webnovel

Chapter 1

Sore ini, Aku pulang lebih awal. Seperti biasa aku disambut Rani istriku dengan wajah masam dan manyun. Aku tau pasti kali ini dia cekcok lagi dengan ibuku. Aku tau aku salah sebagai seorang suami tak bisa membahagiakan dan membuatkan rumah untuk istriku, keinginan itu sudah sangat di inginkan Rani jauh-jauh hari tapi aku berpikir jahat jika aku tinggalkan ibu sendiri karna hanyalah aku putranya Satu2ny lagi pula ibuk juga tidak mau berpisah denganku.

Tanpa bertanya apapun, aku masuk rumah. Dan Rani menyiapkan makanan, aku diam dan tak ingin membahas apapun dengan dia. Selain takut aku marahi. Rani tampaknya juga tak mau jika setiap hari harus mengadu. Karna aku juga tidak akan membelanya.

Istri dan ibuku tidak pernah akur, Rani selalu kesal karna ibuk selalu mengatur keuangan dan urusan dapur. Terlebih lagi Rani selalu di bandingkan dengan menantu tetangga lainnya karna Rani kurang rapi dan cekatan. Rani sering kesal karna di omongin. menurut aku sih wajar aja. Rani aja yang menurutku terlalu berlebihan. Lagi pula ibuk juga ada benarnya, kerjaannya hanya tinggal ngurus anak kadang juga tidak becus. Ibuk memang biasa disiplin dan rapi dari kecil dia tidak suka, dengan orang yang tak mencontohnya, aku sih berharapnya Rani mau belajar dan mencontoh bukan malah membangkang.

Setelah selesai mandi, aku mengganti pakaianku dan turun kebawah, aku ingat ibuk janji akan membuatkan sup untukku, aku turun dan dapati hanya Rani di Meja makan sembari menggendong putra kami Algi. Dia menatap nanar hidangan itu dengan tatapan kosong. Aku menautkan alis dan berkata.

"Ran, ibuk mana?" tanyaku, dia menoleh sedikit dan melihatku datar.

udah gelap.

"Kok gak tau, emang ibuk gak bilang?" tanyaku. Dia kembali menggeleng. Aku melangkah melihat hidangan, aku melihat sup daging dalam mangkok.

"Itu ibuk yang masak? " tanyaku, dia mengangguk.

"Iya, sup daging Ibuk," ujarnya pelan, aku sedikit terheran melihat reaksi Rani yang sedikit hari ini.

"Tapi ibuk kemana? ini masih panas. Berarti ibuk pergi belum lama donk?" tanyaku lagi, dia mengangguk dan mengambilkan nasi untukku.

"Ayo mas, makan." titahnya, degan ragu aku duduk. Walau aku cemas. Tapi aku.lapar, tanpa pikir panjang aku mengambil sendok dan mencicipi

"Ini bukan masakan Ibuk, ini kamu yang bikin ya?" tanyaku, Rani tamoak kikuk dan berkata.

"Iya Mas, kenapa? Gak enak?" sulutnya tampak kesal, kembali aku rakat perkataanku dan mengibas senyum.

"Enak kok, cumankan tadi ibuk dah janji dia yang bikin," tuturku, aku masih bingung sebenarnya ibuk kemana belum pulang jam segini.

"Tapi beneran, Kamu gak tau? apa hari ini kalian bertengkar lagi?" tanyaku pada Rani.

"Aku gak tau Mas, lagi pula, aku dah capek bertengkar," ketusnya, aku menghela nafas dan menyuruput kua sup yang sedikit amis, Ranii memang tidak bisa apa apa .Masak sup Dagingnya terasa sangat berbeda dengan masakan Ibuk.

Hari sudah semakin Iarut tapi ibuk belum Juga kembali, aku Mencoba menghubungi ibuk dan mencarinya sekeliling komplek tapi tidak ketemu. Aku bahkan sudah menelpon semua kerabat dekat dan jauh, namun mereka tidak tahu semua, aku mulai cemas karna ini sudah larut malam. Ku lihat Rani masih sibuk di dapur. Aku turun dan menemuinya.

"Ibuk bilang gak? dia kemana? " tanyaku pada Rani lagi, seketika dia meghentikan gerak tangannya mecuci piring.

"Gak mas, ibuk gak bilang apa-apa sebelum pergi," ucapnya kembali fokus pada cucianya. Aku menghela nafas dan menghenyak di kursi didepan meja makan. Kembali.aku mengotak atik ponsel mencoba meghubungi semua kenalan ibuk.

Drrrrrt..

Ponselku tersambung ke nomor Buk Ratih teman Ibuk yang biasa kepasar.

"Halo Angga, ada apa?" tanya buk Ratih spontan.

"Buk Ratih, apa seharian ini ibuk ketemu dengan ibuku?" tanyaku,

"Gak ada, tadi sempat ketemu pagi pas di tukang sayur. Dia ngajakin saya kepasar. Karna saya kurang enak badan jadi saya gak bisa temanin. Habis itu saya gak tau lagi tuh." jelasnya, aku menghela nafas dan mengusap wajahku.

"Berarti ibuk kepasar, dan belum pulang sampai selarut ini?" lirihku cemas. Aku meletakkan ponsel dan menoleh pada Rani.

"Ibuk kepasar, bisa saja ibuk kenapa-napa." ujarku, Rani diam sembari memasang wajah heran. Aku tau dia tidak akan terlalu peduli karna dia tidak begitu akur dengan ibuk, aku berdiri mengambil air dingin di kulkas, aku sedikit haus karna cemas dari tadi. Namun aku terheran melihat stok daging yang banyak dalam kresek.

"Ini Daging banyak banget." ucapku pelan, aku kembali menoleh pada Rani.

"Iya Mas, ibuk sempat pulang dari pasar. Dan kembali lagi keluar" Ujarnya, aku kembali memutar otak, "Tapi ibuk belanja daging sebanyak ini buat apa?" Rani menjawab dengan gelengan.

"Kamu tau gak, dia pergi dengan siapa? Sudah larut lo ini." geramku, Rani menggeleng lagi, entah kenapa aku merasa ada yang beda dengan istriku. Dalam suasana itu terdengar Algi menangis Tanp pikir panjang Rani pergi menyusul anaknya kekamar, kembali aku menoleh pada bungkusan daging dalam kresek.

"Buat apa ibuk, membeli daging sebanyak ini," bisikku.

Keesokan paginya, sebelum kekantor. Aku rencana mau lapor polisi gak biasanya ibuk seperti ini, setelah mandi dan memakai pakaian kantor aku turun ke bawah, Aroma dapur sudah meyuruak, Rani Tampakny tengah membuatkan daging bakar untukku sarapan di pagi ini, aku turuni tangga lugas sembari memperhatikan Rani didepan alat bakar itu, matanya tampak nanar mengipasi daging namun bibirnya sedikit mengembulkan senyum yang tak bisa aku pahami. Aku turun bergegas, dan ketika dia sadar aku datang dia bergegas menyiapkan.

"Kamu masak Daging bakar, emang bisa?" tanyaku, sedikit dia tersenyum dan berkata.

"Aku bisa mas, selama gak di ganggu dan di ikut campuri sama ibuk," sindirnya sedikit aku Mencibir dan menaiki alis

"Senang dong sekarang, ibuk gak ada?" tanyaku datar, dia tampak kikuk dan diam.

"Hari ini, aku mau lapor polisi, gak biasanya ibuk seperti ini." ujarku, Rani tampak meghela nafas dan menghenyak. Dia memotong daging dan berkata Tanpa menoleh padaku.

"Kan belum 2 kali 24 jam Mas." ucapnya santai.

"Trus menurutmu, aku harus tunggu kabar buruk dulu? kita gak tau kan, Ibuk baik baik aja, apa gak?" geramku, dia sedikit berdengus dan meletakkan piring padaku.

"Ya udah, kamu makan. Habis tu berangkat ya, Karna ngurusin ini butuh tenaga." celetuknya, walau aku heran dengab tingkah Rani, aku coba menghabiskan sarapanku dan habis itu berangkat ke kantor polisi.

Setelah lapor Polisi aku masuk kekantor, aku hanya izin satu jam

dan setekahnya harus kembali ke kantor. namun hasil kedatangannku ke kantor polisi pagi ini, sama sekali tak menuai hasil. Karna ibuk belum hilang selama 2 kali 24 jam. Aku semakin gundah menunggu hari esok. Entah kenapa aku terasa sangat cemas sekali. Bahkan sekarang aku sebenarnya tak ingin masuk kantor. Tapi jadwal liburku sudah tidak ada, mau gak mau aku harus masuk kerja,

Aku bekerja di sebuah pabrik pakaian yang berbahan kulit, kebetulan aku bergerak di bidang pemasaran dan tangan kanan asisten dari manager, gajiku lumayan dan Alhamdulilah hingga detik ini, aku belum pernah kecewakan ibuku tentang uang. Hanya saja sikap Rani y

ang terkadang ibuk mengecewakan ibuk karna dia tidak bisa menjadi menantu yang seperti ibuku inginkan.

Siangnya di jam istirhat kantor, kabar akan kehilangan iibuku sampai juga di telinga Lita, teman kantor yang sempat aku taksir, Dia wanita yang punya karir bagus, Dia bekerja sebagai direktur operasional di perusahaan itu, sering kali ibuk membahas dia, karna Lita jauh lebih baik dari pada Rani ibu sangat kenal karna keluarga kami Pernah dekat.

"Siang Angga," sapanya, aku menoleh dan dengan berat aku menyunggingkan senyum.

"Dengar kabarnya, ibuk kamu gak pulang ya dari semalam?" tanyanya, aku megangguk lesu.

"Dia sempat nelpon aku lo kemaren malam," ujarnya, sedikit aku tersintak dan memperhatikan wajah Lita seksama.

"Ibuk, ngomong apa sama kamu," ulikkh lagi,

"Gak ada sih, percakapan biasa aja. Katanya Rani begini lah Rani begitulah. Dan ibuk pen banget ketemu aku, mau bahas Perni-kaha-n," tuturnya terbata, aku menghela nafas dan berkata.

"Ya ibu, juga sering ngomong seperti itu sama aku, ngacok emang.

Tapi sekarang gak tau tu dia kamana?" ujarku lemes, kembali aku menoleh padanya dan berkata.

"Apa kemaren siang, atau semalam dia ada hubungi kamu?" tanyaku lagi,Lita tampak berpikir dan berkata.

"Gak ada sih, aku juga bingung karna katanya mau ketemu. Tapi tak di hubungi lagi, memang kamu gak coba telpon dia?" tuturnya.

"Nomornya gak aktif." desisku, Lita terdengar menghela nafas juga.

"Jangan khawatir, ibuk kan belum pikun. Semoga dia baik-baik saja." ucapnya menenagkan, aku meghela nafas berat.

"Aku harap, begitu Lita," lirihku.

"Gimana kalo kita cari ibuk, aku akan pulang lebih awal nanti," tawarnya, namun aku sontak menggeleng. Entah Kenap sekarang aku pengen sendiri dan berharap keajaiban datang bahwa ibu akan meghubungiku.

"Maaf Lita, aku ingin sendiri,"

"Ya, udah kalo begitu. Kamu yang sabar ya. Jangan terlalu cemas," ucapnya mengelus punggung tanganku, sedikit aku lirik tangan putih mulus berhiaskan cincin berlian itu, wanita ini sudah lama terang-terangan menunjukan rasa sukanya padaku, terlebih ditambah dukungan sama ibuk, dia semakin percaya diri dan bahkan sering datang kerumah atas undangan ibuku,

"Ya udah, aku mau keruangan dulu, kabari aku jika ada info terbaru dari ibumu ya, kamu taukan Angga. Aku menyayangi ibuk sama seperti ibuku sendiri, kitakan pernah tetanggaan dulu, ujarnya, aku sedikit mengangguk dan tersenyum. Wanita itu beranjak meninggalkanku, Selang tak berapa lama Lita pergi, Bima teman kantorku mendekat.

"Gua cariin dimana, ternyata disini Lo." dia menghenyak di depanku,

"Gua lagi bete, dan gua lagi gak mood ketemu lo," ujarku.

"Gua dah tau, kabarnya. Nyokap lo hilang apa gimana? ada apa sih?" tanyanya heran, aku berdecih da berkata.

"Itu masalahnya, gua gak tau. Ya gitu, dan sekarang belum ketemu." desisku mengusap wajah gusar.

"Lo gak curiga, siapa gitu? atau mencium hal yang tidak wajar akan kehilagan ini?" Tanyanya, aku menautkan alis dan coba mengingat sesuatu.

"Gak sih, memang sejauh ini sikap Rani. sedikit aneh tapi itu wajar sih karna dia gak pernah suka, dan gak mau tau tentang ibuk." tuturku, sontak saja temenku itu menegaskan.

"Justru itu!" tandasnya yang membuat aku terkejut.

"Istri lo, gak pernah akur sama nyokap lo. Dia bisa aja sters, depresi trus psikopat deh, karna Bisa tekanan batin, dia bunuh ibu lo dan melampiaskan amarahnya mem-"

"Diam lo!" bentakku, sontak Bima menjahit bibirnya.

"Lu tu keseringan nonton Film ya, otak lu drama horor mulu, gak! Rani mana mungkin kayak gitu. Yang ada istri lo itu. Bentar lagi Juga setresz depersi trus cincang lu makan dan di sop," ucapanku terhenti saat mengingat sop masakan Rani kemaren, aku mendegup dan coba merasakan semua kejanggalan. Nafasku tak beraturan dan sedikit gemetar.

"Gak, gak mungkin. Gara gara Bima fikiranku jadi ngelantur gini," batinku di hati. Aku berdiri meninggalkan makananku dan meninggalkan Bima sendiri

Sore harinya aku pulang, walau aku gak percaya tapi tetap saja omongan Bima tadi menganggu fikiranku, Sesampai di teras aku mencoba diam tak mengetuk pintu dan masuk diam-diam. Rumah ini memang terasa sunyi tanpa suara, Tak berselang lama aku mendengar bunyi keributan di dapur. Bunyi gesekan pisau dengan besi tedengar nyaring, aku menautkan alis dan coba mengintip Rani di dapur. Lagi lagi aku melihat dia Nanar di depan msngasah benda tajam itu,

Memang ada yang tidak beres,aku mundur beberapa langkah namun Rani keburu merasakan kehadiranku dia menoleh dengan tatapan

datar.

"Mas, kamu sudah pulang?" ucapnya mendekat, aku mendegup dan sedikit gemetar.

"Kamu kenapa?" tanyanya sembari memegang pisau yang baru

siap di asah itu.

"Algi mana?" tanyaku serak, sesekali aku melirik Pisau yang dia

Pegang, sedikit dia tersenyum dan melirik kamar atas.

"Tidur," singkatnya, gegas aku menuju kamar dan melihat anakku, sesampai disana aku lega melihat Algi yang tertidur.

Kembali aku membalik dan aku terkejut melihat Rani sudah ada didekat.

"Makan dulu ya Mas." ucapnya datar, aku mendegup dan coba mengangguk, perlahan aku membuntutinya kemeja makan. Ranii masih diam dan tenang mengaduk sup bikinanya, aku coba perhatikan dengan seksama daging itu, aku berharap pikiraan buruk ini salah.

Trakt.

Bunyi mangkok di letakkan didepanku.

"Makan Mas!" titahnya, kembali aku perhatikan sup itu.

"Aku sudah masak dengan baik, dari yang kemaren." ujarnya aku mendegup dan coba mengaduk dengan sendok. Rani meninggalkan dan pergi kekamar,

"Oh Tuhan, aku harap ini salah." bisikku sendiri mengangkat dan mem meperhatikan tekstur daging,

Drrrrtt..

Aku terperanjat mendengar Ponselku berdering. Namun aku sedikit lega melihat ibuk yang telpon.

"Halo buk, ibuk sekarang dimana? Agga khawatir Buk," tanyaku, terdengar tak bersuara dan selang 2 detik terputus

"Loh kok di matikan." gerutuku, tak lama setelah itu datang notif pesan.

Next chapter