11 TEMPAT YANG AMAN

"Ustadz! buruan naik! Inayah tetap Ustadz gendong saja!" ucap Ridwan dengan cepat sambil melihat ke arah jalan di mana Darno sudah melihatnya.

"Hei!!! berhenti!! Kalian tidak bisa pergi begitu saja!" teriak Darno berlari semakin dekat.

"Ustadz!! ayo... cepat naik!! orang itu sudah dekat!!" ucap Ridwan dengan gusar melihat Yusuf masih bengong di tempatnya.

Sontak Yusuf melihat Darno yang sedang berlari mendekat.

"Astaghfirullah, maafkan aku. Baru kali ini aku melakukan hal ini. Bismillahirrahmanirrahim." ucap Yusuf dengan perasaan campur aduk naik ke atas motor Ridwan dengan menggendong Inayah dalam pangkuannya.

Tanpa melihat Yusuf sudah duduk dengan benar atau tidak, Ridwan menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.

"Heiii!!! berhenti!!! awas kalian!! aku tidak akan melepaskan kalian! ingat itu!!" teriak Darno sambil menendang kayu ranting di depannya dengan kesal.

"Bos, biar kita mengejar mereka!" ucap salah satu anak buahnya yang membawanya motor.

"Cepat!! kejar mereka!!" ucap Darno dengan tatapan penuh kemarahan.

Melihat anak buah Darno masih mengejar, Ridwan semakin menambah kecepatannya melaju ke arah jalan raya.

Hingga beberapa saat Ridwan masih menjalankan motornya dengan kecepatan penuh menjauh dari tempat perkampungan Salimah.

"Ustadz, kita mau ke mana?" tanya Yusuf tidak tahu ke mana Ridwan membawanya pergi, sedangkan dirinya sudah merasa gugup menggendong Inayah dalam pangkuannya.

"Aku juga tidak tahu Ustadz, apa kita harus membawanya ke pondok pesantren? atau ke rumah sakit?" ucap Ridwan otaknya jadi buntu melihat kecemasan Yusuf.

"Bawa ke mana saja, yang penting Ustadz yakin tempat itu aman buat Inayah. Aku sudah tidak bisa seperti ini terus. Bagaimana kalau tiba-tiba Inayah sadar dan mengetahui aku sedang memeluk dan memangkunya seperti ini?" ucap Yusuf merasa serba salah, perasaannya campur aduk hingga membuat perutnya terasa mulas.

"Kenapa Ustadz bingung, bilang saja pada Inayah kalau dia adalah calon istri Ustadz." ucap Ridwan dengan tertawa.

"Ustadz, aku serius...kita tidak bisa membiarkan Inayah tahu kalau kita menyamar. Ustadz tahu, bagaimana Inayah tadi menyebut namaku Ustadz saat mau pingsan? bagaimana Inayah bisa tahu kalau aku menyamar?" ucap Yusuf merasa heran dengan penglihatan Inayah.

"Itu berarti Inayah memang sangat mengenal Ustadz, walau Ustadz punya seribu wajah berbeda.. Inayah pasti mengenali Ustadz." ucap Ridwan dengan asal.

"Apa menurutmu begitu?" tanya Yusuf merasa indera ke enamnya tidak berfungsi karena telah terpengaruh perasaan hatinya.

"Sudahlah Ustadz... tenang saja, bukankah Ustadz bisa membaca pikiran Inayah? Ustadz saja bisa merasakan kesedihan Inayah. Inayah juga pasti tahu semua yang ada pada Ustadz." ucap Ridwan sambil berpikir mencari tempat yang aman buat Inayah.

"Jadi, sekarang kita harus membawa Inayah ke mana? sebelum aku pingsan." ucap Yusuf tidak bisa menahan rasa gugupnya apalagi dengan lengannya yang masih mengeluarkan darah.

"Aku sudah tahu tempat sementara yang aman buat Inayah, Ustadz." ucap Ridwan memutar balik motornya menuju ke suatu tempat yang biasanya dia datangi.

Tidak beberapa lama Ridwan menghentikan motornya tepat di depan rumah makan milik Shafiyah.

"Ustadz, apa Ustadz lapar? bagaimana dengan Inayah?" tanya Yusuf dengan heran saat Ridwan berhenti di depan rumah makan milik Shafiyah.

"Aku tidak lapar Ustadz, aku membawa Ustadz ke sini karena hanya tempat ini yang aman untuk Inayah. Aku akan meminta tolong pada Shafiyah untuk membantu kita." ucap Ridwan berusaha tenang walau sedikit bingung harus memberi alasan apa pada Shafiyah.

"Baiklah, aku percaya padamu Ustadz." ucap Yusuf kemudian turun dari motor masih menggendong Inayah yang belum sadar juga.

Ridwan menganggukkan kepalanya kemudian berjalan ke pintu rumah Shafiyah.

Dengan hati berdebar-debar Ridwan mengetuk pintu beberapa kali sambil mengucapkan salam.

"Assalamualaikum." ucap Ridwan berdiri tegak di depan pintu sedangkan Yusuf terlihat lelah berdiri di sampingnya sambil menggendong Inayah.

"Waalaikumsallam." terdengar suara Shafiyah dari dalam rumah.

"Ceklek"

Pintu rumah terbuka terlihat sekali wajah Shafiyah yang ketakutan saat melihat penampilan Ridwan dan Yusuf apalagi dengan menggendong seorang wanita.

"Siapa kalian? ada apa kalian kemari?" tanya Shafiyah sedikit gemetar di balik pintu rumah yang terbuka separuh saja.

"Apa kamu tidak mengenaliku Shafiyah? aku Ustadz Ridwan dan Ustadz Yusuf." ucap Ridwan dengan suara pelan.

"Masyaallah, Ustadz Ridwan? Ustadz Yusuf? kenapa penampilan kalian berubah seperti ini, dan wajah kalian? aku sama sekali tidak mengenalinya?" ucap Shafiyah sangat terkejut dan buru-buru membuka pintu.

"Mari silahkan masuk Ustadz." ucap Shafiyah merasa bersalah karena tidak mengenali Ridwan dan Yusuf.

"Shafiyah, bisakah kamu memberi kamar untuk teman kami Inayah? dia pingsan dan kita berdua tidak tahu harus membawanya ke mana." ucap Ridwan dengan tatapan memohon.

"Tentu Ustadz, bawa ke kamarku saja." ucap Shafiyah pada Ridwan kemudian menganggukkan kepalanya pada Yusuf agar mengikutinya.

Tanpa bicara Yusuf dan Ridwan mengikuti Shafiyah.

"Ustadz bisa membaringkannya di tempat tidur." ucap Shafiyah setelah berada di dalam kamarnya.

"Shafiyah, tolong bantu sadarkan Inayah dan jaga Inayah untuk sementara waktu. Kita berdua tidak bisa lama-lama di sini. Aku minta tolong padamu untuk tidak mengatakan apapun pada Inayah kalau sebenarnya kita yang telah menolongnya. Biarkan Inayah tahu kalau dua preman yang telah menolongnya." ucap Yusuf dengan serius.

"Tapi Ustadz, bagaimana kalau Inayah setelah sadar lalu meminta pergi dari sini?" tanya Shafiyah tidak bisa menahan Inayah tanpa ada alasan yang kuat.

"Berikan syal dan Al Qur'an kecil ini pada Inayah, insyaallah dia pasti akan mengerti." ucap Yusuf sambil memberikan syal berwarna biru dan Al Qur'an kecil miliknya pada Shafiyah.

"Baiklah Ustadz." ucap Shafiyah dengan tatapan tak mengerti.

"Shafiyah, aku tahu kamu pasti bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Percayalah padaku, di saat waktu yang tepat aku pasti akan menceritakan semuanya padamu." ucap Ridwan merasa bersalah karena telah merepotkan Shafiyah.

Shafiyah menganggukkan kepalanya lagi tidak bisa berkata apa-apa selain percaya penuh pada Ridwan laki-laki yang di kaguminya selama ini.

"Baiklah Ustadz, semoga aku bisa menjalankan tugas ini." ucap Shafiyah berpikir untuk menjaga Inayah dengan baik.

"Terima kasih Shafiyah, kalau begitu kita pergi sekarang." ucap Ridwan dengan tersenyum lega.

"Aku antar ke depan Ustadz." ucap Shafiyah masih ingin bertemu lama dengan Ridwan.

"Jangan Shafiyah, sebaiknya kamu menjaga Inayah. Aku tidak ingin Inayah sadar tanpa ada seorangpun di sampingnya." ucap Yusuf benar-benar sangat mencemaskan Inayah.

"Baiklah Ustadz." ucap Shafiyah tidak bisa membantah ucapan seorang Ustadz.

"Assalamualaikum Shafiyah." ucap Ridwan merasa berat hati meninggalkan Shafiyah dalam keadaan tanda tanya besar di hatinya.

"Waalaikumsallam Ustadz." ucap Shafiyah menundukkan wajahnya malu-malu saat tatapan Ridwan tak berkedip menatapnya.

"Ustadz, ayo... kita keluar." ucap Yusuf seraya menarik lengan Ridwan yang masih berdiri di tempatnya.

Shafiyah tersenyum saat melihat wajah Ridwan yang lucu saat Yusuf membawanya pergi.

"Masyaallah, wajah Ustadz Ridwan sangat lucu sekali saat seperti itu tadi." ucap Shafiyah sambil menggelengkan kepalanya.

"Ustadz... Ustadz Yusuf, jangan pergi." tiba-tiba Shafiyah di kejutkan suara lirih Inayah yang memanggil nama Ustadz Yusuf.

avataravatar
Next chapter