2 NIKMATKAH?

"Silahkan ..., tapi kalau kau teriak ibumu pasti akan mendengar teriakanmu juga." Perkataannya sukses membuatku terdiam membisu. "Halo?" ujar sebuah suara yang tak asing di telingaku. Ibu ... Aku beralih melirik ponsel yang kuletakkan di atas nakas. Aku harus cepat mengakhiri panggilannya. Tapi ... Bagaimana caraku mengambilnya? Kalau aku raih ponselku maka tubuh kami akan saling menempel satu sama lain.

"Mya? Kau baik-baik saja?" lanjut ibu bicara membuatku tanpa pikir panjang langsung menjulurkan tangan meraih ponselku. "Uh!" pekikku saat tubuh sebesar beruang Tuan Artawijaya menindih tubuhku, sementara dia hanya bisa mengulas senyum melihat penderitaanku. "Mya, kamu kenapa?" lanjut ibu lagi bicara. "Cepat jawab, atau saya yang ..." bisiknya tepat di telingaku.

"Aku baik-baik saja, cuma hari ini ..." jawabku menggantung perkataanku kemudian, sementara Tuan Artawijaya beralih menenggelamkan wajahnya ke leherku bersamaan dengan tangannya yang kini beralih melepas pakaianku. Sialan! Aku benar-benar ingin teriak, tapi ... Aku beralih menatap ponselku di atas nakas. "Kamu pasti lelah ya seharian ini ..." sahut ibu, sementara aku masih berusaha meraih ponselku.

"Ack!" pekikku saat Tuan Artawijaya tiba-tiba melayangkan beberapa gigitan di leherku, membuatku sontak kembali menyanggah tubuhnya dengan dua tanganku. "Mya, kamu kenapa!" tukas ibu, suaranya terdengar khawatir. Tuan Artawijaya kini beralih menarik pahaku ke atas dan beralih mengambil posisi diantara kakiku sukses membuatku shyok. "Mya ... Kenapa diam saja?" Suara ibu kembali mengalihkan perhatianku. "Siapa yang menelepon, Bu?"

"Mya. Ayah mau bicara juga? Ya udah ibu sekalian mau panggil Vita, Alia, sama Elin," ujar ibu menimpali ayah, aku melirik Tuan Artawijaya yang kini malah tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya. Sialan, aku benar-benar sudah terjebak. Mana yang harus aku pilih? Ibu atau ... "Mya, ayah mau bicarakan suatu hal penting denganmu," ujar ayah mengambil alih perhatianku, sementara Tuan Artawijaya kembali menenggelamkan wajahnya ke leherku bersama dengan tangannya yang terus bergerak menyusuri sekujur badanku. Geli ... Aku menggigit bibir bagian bawahku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

"Mya ..." ujar ayah lanjut bicara. "Ya? Apa itu?" sahutku berusaha mengatur nada suaraku senormal mungkin. "Kamu punya simpanan uang?" perkataan ayah sukses membuatku terdiam. Uang? Kenapa ayah menanyakan hal itu? Tidak biasa-biasanya ... Apa ayah punya hutang? Tapi aku kembali dibuat tersentak saat merasakan sesuatu yang asing berusaha menerobos masuk ke dalam area vitalku. "Mya ..." Suara ayah lagi-lagi berhasil mengambil alih perhatianku. "Ya, ayah butuh berapa banyak?" sahutku. "Ayah butuh dua puluh juta," ujar ayah sukses membuat mataku membulat. Dua puluh juta!

"Argh!" Aku mengerang kesakitan saat sesuatu yang asing itu berhasil masuk menerobos masuk ke dalam area vitalku, sementara Tuan Artawijaya semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku membuat sesuatu yang asing itu terus bergerak masuk lebih dalam. "Mya, kau baik-baik saja?" Suara Ayah kembali mengambil alih perhatianku. "Mya ... Kau baik-baik saja?" ujar ayah bertanya sekali lagi, aku hanya bisa diam tak menghiraukan perkataan ayah sebab rasa sakit yang kurasakan. Area vitalku benar-benar terasa perih dan nyeri. Aku harus cepat mengakhiri panggilannya! Aku beralih mengulurkan tanganku kembali berusaha meraih ponselku.

Tapi sial karena tanganku yang terulur, Tuan Artawijaya mengambil kesempatan dengan terus merapatkan tubuhnya ke tubuhku hingga tubuh kita berdua benar-benar saling menempel satu sama lain, membuat rasa perih dan nyeri yang kurasakan di area vitalku terasa semakin menjadi bersamaan dengan sesuatu yang tiba-tiba mengalir dari jalur lahirku. Aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawahku menahan sakit luar biasa yang kurasakan.

"Maafkan ayah, ayah benar-benar tidak tahu lagi harus cari pinjaman di mana untuk bayar biaya kuliah Vita." Dadaku terasa ngilu mendengar perkataan ayah. "Ayah, tenang saja ... Aku akan kirim uang untuk bayar biaya sekolah Vita," sahutku masih terus berusaha meraih ponselku. Sedikit lagi ... "Benarkah? Tapi apa kamu benar punya uang?" lanjut ayah bertanya lebih lanjut. "Ya! Aku punya tabungan ... Aku juga akan cari pinjaman, ayah ..., ayah tenang saja ..." lirihku yang akhirnya berhasil meraih ponselku. Tut. "Eh!" pekikku saat Tuan Artawijaya tiba-tiba memutus panggilannya.

"Kau!" tukasku tapi dia malah beralih merebut ponselku dan melemparnya sembarang ke atas lantai, sebelum kemudian beralih memanggut bibirku. Aku masih tetap berusaha mendorong tubuhnya tapi percuma saja, tubuhnya terlalu kuat. Dia bahkan tidak goyah sedikitpun saat aku memukuli dadanya. Mataku melotot saat dia masih terus berusaha merapatkan tubuhnya ke tubuhku meski tahu itu sudah pada batasnya. Aku memejamkan mataku berusaha menahan sakit.

Aku menarik dan merapatkan kakiku tapi itu malah membuat denyutan yang kurasakan terasa semakin menjadi, sementara Tuan Artawijaya melepas ciumannya dan kembali beralih menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. "Shit, tidak salah ternyata kau menyuruhku untuk mencobanya secara langsung ..." gumamnya beralih menggigiti leherku. "Lepas ..." ujarku lirih mulai kehabisan tenaga untuk melawannya, sementara dia beralih menatapku dan tersenyum miring. "Aku akan lepaskan, asal kau buat aku sama puasnya seperti Setya." Mataku langsung menajam.

Dia memanggilku dengan sebutan 'aku' dan untuk permintaannya itu benar-benar tidak masuk akal. "Kau sudah gila ya!" tukasku geram mengangkat kepalaku dan melayangkan gigitan di pundaknya, tapi jangankan berubah ekspresi, dia bahkan tidak mengeluarkan sedikitpun suara. Apa gigitanku terlalu lemah? Sekali lagi aku mengangkat kepalaku untuk menggigitnya lebih keras lagi. "Ack!" pekiknya, aku tersenyum menang mendengar pekikannya.

"Kau gila? Jangan memberiku tanda di bagian itu! Kau mau membunuhku?" tukasnya kesal, dia beralih menguasai leherku lagi. "Sudahlah ... Nikmati saja, jujur kau pasti merasa puas bukan?" lanjutnya bicara membuatku berdecak kesal. Nikmatkah? Bukannya nikmat aku justru merasa tersiksa. Ini terasa sangat menyakitkan. Tok. Tok. Tok. "Mya ..." Eh? Nyonya besar! Aku beralih melirik ke arah pintu keluar. "Tuan ..." lirihku berusaha menghentikannya. "Ssst ... Kalau tidak mau ketahuan jangan berisik dan tetaplah diam," sahutnya masih fokus dengan leherku. "Mya ... Aldo mencarimu, kamu sudah tidur?" lanjut nyonya besar masih terus menggedor pintu kamarku.

"Mya ... Pintunya dikunci? Tumben?" lanjutnya masih terus bicara. Jadi Tuan Artawijaya mencuri cadangan kunci pintu kamarku dari tangan nyonya besar. Tanganku mengepal kesal. Apa dia sudah merencanakan semuanya? Aku beralih menarik kakiku dan merapatkannya. "Hhh" gumamnya menghentikan aktivitasnya dan langsung beralih menatapku.

"..." Hening. Dia hanya menatapku dalam diam, sementara aku beralih menempelkan jari telunjukku ke pundaknya sebelum kemudian beralih bermain menggerakkannya. Aku meliriknya yang malah terdiam memerhatikan pergerakan tanganku di pundaknya. Suara ketukan itu sudah tidak terdengar lagi, sepertinya nyonya besar sudah pergi. Aku menghela napas berat tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaannya. Tapi entah mengapa ruang dalam area vitalku makin lama terasa semakin sesak dan menyakitkan. Rasanya sangat tidak nyaman.

Aku beralih mengalungkan tanganku ke lehernya sebelum kemudian memeluk erat tubuhnya. "Cepat akhiri!" bisikku, sementara Tuan Artawijaya membuka mulutnya dan beralih menciumku, aku balas menciumnya, dia membalas balasan ciuman dariku, kami terus membalas ciuman satu sama lain bersamaan dengan tangannya yang kini mulai bergerak menggelitik pinggulku. Sialan! Aku menggeliat beberapa kali sambil terus merapatkan kakiku berusaha mengendalikan denyutan yang kurasakan.

Membalas perbuatannya aku balik menggerayangi tubuhnya. "Kau!" pekiknya langsung mengakhiri ciumannya. Aku tersenyum menang beralih menggerakkan jemari tanganku ke area sensitifnya. "Benar-benar ya!" lirihnya langsung menenggelamkan wajahnya ke leherku dan kemudian ... Serr ... Aku merasakan cairan hangat mulai mengisi rahimku yang sudah sempit menjadi semakin sempit, dalam sekejap cairan tersebut langsung memenuhi rahimku sampai ada yang merembes keluar membuatku sontak terbengong bersamaan dengan denyutan yang kurasakan terasa semakin kuat.

"Hahh ... Sialan," umpatnya beralih menggigit leherku membuatku sontak meringis kesakitan. Dia menghentikan siksaannya dan beralih menatapku. "Kau juga harus keluar ..." lirihnya menarik kepalaku dan beralih menempatkan wajahku dilehernya. Indra penciumanku langsung disambut oleh parfum yang bercampur dengan aroma tubuhnya. Aku memejamkan mataku merasa sangat tenang. Aku menarik tanganku dan beralih memeluknya. Tapi jemari tangannya yang menggelitik pahaku membuat mataku langsung terbuka lebar dan cairan lebih hangat yang datang entah dari mana keluar membuat rahimku rasanya akan meledak saat itu juga.

"Sialan! Aku ikut terpancing lagi ..." umpatnya mendorong kepalaku menjauhi lehernya, sementara dia kembali menguasai leherku. "Aroma tubuhmu sangat khas ... Aku benar-benar suka baunya ..." lirihnya membuat kesadaranku kembali. Aku beranjak mendorong tubuhnya berusaha menjaga jarak. "Aku ... Aku sudah penuhi keinginanmu, sekarang pergi! Menyingkir dari atasku!" tukasku, tapi dia malah menggelengkan kepalanya dan beralih memelukku erat. "Kumohon sebentar saja, tunggu sampai cairannya benar-benar surut," bisiknya lirih membuatku tidak bisa berkutik karena tubuhku benar-benar sangat lemas untuk melakukan perlawanan lagi. Aku hanya bisa pasrah memejamkan mataku dan berusaha terlelap pergi ke alam mimpi bersama dengan denyutan lemah yang masih terus kurasakan.

avataravatar
Next chapter