Aku mengikuti saran Rico untuk mendatangi rumah Sari. Rumah Sari yang letaknya ada di persimpangan jalan, masih berada di satu gang yang sama dengan gang yang mengarah ke rumahku. Rumah Sari yang sederhana namun memiliki kehangatan yang luar biasa akibat sambutan dari para anggota keluarga yang meriah tiap kali aku datang mengunjungi mereka, namun kali ini sambutan dari mereka membuat hatiku patah menjadi beberapa kepingan, pasalnya orang tua Sari langsung menyambutku dengan sebuah pertanyaan "Sudah sampai mana Neng Nayla persiapan pernikahannya?", pertanyaan yang langsung membuatku mati kutu, tak mampu membalas apapun. Aku tidak bisa menyalahkan mereka karena menanyakan tentang pernikahanku yang tidak akan jadi dilangsungkan. Wajar saja, toh kabar tentang aku dan Rey yang hubungannya beakhir belum tersebar ke telinga para kerabat dekat. Aku sendiri masih belum bisa mengatakan perihal hubunganku dengan Rey yang kandas pada kedua orang tua, aku bisa membayangkan betapa syoknya kedua orang tuaku ketika aku tidak akan jadi menikah dengan calon menantu kesayangan mereka.
"Nay ayo masuk ke kamar" ajak Sari ketika ia menghampiriku, gadis itu baru saja selesai memandikan anaknya yang bernama Rio, Rio yang baru saja berumur dua tahun tersebut harus hidup tanpa seorang ayah akibat perceraian yang dilakukan oleh Sari dengan Joko, sang mantan suami. Tiap kali aku bertemu dengan Sari, aku selalu merasakan sebuah keinginan yang kuat untuk menemukan seseorang yang akan menyayangiku melebihi rasa sayangku pada diri sendiri, yang dahulu sempat aku rasakan dari sosok Rey.
"Tadi Rico telepon katanya kamu baru saja putus dengan Rey, iya?" tanya Sari, ia terlihat begitu penasaran namun juga merasa sedih terhadap apa yang baru saja menimpaku, jelas saja, ia sudah pernah berada di posisiku, ia tahu betapa menyakitkannya harus memutuskan hubungan dengan seseorang yang kita harapkan akan menemani kita hingga usia tua. Aku tidak bisa berbicara banyak, pada Sari air mataku tumpah, sedu sedan yang selama ini aku tahan akhirnya lepas begitu saja di hadapan gadis yang telah aku kenal selama lima belas tahun terakhir ini.
Sari memelukku dengan erat, ia menepuk bahuku "Gak apa-apa Nay, kalau memang sudah tidak baik dan hanya membuatmu sakit ya lepas saja, tidak perlu dipertahankan, toh masih banyak kok lelaki yang lebih baik yang mau sama kamu" ujar Sari, aku tahu bahwa apa yang ia ucapkan adalah kalimat penghibur yang biasa diucapkan oleh para sahabatnya ketika sedang berputus cinta, Sari juga sempat mengucapkan kalimat itu ketika aku memutuskan hubungan dengan Adam, mantan kekasihku di saat aku duduk di bangku SMA. Kalimat yang seharusnya mampu untuk menenangkan hatiku tersebut malah berbalik membuat hatiku merasa tercabik-cabik. Menemukan lelaki yang lebih baik rasanya kini mustahil, karena setelah beberapa hubungan yang aku jalani, hubungan tersebut selalu berakhir sekalipun pada awalnya aku merasa telah menemukan lelaki yang katanya lebih baik dari mantanku sebelumnya. Padahal, mereka semua sama saja.
Aku selalu mengharapkan sebuah akhir yang indah dalam hubunganku dengan Rey, aku selalu mengharapkan bahwa aku bisa membentuk keluarga kita berdua, keluarga yang harmonis, dan membuat rumah yang kita bangun sebagai surga kita di dunia, aku tidak bisa melupakan Rey dan langsung mengingatkan diri sendiri tentang keeradaan lelaki lain di dunia ini yang lebih pantas untukku. Terlalu sulit, karena separuh hidupku sudah aku habiskan bersama Rey. Mencari cinta yang baru berarti membuat perkenalan baru, terbiasa dengan sifat pasangan yang baru, sebuah pengulangan yang terasa begitu membosankan. Aku tidak memerlukan lelaki baru yang lebih baik dari Rey, yang kubutuhkan hanyalah Rey yang menjadi lebih baik demi diriku, namun sayangnya apa yang aku butuhkan dari lelaki itu tidak pernah bisa aku dapatkan.
"Kamu mau aku kenalkan dengan teman lelakiku yang seorang TNI, aku rasa kalian akan cocok karena orangnya begitu ramah dan juga asik" ujar Sari di tengah tangisanku.
Aku menggeleng dengan lemah di dada Sari, perjodohan, mak combalng, tidak akan berguna padaku.
"Rasanya aku ingin menghilang saja" ujarku tersedu-sedu.
"Hush ngawur! Gak kasihan kamu ke aku dan juga RIco? Kalau ngomong itu dijaga, jangan asal sebut. Yang sayang ke kamu itu banyak, kalau kamu tiba-tiba hilang pasti banyak yang akan sedih" balas Sari, ia memukul punggungku, kesal karena perkataanku yang asal. Namun, itulah yang aku rasakan, ingin menghilang, tidak perlu lagi memikirkan tentang Rey, tidak perlu lagi merasakan perasaan sakit yang sekarang akusedang aku rasakan.
"Dari pada ngilang, lebih baik kamu pergi liburan, jalan-jalan, tenangkan hati kamu, coba berdamai dengan kenyataan yang ada. Buktiin kalau Nayla masih bisa tegak berdiri sekalipun Rey sudah tidak ada lagi di sisi" ucap Sari, kalimat yang terdengar familiar di telingaku tersebut ternyata adalah kalimat yang diambil Sari dari salah satu puisi yang sempat aku buat ketika ada di bangku SMA, puisi yang selalu aku bangga-banggakan dan terpajang di mading sekolah selama sebulan penuh, puisi yang banyak menarik pembaca akibat isinya yang menyemangati para gadis yang sedang berputus cinta.
Aku mendongak dan menatap wajah Sari, dia tertawa kecil saat melihat wajahku yang bengkak akibat terlalu banyak menangis "Berkat puisi kamu itu, aku masih bisa merasa bahagia dan menjalani hidup sebaik mungkin sekalipun suamiku sudah pergi karena lebih memilih wanita lain" suara dari Sari ketika mengutarakan pikirannya tersebut membuatku kembali berkelana ke masa lalu. Dahulu aku memang bukan seseorang yang mudah tumbang dikarenakan cinta, bahkan aku selalu merutuki para gadis yang terlampau cengeng dan sulit untuk move on ketika ditinggalkan oleh pasangannya. Lalu, kenapa aku jadi berubah seperti ini? Begitu lemah dan menyebalkan seperti para gadis yang dahulu sering aku rutuki akibat kecengengannya.