3 KESEHARIAN

Keesokan harinya, aku berusaha bergerak senormal mungkin meskipun dalam setiap langkah yang kuambil terasa sangat menyakitkan. Aku beralih menyendok bubur dan menempelkannya ke bibir tuan muda sambil sesekali mencuri pandang Tuan Artawijaya yang sejak pagi mengikuti dan terus memerhatikan setiap kegiatanku.

"Mya, usiamu dua puluh empat tahun bukan?" Fokusku beralih pada pertanyaan tuan muda. "Ya?" sahutku heran, kenapa tuan muda menanyakan hal tersebut sementara Tuan Artawijaya terlihat sama herannya. "Itu berarti usiamu hanya dua tahun diatasku, bagaimana kalau kita menikah saja?" Eh! Mataku langsung melotot mendengar perkataannya. Menikah? Aku beralih melirik Tuan Artawijaya yang tampak terdiam tanpa ekspresi.

"Aldo ..." ujar Tuan Artawijaya membuat tuan muda menoleh ke arahnya. "Ya?" sahutnya. "Kenapa kau ingin menikah dengannya?" lanjut Tuan Artawijaya, aku hanya bisa pura-pura tidak mendengarnya. "Itu karena dia mengurusku dengan baik, pekerjaanku sebagai akuntan publik pun berjalan lancar, sekarang aku punya penghasilan tetap," sahutnya tenang. Aku menyentuh tengkuk leherku canggung bersamaan dengan jantungku yang tiba-tiba berdebar. Apa tuan muda serius dengan perkataannya?

"Apa kau pikir mama akan menyetujui hal ini? Kau menikah dengan orang asing sepertinya," ujar Tuan Artawijaya menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. "..." Aku terdiam sejenak sebelum kemudian tertawa kecil berusaha untuk mencairkan suasana. "Maaf, tapi apa yang Tuan Artawijaya katakan barusan benar, tuan muda bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dari saya," timpalku canggung. "Lagipula aku tak berniat untuk menikah dalam waktu dekat juga ..." lirihku membuat mereka berdua beralih menatapku. "Benar juga ... Siapa juga yang mau menikah dengan pria tanpa satu kaki seperti-"

"Tuan muda, apa yang anda katakan! Itu tidak benar, maksudku anda mungkin cacat tapi kepribadian anda sangat menyenangkan jadi siapa pun orang yang bersama anda nanti pasti akan sangat bahagia," jelasku memotong perkataannya, tuan muda mengulas senyumnya sebelum kemudian beralih menatapku lembut membuatku jadi salah tingkah. Dia benar-benar tampan ... Aku menundukkan kepalaku malu. Usianya memang lebih muda dariku tapi pemikirannya sangat luas dan dewasa, sifatnya yang hangat dan juga ceria membuatnya terlihat semakin sempurna. "Kalau begitu kau harus mau menjadi isteri-"

"Aku tidak setuju," tukas Tuan Artawijaya memotong perkataan tuan muda. "Apa? Kenapa, Kak?" sahut tuan muda. Aku melirik Tuan Artawijaya yang ternyata tengah menatapku. Kami bertukar pandang satu sama lain. "Bagaimana kalau dia bukan perempuan baik-baik?" ujar Tuan Artawijaya tanpa memalingkan pandangannya dariku. Dia benar, aku memang bukan perempuan baik-baik. "Apa yang kau bicarakan, Kak ..." ujar tuan muda. "Ya ... Kita tidak tahu bukan dia perempuan macam apa? Bahkan murni atau tidaknya dia kita tidak tahu." Perkataan Tuan Artawijaya benar-benar membuatku kasar, dadaku terasa sesak mendengar perkataannya.

"Jaga bicaramu, Kak," tukas tuan muda. "Tidak apa-apa ..." lirihku beralih menatap tuan muda bersama dengan senyum palsu. "Kalau dipikir-pikir aku memang bukan perempuan baik-baik ..., apa yang dikatakan Tuan Artawijaya benar," jawabku jujur. Hening. Suasananya jadi terasa canggung. "Kenapa aku mengatakan hal yang demikian? Asal kau tahu ... Dia, maksudku perempuan ini adalah seorang penulis cerita dewasa."

"Penulis cerita dewasa?" ujar tuan muda kaget. "Pfft ... Memangnya kenapa kalau dia seorang penulis cerita dewasa? Lagipula dia memang sudah dewasa," lanjutnya bicara membuat Tuan Artawijaya beralih menatapku lagi. "Malah menurutku bagus, saat malam pertama dia tidak akan merasa takut ..." Takut? Aku terdiam mendengar perkataan tuan muda. "Kata siapa? Dia melakukan perlawanan berulang kali ..." ujarnya membuat jantungku seketika berhenti berdetak. Apa dia berniat memberitahukan kejadian semalam?

"..." Hening. Tririring, suara ponsel Tuan Artawijaya berdering membuatnya beranjak pergi untuk menerima panggilan tersebut. Kini hanya tinggal kita berdua. "Aku tidak mengerti apa yang kakak katakan barusan, mungkin pikirannya sedang kacau, kuharap kau bisa memakluminya." Perkataan tuan muda berhasil membuatku menghela napas lega. "Dan mengenai lamaranku, tolong pikirkan baik-baik ... Aku benar-benar serius mengenai hal ini," lanjutnya bicara sembari menatap lekatku.

Malamnya. Aku tidak bisa tidur ... Kepalaku benar-benar pusing. Itu semua karena lamaran tiba-tiba tuan muda. Disamping itu aku bingung harus cari tambahan uang di mana lagi untuk bayar biaya sekolah Vita. Tadi siang aku sudah membicarakan hal ini dengan nyonya besar, dia memberiku pinjaman sebesar lima juta, sedangkan tabunganku hanya ada sepuluh juta. Kurang lima juta lagi ... Aku menarik rambutku frustasi. Ponselku juga rusak, ini semua karena pria sialan itu.

Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Jantungku berdetak keras. Apa Tuan Artawijaya? Aku segera menarik selimut menutupi seluruh tubuhku, bersembunyi. "Mya, ini aku Aldo ..." Tuan muda? Dia belum tidur. Aku beranjak bangkit dan beralih membuka pintu. "Aku tidak bisa tidur, bisa temani aku sebentar?" ujarnya. "Tentu," sahutku. "Aku juga sudah minta izin mamah, dia bilang aku boleh masuk ke kamarmu itu juga kalau kamu mengizinkanku." Aku hanya membalasnya dengan senyum dan beralih mendorong kursi roda tuan muda masuk ke dalam kamarku.

"Pintunya boleh dibuka saja?" tanyaku ragu, sementara tuan muda malah tertawa menanggapi perkataanku. "Tentu, kita hanya berdua saja di sini," ujarnya membuat senyumku terulas. Kepribadiannya sangat jauh berbeda dengan kakaknya. "Di sini tidak ada kursi, mau duduk di tepi tempat tidur?" lanjutku lagi bertanya. "Tidak apa, aku duduk di sini saja ..., kau saja yang duduk di sana," sahutnya, aku beralih duduk berhadapan dengannya. "Aku mengirim pesan padamu, kenapa kau tidak membalasnya?" lanjutnya bicara memulai pembicaraan.

"Ponselku rusak karena jatuh, jadi maaf saya tidak tahu kalau tuan muda mengirim pesan," jelasku. "Begitu ... Di mana ponselmu, aku akan menyuruh orang untuk memperbaikinya, sementara itu mau pakai ponselku dulu? Aku punya dua ponsel," tawarnya. Dia benar-benar baik. "Terimakasih tapi tidak apa, biar saya sendiri yang mengurus masalah saya, Tuan ... Jadi ... Anda tidak perlu repot-repot ..." gumamku sembari menundukkan kepalaku malu mendapat perhatiannya.

"Pfft ... Kau manis sekali," sahutnya sembari terkekeh. "Apa? Tidak sama sekali!" tukasku tidak terima disebut manis, tapi tetap saja pipiku terasa memanas mendengarnya menyebutku manis. "Ada apa ini!" ujar sebuah suara mengalihkan perhatian kami. "Kakak, kau di sini?" ujar tuan muda, sementara Tuan Artawijaya beralih berjalan mendekati kami. "Kak, aku sudah minta izin mama jadi tolong jangan salah paham dengan-"

"Mya, kau dipecat," tukas Tuan Artawijaya memotong perkataan tuan muda. "Dipecat?" gumamku tak percaya mendengar perkataannya. "Kak! Apa yang kau katakan! Kau tidak punya hak untuk memecatnya, mama yang mempekerjakannya bukan kau!" tukas tuan muda. "Ini rumahku, aku berhak memutuskan siapa saja orang yang boleh berada di rumah ini," ketusnya meraih koperku yang kuletakkan di atas lemari dan beralih melemparnya kehadapanku. Aku mengepalkan tanganku geram. Beraninya dia memperlakukanku dengan semena-mena seperti ini. Pertama dia telah menjebak dan merenggut hal paling berharga dalam diriku, sekarang dia memperlakukanku seperti sampah.

Hah ... Sialan! Benar juga, sekarang aku memang sudah seperti sampah. "Baik, saya akan pergi dari rumah ini," tegasku beranjak mengambil koperku dan beralih merapikan pakaianku. "Ada apa ini?" ujar nyonya besar beranjak masuk. "Ma, kakak memecat Mya," sahut tuan muda, sementara aku masih terus membenahi pakaianku. "Kau mau mengusir calon isteri adikmu sendiri? Apa yang kau lakukan Hiral," ujarnya membuatku sontak terbengong. Calon isteri?

"Aku tidak setuju kalau dia yang harus menjadi calon istrinya," ujar Tuan Artawijaya, aku beralih meliriknya yang terlihat sangat marah. "Kenapa?" ujar nyonya besar heran. "..." Hening. "Ma ... Ah maksudku, Bi ... Maaf telah menyakiti hatimu tapi aku menyukainya dan berniat untuk menjadikannya isteriku," ujar Tuan Artawijaya membuatku sontak beralih menatapnya kaget. "Kau!" pekik nyonya besar kehabisan kata-kata. "Nak! Sudah cukup kita mengasihaninya sebagai anak yang sebatang kara. Dia benar-benar tidak tahu terimakasih, ayo kita kembali ke kediaman Keluarga Setiawan!" tukas nyonya besar meraih kursi roda tuan muda dan beralih mendorongnya.

"Kau juga! Mya! Bangun! Ikut dengan kami, kau juga menyukai puteraku bukan?" ujar nyonya besar, aku beranjak bangun dan beralih mendekatinya. "Mau ke mana!" tegas Tuan Artawijaya mencengkram erat lenganku. "Kak ... Apa yang kau lakukan? Aku benar-benar tidak menyangka kalau kau menyukainya, tapi jangan hentikan dia kalau dia memang ingin ikut bersama denganku," timpal tuan muda. "Benar, lagipula jarak umur kalian cukup jauh jadi jangan paksa dia untuk menyukaimu," ujar nyonya besar. "Kata siapa dia tidak menyukaiku?" tukas Tuan Artawijaya beralih menarik pinggangku. "Balas pelukanku, kau tidak mau bukan orangtuamu tahu tentang malam yang kita habiskan bersama," bisiknya tepat di telingaku, membuatku sontak mengikuti perintahnya. Pria sialan!

"Mya, kau ..." ujar tuan muda lirih. " Sudahlah, Nak ... Kita cari saja perempuan lain di luar sana. Anak pembawa sial itu mama rasa terlalu kesepian sampai-sampai memaksa seorang pelayan untuk menikah dengannya." Nyonya besar berlalu pergi bersama dengan tuan muda, sementara Tuan Artawijaya mengeratkan pelukanya dan beralih menyembunyikan wajahnya di leherku, aku sontak mendorong tubuhnya menjauh dariku.

"Kau!" pekikku tak percaya melihat wajahnya yang penuh dengan air mata. Dia beralih memelukku lagi. Aku membiarkannya sampai dia merasa tenang dan beralih melepaskan pelukannya. Aku melirik matanya yang kini tampak merah dan bengkak. Aku benar-benar tidak percaya pria berusia tiga puluh tiga tahun dihadapanku ini masih bisa menangis juga. Apa dia sedih karena nyonya besar dan tuan muda yang kukira keluarganya itu pergi meninggalkannya. Tapi, mereka pergi juga karena kesalahannya sendiri.

Aku lanjut beralih mengemasi pakaianku. "Jadi kau tidak mau menjadi isteriku?" ujarnya bertanya memecah keheningan. "Maaf ..." sahutku terus mengemasi semua barang-barangku. "Lalu bagaimana kalau kau hamil?" tukasnya beralih mengambil tempat dan berjongkok dihadapanku. "Tidak mungkin," sahutku menepis tangannya dariku. Aku sudah minum kontrasepsi yang kubeli di toko obat.

"Aku tidak akan hamil, aku sudah minum obat pencegah kehamilannya," jawabku membuatnya terdiam sejenak. "Boleh saya lihat pil kontrasepsinya?" sahutnya, aku beranjak dan beralih ke nakas mengambil pil tersebut di dalam laci. Dia segera merebutnya dari tanganku, sebelum kemudian beralih memerhatikannya. "Ini pil kontrasepsi biasa, butuh waktu tujuh hari untuknya aktif sebagai proteksi kehamilan." Perkataannya sukses membuatku terdiam. Aku hanya asal beli, aku juga benar-benar baru tahu tentang hal ini.

"Aku akan belikan pil kontrasepsi darurat yang manjur kalau kau memang tidak mau hamil, aku juga tidak akan memberitahukan pada orangtuamu kalau kita sudah menghabiskan malam bersama, syaratnya kau harus tetap bekerja di rumah ini, bagaimana? Oh ya satu lagi, aku juga akan naikkan gajimu ..." tawarnya. "..." Kalau ayah dan ibu sampai tahu masalah ini mereka pasti akan sangat sedih, dan yang paling penting aku tidak boleh sampai hamil, disamping itu aku juga butuh uang.

avataravatar
Next chapter