Aku telah selesai memesan tiket penerbangan ke lima negara yang akan menjadi tujuan dari perjalananku, Nigeria, Australia, Yordania, Los Angles, dan Amsterdam. Kelima negara yang dahulu sempat aku kunjungi bersama Rey. Kata Rey kita harus mengunjungi kelima negara tersebut secara berurutan agar bisa mengurutkan nama 'NAYLA' dari setiap huruf depan masing-masing negara. Aku tersentuh akan filosofi di balik kunjungan kami kelima negara tersebut, filosofi yang dahulu sempat membuatku merasa sangat istimewa dalam hidup Rey.
"Naylaaaaaa bangun Nay, udah jam berapa ini? Katanya kamu ada jadwal fitting baju pernikahan hari ini!" Suara Ibu terdengar ke kamarku, suara yang selalu berhasil mengalahkan alarm yang aku setel sepanjang waktu, suara yang selalu berhasil membangunkanku sejak aku mengenalkan Rey pada keluarga sebagai calon suami. Teriakan ibu menjadi bukti akan betapa semangatnya ia. Sebenarnya, Ibu selalu terlihat bersemangat tiap kali membahas perihal pernikahanku dengan Rey, bahkan ia juga sempat ikut sibuk dalam merencanakan resepsi pernikahan, penyewaan gedung dan juga catering makanan. Ibu yang selalu menemaniku tiap kali Rey tidak bisa hadir untuk mengurus pernikahan kami, alasan Rey tidak bisa menemaniku dalam mempersiapkan pernikahan kami selalu saja sama, yaitu karena sedang disibukkan oleh pekerjaannya di kantor. Dan aku selalu percaya akan alasannya itu, alasan yang ternyata selalu ia gunakan untuk bertemu dengan mantan kekasihnya, bukan aku yang merupakan calon istrinya. Bodoh, bukan? Saat mengetahui bahwa kerjaan hanyalah alasan bagi Rey untuk menemui sang mantan kekasih, aku menjadi merasa ragu terhadap perasaannya, siapa pula yang tidak akan ragu jika lelaki yang kita cintai malah lebih memprioritaskan wanita lain ketimbang calon istrinya sendiri? Dan ya, rasa ragu itu membuat perasaanku menjadi lebih sensitif di banding biasanya, perasaan tidak tenang karena takut bahwa Rey akan kembali mencintai sang mantan kekasih. Dan sekarang aku sadar bahwa perasaan tidak tenang yang aku rasakan sebelumnya adalah sebuah firasat akan ketidak beresan perilaku Rey di belakangku. Dan semuanya terbukti sekarang.
Aku langsung mandi setelah teriakan Ibu berhasil membangunkanku, bersiap-siap seolah aku memang benar akan pergi ke butik tempat aku akan menyewa gaun pernikahan, awalnya Ibu menawarkan diri lagi untuk menemaniku karena ia tidak melihat Rey datang untuk menjemput. Dan tentu saja, aku langsung menolak tawaran Ibu, aku tidak ingin Ibu tahu bahwa tidak ada fitting baju hari ini karena aku telah membatalkan penyewaan gaun di hari kemarin setelah Rey memutuskan untuk pergi. Alhasil, aku melipir ke cafe Tommy, berniat ingin menyapa Rico dan berpamitan dengannya sebelum aku melakukan perjalanan ke lima negara tujuanku.
Cafe Tommy terlihat sibuk seperti biasanya, dari ujung ke ujung selalu dipenuhi oleh para pengunjung yang datang untuk berpacaran, mengerjakan tugas, nongkrong bersama teman-teman, dan ada juga yang datang untuk menikmati kesendirian. Cafe Tommy memang nyaman untuk didatangi, terlebih lagi makanannya pun terbilang murah namun memiliki cita rasa yang berkelas, itulah mengapa cafe Tommy selalu menjadi cafe favorit dan langgananku. Ya, aku sudah lama mengenal cafe ini jauh sebelum aku mengenal Rey, bahkan aku juga yang mengenalkan cafe ini pada Rey, dan seperti yang ku duga, Rey langsung jatuh hati pada cafe ini sejak pertama kali aku mengajaknya bertemu disini.
Mataku mengitari seluruh sudut ruangan untuk mencari Rico sambil terus mengenang masa-masa kebersamaanku disini bersama Rey, dan secara tidak sengaja mataku menangkap sosok Rey yang sedang duduk di sudut ruangan menghadap pada seorang wanita, tangan Rey memegang sendok berisikan makanan lalu ia menyuapi wanita di hadapannya dengan makanan itu.
Ada perasaan sakit yang aku rasakan, namun bukan sakit karena aku kehilangan dia melainkan rasa sakit akibat ke-tidak relaanku terhadap perlakuan Rey. Meskipun aku tahu bahwa ini semua akan terjadi, tapi bagaimana bisa terjadi dalam waktu yang singkat dan di tempat yang selama ini memiliki arti khusus bagi kita berdua?
Aku hanya bisa mematung ketika melihat Rey dengan wanita lain, kakiku terasa lemas, tidak mampu untuk menghampirinya, padahal aku sangat ingin datang ke tempat Rey untuk mengatakan banyak hal, atau mungkin untuk mencaci maki laki-laki yang sekarang sudah bisa terang-terangan menunjukkan hubungannya dengan wanita lain.
"Nay..." panggil Rico berulang kali, aku mendengar suara Rico, namun mulutku tidak bisa bergerak untuk menggubris panggilannya. Sampai seseorang menggendong tubuhku dengan paksa dari arah belakang, aku tidak melakukan perlawanan, entah kenapa tubuhku tidak memiliki energi untuk melawan, seolah energi itu sudah diserap habis oleh perasaan bernama kesal, kecewa, dan juga sedih. Semuanya terlihat buram akibat air mataku yang berlinang, namun hidungku masih bisa mencium aroma yang ada, aroma daging barbeque yang berasal dari dapur cafe, serta aroma katsiri yang berasal dari tubuh orang yang menggendongku. Sayup-sayup terdengar suara Rico sedang berteriak "Bos! Boooos! Itu mau dibawa kemana teman saya?!"
Dan...
BRUUUK
Yang ku lihat sebuah pintu tertutup dengan keras, tidak ada lagi para pengunjung cafe, tidak ada Rico, dan tidak ada lagi Rey dengan wanita di hadapannya.
"Hei, kendalikan dirimu!" suara yang terkesan dingin dan bossy itu terdengar begitu jelas, aku mendongakkan kepala dan menatap orang yang ada di hadapanku, seorang lelaki yang tidak aku kenal dengan ruangan yang juga tidak aku kenali. Aku hanya menatap orang itu sebentar, sebelum akhirnya menutupi wajahku dengan bantal sofa dan menangis di sana sejadi-jadinya.
"Ya terserah kau saja lah, menangis saja sepuasnya tapi setelah itu kau membayar tagihannya, ingat aturanku bukan? Menangis disini dikenakan tagihan dua juta per-menit" ujar lelaki itu, yang langsung ku ketahui bahwa dia adalah Tommy, bos yang kata Rico dingin, kaku, tidak beperasaan dan tertutup. Keberadaannya di cafe itu selalu antara ada dan tiada. Ya, wujudnya selalu ada di cafe namun setelah dilihat muncul di cafe, ia tidak akan pernah lagi terlihat keluar dari ruangannya untuk sekedar mengecek keadaan dan kinerja pegawaiannya, dan lagi ia tidak pernah berbicara dengan para karyawan, sedangkan karyawan yang menyapanya akan langsung ia abaikan. Cerita Rico tentang Tommy terngiang jelas dalam ingatanku, dan hal itu membuatku mau tidak mau menahan air mataku, aku tidak ingin membuat orang menyebalkan seperti Tommy merasa senang karena mendapatkan keuntungan berjuta-juta dari rasa sedihku.
"Sudah selesai kau menangisnya? Kenapa? Padahal belum ada semenit kok" ujar Tommy sembari melirik jam tangan yang ia kenakan, jam tangan tersebut membuat penampilannya semakin stylish dan aku baru menyadari akan hal itu ketika melihat dirinya secara langsung dan berhadap-hadapan seperti ini, sebelumnya aku tidak pernah tahu seperti apa sosoknya dan hanya mendengar tentang Tommy dari cerita Rico, kata Rico, bosnya itu sudah seperti aktor Korea di drama yang sering kami lihat, dan sekarang aku percaya pada ucapan Rico tersebut. Tommy memiliki wajah tampan khas Asia, dengan mata yang sipit dengan bagian atas yang melengkung, alisnya tebal, sedangkan hidung dan rahangnya lancip terkesan tegas, tubunya terlihat atletis, aku yakin dia pasti banyak menghabiskan banyak waktu di tempat gym untuk membentuk tubuh seperti itu dan menghabiskan banyak uang di perawatan wajah untuk mendapatkan wajah setampan itu. Tampan tanpa celah.
"Ngapain liat-liat?!" celetuk Tommy ketika ia melihatku yang sedang mengamatinya dari atas hingga ke bawah.