5 [4] Start

Ezra merapikan semua file di kelasnya dan membawanya ke ruang osis tapi langkahnya terhenti saat melihat Abigail keluar ruang osis. Ia berhenti dan tunggu Abigail benar-benar pulang.

"Lama amat ngitung duit 2 jam," ucapnya dalam hati. Ezra jalan masuk ke ruang osis dan mendapat amplop coklat berisi uang yang tadi ia kasih ke Abigail. Ia membaca kertas post it note di atasnya dan tertawa kecil.

Ia merapikan semua dan pulang ke rumahnya. Ezra masuk ke kamar dan duduk sebentar di kursi balkon kamarnya seperti biasa, memejamkan matanya. Tak lama ia tertidur pulas sampai malam tapi terbangun karena pembantu di rumah membangunkannya. "Ezra, makan dulu nih udah jam 8 loh."

Ezra mengangguk masih setengah sadar. Ponselnya bergetar, membuat Ezra terpaksa membuka matanya dan mengangkat panggilan telpon. "Hm?"

"Zra, si Revan kepalanya bocor," kata Justin dari telpon.

Kata-kata Justin membuat Ezra membelalak. "Hah? Lo dimana!?"

"Di - " Belum selesai ngomong, telponnya sudah putus.

"Baru bangun ada aja sih masalah." Ezra panik dengan kondisi temannya sekarang. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya dan mencari kontak seseorang yang mungkin bisa membantunya.

"Rel, bantu lacak hp temen gue, nomernya 08****54."

"Ok bentar, gue share location," jawab Farel, sepupu Ezra mematikan panggilannya.

Tak nunggu lama, notif dari Farel muncul. Farel adalah seorang mahasiswa IT, karena itu Ezra minta bantu sepupunya. Ezra membuka share locationnya dan langsung menuju tempat itu. Lah, tempat yang sama gue diserang, batin Ezra.

Dalam perjalanan kesana, letak GPS bergerak pindah tempat membuatnya berhenti sebentar dan putar balik, ternyata ke rumah sakit. Ezra segera ke rumah sakit menghampiri Brian dan Justin yang ada di depan ruang UGD.

Pikiran Ezra sekarang hanya keselamatan temannya. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Zra, tenang," kata Justin berusaha menenangkan.

"Lo gapapa?" tanya Ezra menengok ke Brian dan Justin. Mereka mengangguk sebagai jawaban. Ezra menarik napas panjang dan menyenderkan palanya ke tembok.

"Gue gak mau sembunyiin lagi." Ucapan Ezra membuat kedua temannya menatapnya bertanya-bertanya. "Gue tau kenapa Alvaro gini."

"Dia dendam sama keluarga gue," jelas Ezra.

"Itu pertama, terus keduanya apa?" tanya Brian.

"Aneta."

"Ah iya bener." Brian teringat kejadian di depan SMA Virgo waktu itu.

"Aneta angkatan kita?"

"Ya iya yang mana lagi tong," jawab Brian merusak suasana. "Alvaro kan bucin."

Di sela-sela mereka ngomong, ponsel Ezra bergetar membuatnya bingung. Dia mengangkat telponnya dan mendengar suara.

"Ezraaa."

Apaan lagi sih ni anak, batin Ezra sambil mengusap wajahnya kasar.

"Zra, gue bosen."

"Terus?"

"Gak ada yang angkat terus gue kepikir lo yaudah gue telpon dan feeling gue ga enak."

"Temen gue sekarat." Tanpa menunggu jawaban Abigail, Ezra langsung memutuskan panggilannya.

"Siapa?" tanya Brian yang hobi nanya.

"Bocil," jawab Ezra singkat.

"Sejak kapan lo punya adek?"

"Abigail, elah."

"Oh, iya-iya. Calon."

"Gak."

.......

Abigail melihat jam dinding kamarnya dan membanting tubuhnya ke kasur. Ia bosan sekarang. Telpon siapa ya, batin Abigail.

Ia melihat satu-satu kontak di ponselnya dan menemukan nomer Ezra. Abigail memencet lambang telpon dan jujur, dia tidak tahu kenapa Ezra yang ia telpon.

Mendengar telponnya sambung Abigail membenarkan posisi duduknya dan memeluk bantal. "Ezraa."

Tidak ada jawaban. "Zra, gue bosen."

"Terus?"

"Mm.." Abigail tidak tahu harus ngomong apa dan diam bentar untuk berpikir. "Gak ada yang angkat terus gue kepikir lo yaudah gue telpon dan feeling gue ga enak."

"Oh."

"Udah gitu doang!?"

"Emang gimana harusnya?"

"Ngirit banget ngomongnya. Lo gapapa, Zra?"

"Hm," jawab Ezra singkat.

"Hem ham hem. Bosen gue dengernya."

"Temen gue sekarat."

"Sia-" Belum selesai ngomong, Ezra sudah memutuskan telponnya. Abigail diam berpikir. Temen Ezra siapa? Terus Ezranya gimana?

Tidak mau menyangkal, Abigail benar-benar khawatir sekarang. Ia membuka ruang pesan Ezra dan mengetik.

Abigai: Temen lo yang mana? Lonya gimana?

Kok bisa sekarat zraa?

Read

Ezra tidak menjawab chatnya, hanya dibaca. Abigail tidak tahu harus gimana dan pikiran overthinkingnya terus melonjak. "Oiya Aleeza."

Abigail mencari kontak Aleeza dan menelponnya.

"ZAA!"

"Woi suara lo toa anjir," jawab Aleeza.

"Temen Ezra sekarat tapi gue gatau Ezranya gimana."

"Kok tumben? Kenapa ngomongin Ezra nih?"

Deg. Abigail juga tidak tahu kenapa ada rasa khawatir dalam dirinya. "Mm gatau."

"Acieee sukaa."

"Engga lah, cuma kasian aja gitu," kata Abigail memeluk bantalnya.

"Eh bentar, abang gue gak ada di rumah berarti -"

"Berarti apa?"

"Bisa jadi abang gue yang - " Aleeza berhenti melanjutkan omongannya dan tidak nyangka bahwa abangnya akan membuat nyawa seseorang berada diujung.

"Jangan negatif dulu," ucap Abigail berusaha menenangkan.

"Kapan sih abang gue berubah?"

"Kan belom tentu, Za. Jangan nethink dulu."

"Yaelah bukan nethink. Abang gue selalu gitu masalahnya." Abigail diam tidak tahu harus ngomong apa lagi, dia takut menyinggung Aleeza.

"Makanya gue gak mau sampe ada yang tahu gue adiknya Alvaro. Yang kena nanti gue juga."

"Iya, kalo ada apa-apa cerita aja ke gue kalo bisa buat lo lebih tenang," kata Abigail.

"Hm."

.......

Seseorang membuka pintu ruang UGD dimana Revan dimasukkan, mereka semua bangkit dari kursi dan menghampiri dokter yang keluar.

"Gimana temen saya, dok?" tanya Ezra.

"Butuh istirahat banyak dan ada cedera kepala karena terbentur keras." Semua mendengarkan dokternya dengan serius.

"Boleh pulang kapan, dok?"

"Tergantung kondisi beliau karena belum boleh banyak aktivitas. Jangan terlalu dipancing untuk berpikir keras ya, masih masa pemulihan."

"Ok makasih, dok," kata Brian sambil menduduk dikit, menjaga kesopanan.

Mereka semua mulai tenang sekarang dan masuk ke ruang rawat setelah Revan dipindahkan. Revan masih dalam kondisi lemas dan beberapa lecet yang ada di tubuhnya, membuat mereka membisu di ruangan itu.

"Kok bisa separah ini sih?" tanya Ezra ke Justin dan Brian.

"Dia sempet dipukul pake botol kaca sama Alvaro terus belom lagi kena aspal palanya," jelas Justin.

"Gak ngotak pokoknya," ucap Brian emosi melihat keadaan temannya terbaring lemas di kasur rumah sakit. "Eh, tapi kok gue gak yakin cuma gara-gara itu ya. Dia punya alesan lain kayaknya."

Ezra duduk di kursi sudut kamar pasien, sekilas menatap Brian yang barusan ngomong, dan berpikir apa yang harus ia lakukan besok. Balas dendam bukan ide yang bagus karena tidak akan menyelesaikan masalah menurutnya.

avataravatar