4 Jelaskan

Satu bulan berlalu dengan penuh derita. Kini aku bekerja sebagai pelayan pribadinya Tuan Artawijaya. Sesuai janji, dia memberiku kontrasepsi darurat sesaat setelah kuterima tawarannya.

"Mana tenagamu? Pijat lebih keras lagi!" tukasnya mencubit punggung tanganku hingga memerah.

Yang bisa kulakukan hanya mengikuti perintahnya. Aku menundukkan sedikit kepala beberapa saat kemudian, menatap wajah tertidurnya kini yang terlihat seperti malaikat. Sungguh luar biasa .... Dia memiliki wajah yang tak kontras dengan kepribadiannya.

Entah Tuhan memberinya berkat atau sebuah musibah.

"Tuan muda ini setiap hari mengeluhkan sakit luar biasa di bagian kepalanya, tapi memang orang aneh! Bukannya pergi ke dokter dia malah berakhir menyiksaku."

"Suatu keajaiban bila tiba-tiba tanganku ini bisa menyembuhkan sakit kepalanya!"

"Apa kau sedang mendumal? Tutup mulutmu itu dan pijat saja yang betul!"

Sialan. Kupikir dia sudah tidur. Ternyata belum!

"Maaf .... Saya tidak bermaksud untuk ...."

"Bukannya aku sudah bilang untuk menutup mulut berisikmu itu?"

"Nona, kau terlalu banyak bicara! Aku jadi tidak bisa tidur!"

"Sekarang berikan ponselmu! Sudah lama juga aku tidak membaca cerita erotis itu."

Tuan muda menjulurkan telapak tangannya. Dia berusaha menjarah ponselku dengan tidak tahu malunya. Sungguh .... Aku tidak mengerti mengapa pria ini begitu terobsesi dengan cerita gila buatanku.

"Maaf, tapi file-nya hilang." Tak ada pilihan lain yang bisa kulakukan selain membohonginya.

Aku khawatir setelah membaca, dia akan menggunakan tubuhku lagi sebagai alat. Aku bukan seorang pelacur! Dia tidak boleh menyentuhku sesuka hatinya!

Aku balas menatap pria licik yang kini duduk berhadapan denganku. Andai hari itu dia tidak mengelabuiku mungkin semua tak akan jadi seperti ini. Orangtuaku saja tak tahu aku menulis cerita seperti itu.

"Kau ini suka sekali berbohong ya?"

"Kalau file-nya benar-benar hilang bisa kau jelaskan padaku alasannya? Mengapa?"

Perkataannya membuatku merasa tertohok. Selama ini hidupku memang dipenuhi dengan kebohongan. Yang orangtuaku tahu pun aku bekerja bukan sebagai pembantu melainkan buruh pabrik.

Tak ada celah untukku berkilah. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tidak mungkin bukan kalau aku memberikan ponselku kepadanya.

"Tuan .... Apa yang kau katakan? Silakan unduh aplikasi X saja dan silakan pilih cerita yang sesuai dengan selera anda. Cerita buatanku tidak ada apa-apanya dibandingkan cerita buatan penulis-penulis lain."

Sungguh .... Apa yang baru saja kukatakan? Setelah mengatakannya aku baru merasa menyesal. Dasar tidak sopan!

Apa sekarang aku akan dipecat olehnya?

"HA .... HAHAHA ... HAH!"

Aku jelas tercengang melihatnya sekarang malah menebar tawa layaknya orang gila.

"Apa yang kamu katakan barusan? Maaf, tapi aku tak bisa mendengarnya dengan 'jelas', jadi bisa kau 'ulang'?" lanjutnya bicara.

Pelototannya membuatku bisa melihat dengan jelas sebesar apa pupil matanya.

"Tadi ... saya bilang bisa saya ambil gaji saya bulan lalu."

Tentu yang harus kulakukan sekarang ini adalah cepat-cepat mengganti topik pembicaraan. Akan tetapi sikap bodohku ini membuatnya kembali melepas tawa yang bahkan lebih keras daripada sebelumnya. Sungguh ... sekarang ini aku sangat merasakan malu.

"Begitu, ya? Baiklah .... Maaf karena telah melupakan gajimu."

Tuan Artawijaya mengeluarkan dompetnya lalu melempar sebuah kartu berwarna hitam. Bukankah itu yang dinamakan black card? Sebelumnya kupikir dia akan memberiku uang tunai, ternyata tidak ya.

"Ambil dan pakai sesuka hatimu."

"Ah tidak-tidak! Kalau Tuan kehabisan uang tunai saya bisa berikan nomor rekening saya!" tukasku berusaha menolak kartu pemberiannya.

Lagipula .... Bagaimana mungkin aku memakai kartu kepunyaannya.

"Jangan banyak bicara! Cepat ambil dan pakai saja!"

"Kau tak perlu memberiku nomor rekeningnya, aku sudah tahu. Kau pikir siapa yang memberimu uang selama ini? Hah?"

"Kau akan memerlukan banyak uang untuk mengurus segala keperluan rumah tangga, jadi pakai saja itu." Tuan Artawijaya bangkit dari duduknya.

"Pakai juga uangnya untuk bayar lunas biaya sekolah adikmu. Jangan gunakan uang pribadimu," lanjutnya beranjak mendekati pintu.

"Tapi .... Sebenarnya benar juga perkataanmu itu. Pfft .... Aku memang kehabisan uang cash." Setelahnya Tuan muda menutup pintu dengan kasar.

Bunyinya yang nyaring bahkan seolah mampu untuk membuat seekor kucing menjadi tuli. Antara kesal dan gelisah. Aku berusaha meredam semua perasaanku.

Bukankah dia memang begitu?

Kulakukan semua yang diucap olehnya. Keluargaku senang. Terlebih adikku, Vita. Dapat melalui dunia perkampusannya dengan mulus.

"Mang! Sayurnya!" teriakku, sementara penjual sayur segera menghentikan laju gerobaknya.

Hari ini rencananya aku akan masak semua makanan kesukaan Tuan sebagai bentuk tanda terima kasih. Tanganku bergerak memilih sayur dan daging-dagingan segar. Satu-persatu ibu-ibu menghampiri kami.

Beberapa diantara mereka mencuri pandang ke arahku kemudian saling berbisik di telinga satu sama lain. Kentara sekali mereka sedang membicarakanku. Pasti ada pengkhianat yang tega membocorkan pertengkaran tempo lalu.

Meskipun canggung, aku berusaha melempar senyum. Penuh dengan kekakuan. Rasa canggung pun menghinggapiku sebab mereka malah bersikap acuh.

Aku bergegas membayar barang belanjaanku sambil menahan malu. Kalau tahu akan berakhir seperti ini seharusnya tadi tidak usah kuberi senyum. Memang dasar ... orang-orang yang tak tahu bagaimana cara menjaga perasaan orang lain!

"Buat sesak saja!"

Aku menarik napas dalam-dalam berupaya keras memadamkan api yang mulai bergejolak di dalam dada. Kemudian bergegas menyelesaikan pekerjaan. Tak ada gunanya membuang waktu untuk meladeni sarkas mereka.

Malamnya, Tuan Artawijaya pulang lebih cepat. Dia tidak sendiri, ada seorang gadis cantik yang berjalan mengikutinya. Sungguh ... rambut blonde dan mata birunya itu sangat indah sampai membuat mulutku ternganga.

"Selamat malam ...."

Cepat-cepat kubungkukkan setengah badanku setelah mereka berjarak cukup dekat. Tak lama kemudian kepalaku dilempar jas serta scarf bulu berona gelap milik nona yang dibawa oleh Tuan Artawijaya. Aku memegang scarf tersebut dengan sangat berhati-hati, takut rusak.

Bulunya sangat halus dan lembut. Harganya pasti sangatlah mahal. Aku tak bisa bayangkan kalau sampai nona tersebut memintaku untuk ganti rugi karena tidak sengaja merusak scarf miliknya.

"Naik ke atas. Pilih kamar mana pun yang kamu suka, Elle."

Sesaat setelah mendengar perkataan Tuan Artawijaya. Nona yang diketahui bernama Elle itu bergegas menaiki satu-persatu anak tangga hingga sosoknya hilang di balik sebuah pintu yang tepat berhadapan dengan tangga. Sungguh .... Aku tidak habis pikir.

Mengapa Nona itu tidak tanya di mana kamar Tuan Artawijaya? Kupikir wanita itu teman kencannya. Apa aku salah?

"Dia tunanganku."

Mataku melebar menangkap celetukan Tuan Artawijaya.

"Namanya Elle," sambungnya menarik paksaku sesaat setelah berhasil melepaskan dasi yang tergantung di lehernya.

Ke mana dia akan membawaku?

"Hei! Percepat langkahmu! Jangan lambat!" ujarnya hampir setengah berbisik.

Kami berjalan melewati lorong. Kini sepertinya aku tahu ke mana dia akan membawaku. Tuan Artawijaya menarik knop sebuah pintu.

Mataku langsung disambut oleh hijaunya ladang buah dan sayur pribadi milik keluarga Artawijaya.

"Mengapa anda membawaku kemari, Tuan?"

"Sssh! Kecilkan suaramu! Bisa tidak?"

avataravatar