya, tapi masih bisa Gia dengar. "Sebelumnya, perkenalkan Saya adalah ketua tim ekspedisi kita nanti. Alan Joshua," sembari mengulurkan tangannya dan menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum.

Gia yang tadi terlihat fokus pada laptop di depannya, kini mendengus dan merotasikan bola matanya. "Saya Anggia Shitta, Saya yang diutus dari tim Arkeologi Nasional. Saya yang akan bertugas dalam bidang epigrafi*,"

Alan mengangguk-anggukkan kepalanya, dan menyorot dengan mata yang nampak kagum. "Menakjubkan," katanya tiba-tiba.

"Maaf?" Tanya Gia yang merasa bingung dengan apa yang baru saja dia dengar, tapi lelaki itu malah terkekeh dan menggelengkan kepalanya.

"Sekarang, apa tadi yang ingin kau bahas?"

Menghela napas, perempuan itu kemudian mengarahkan layar laptop miliknya untuk menghadap pada Alan. "Kau lihat itu?" Tanyanya, sementara Alan kini fokus melihat deretan tulisan yang ada di layar.

"Seperti yang aku duga, bahwa artefak yang pemburu itu temukan adalah peninggalan berharga dari kerjaan Pearl Garden dahulu. Dari sejarah juga menjelaskan bahwa di sana memang letak kerajaan itu berada,"

"Sayang sekali, ya. Orang-orang di zaman dulu belum berani ke sana, padahal kerajaan Pearl Garden adalah salah satu kerajaan terkaya," celetuk Alan sembari menggeser kembali laptop itu.

Gia kini menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya. "Pearl Garden memang kota kaya, tapi kemajuannya cukup lamban. Modernisasi di sini masih terkekang dengan budaya lama,"

"Ya, kita bahkan punya hambatan untuk penelitian ini. Karna sesepuh bilang, nanti nenak moyang marah karena kita menganggu tempat tinggal mereka. Nanti Pearl Garden ditimpa musibah,"

Gia berdecih tatkala mendengar kalimat itu dari bibir Alan, lantas menutup kembali laptopnya setelah menonaktifkan benda elektronik itu. Setelah memasukkannya kembali ke dalam tas, perempuan itu lantas berdiri dan membuat Alan mengerutkan keningnya. Lelaki itu bahkan tanpa sengaja menggengam pergelangan tangan Gia tatkala gadis itu hampir berbalik, membawa langkah untuk pergi tanpa mengatakan apa-apa.

"Mau kemana?" Tanya Alan pada akhirnya.

Perempuan itu tak langsung memberi jawaban, tatapannya terpaku pada tangan Alan di pergelangan tangannya dan berakhir menatap wajah yang sarat akan kebingungan milik Alan. "Mau pulang, memangnya menurutmu kemana?"

Merasa tak nyaman, Alan langsung melepaskan pergelangan tangannya lalu terkekeh. "Kau langsung berdiri begitu, aku pikir merasa tersinggung atau tak nyaman. Boleh aku antar?"

Perempuan itu lagi-lagi tak memberi jawaban, bibirnya tersungging kecil lalu menoleh ke arah jendela. "Cuacanya bagus," balas Gia, lalu mengedikkan bahunya. "Aku pikir kau tak harus repot-repot mengantarku pulang, lebih baik seperti itu ketimbang membuat kesalahpahaman."

Kening Alan berkerut, merasa bingung dengan kalimat yang baru saja dia dengar. "Maksudmu?"

Bibir Gia kemudian tersungging miring, lalu terkekeh. "Kau tidak berpikir kalau aku tidak tahu apa-apa tentang calon ketua tim yang akan memimpinku, 'kan?"

Mengerjap pelan, perempuan itu lantas melirik ke arah jam di pergelangan tangan kirinya sejenak sebelum teralihkan pada sosok Alan yang kini memperlihatkan wajah penuh keterkejutan. "Sampai jumpa besok, Pak. Semoga ekspedisi kita berjalan dengan baik, Saya pamit."

Setelah mengatakan itu, Gia langsung berbalik dan membawa kakinya untuk melangkah keluar dari kafetaria. Tanpa menoleh, tanpa melirik ke arah Alan yang masih stagnan di tempatnya dan memperlihatkan wajah terkejutnya. Sayangnya, dia bukan gadis polos di serial romansa yang tak tahu apa-apa dan kembali terjebak dalam hubungan lama dengan atasannya. Setidaknya, sampai saat di mana kejadian itu belum merenggut separuh dari kewarasannya.

Dan Gia, hanya terlalu yakin dengan dirinya sendiri. Sementara Alan, hanya terlalu percaya dengan instingnya dan membuat lelaki itu terkejut bukan main.

Sial!

Coming Soon

Survive

Written by

~alenaxdiaries~

*Epigrafi adalah ilmu yang mempelajari tulisan kuno.

Next chapter