15 SEBUAH KERINDUAN

"Masyaallah Inayah, kamu sangat cantik sekali. Aku akan mengambil foto kamu, agar kamu bisa tahu kalau kamu sangat cantik sekali dengan memakai pakaian syar'i dan hijab seperti ini." ucap Shafiyah kemudian mengambil foto Inayah beberapa kali. Tanpa sepengetahuan Inayah, Shafiyah mengirimnya ke Ustadz Ridwan.

Setelah mengirim foto Inayah, Shafiyah mengirim pesan pada Ustadz Ridwan agar menunjukkan foto itu ke Ustadz Yusuf.

Shafiyah sudah tersenyum bahagia saat mendapat balasan Ridwan walau hanya kata oke.

"Shafiyah, kenapa kamu tersenyum? apa fotoku lucu? aku ingin melihatnya." ucap Inayah mendekati Shafiyah.

"Tidak Inayah, aku hanya tersenyum karena nanti malam Ustadz Ridwan akan kemari." ucap Shafiyah masih dengan tersenyum.

"Ustadz Ridwan kemari? Ustadz Ridwan sahabat Ustadz Yusuf? kamu mengenal Ustadz Ridwan, Shafiyah?" tanya Inayah dengan tatapan tak percaya.

Shafiyah menganggukkan kepalanya dengan jujur. Seketika wajah Inayah memerah karena malu.

"Aku... aku tidak tahu kalau kamu mengenal Ustadz Ridwan, kamu juga pasti mengenal Ustadz Yusuf kan? Shafiyah apapun yang aku katakan kamu tidak menceritakannya pada Ustadz Yusuf kan? apalagi tentang mimpi itu." ucap Inayah dengan wajah merah padam menahan malu.

"Aku memang mengenal Ustadz Ridwan, tapi dengan Ustadz Yusuf baru saja kenal. Aku tidak menceritakan tentang mimpi kamu itu Inayah." ucap Shafiyah tidak ingin terlalu banyak bicara tentang Ustadz Yusuf.

"Syukurlah, aku ingin... suatu saat aku sendiri yang akan menceritakan tentang mimpiku itu pada Ustadz Yusuf. Tapi aku tidak tahu, apa hal itu akan terwujud atau tidak." ucap Inayah dengan hati sedih dan malu.

"Kamu pasti berpikir kalau aku wanita yang tidak tahu diri, yang telah berani bermimpi tentang ustad Yusuf. Apalagi berangan-angan untuk menjadi istri seorang Ustadz, sungguh aku sangat malu padamu Shafiyah. Aku tidak tahu kalau kamu mengenal Ustadz Ridwan dan Ustadz Yusuf. Tapi itulah yang sebenarnya terjadi. Apa yang aku ceritakan memang benar-benar terjadi." ucap Inayah dengan tatapan berkaca-kaca.

"Tidak Inayah, kenapa kamu berpikir seperti itu? kamu adalah saudaraku dan aku sangat percaya, apa yang kamu ceritakan adalah benar adanya. Apapun itu, semoga yang kamu inginkan bisa terwujud secepatnya. Kamu jangan mudah menangis." ucap Shafiyah sambil mengusap airmata Inayah.

"Terima kasih Shafiyah, aku sangat terharu dengan kasih sayangmu ini. Semoga kamu apa yang kamu inginkan juga segera terwujud." ucap Inayah dengan perasaan tenang.

"Aamiin, sebaiknya sekarang kita makan. Setelah itu kamu bisa istirahat. Setelah shalat Maghrib nanti, aku akan mengajarimu mengaji. Kamu mau kan Inayah?" ucap Shafiyah sambil mengusap bahu Inayah.

Inayah menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Aku sangat mau Shafiyah, ajari aku mengaji dan semua tentang ilmu agama. Aku mohon." ucap Inayah dengan bersungguh-sungguh.

"Tentu, aku akan berusaha mengajarimu sesuai dengan kemampuanku." ucap Shafiyah seraya bangun dari duduknya.

"Ayo kita makan Inayah." ucap Shafiyah menarik pelan tangan Inayah dan membawanya ke tempat rumah makan yang berada di samping rumahnya dengan pintu tengah sebagai pintu penghubung.

"Shafiyah, tempat ini seperti rumah makan? apa rumah makan ini milik kamu?" tanya Inayah dengan tatapan kagum.

Shafiyah menganggukkan kepalanya dengan tersenyum.

"Alhamdulillah Inayah, sejak Abi meninggal aku mengembangkan warung kecil milik Abi hingga menjadi rumah makan seperti ini." ucap Shafiyah menjadi sedih saat mengingat Abinya yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

"Kamu wanita hebat Shafiyah, aku sangat kagum padamu." ucap Inayah sambil berpikir untuk bisa bekerja pada Shafiyah.

"Shafiyah, kalau boleh... apa aku bisa bekerja di tempatmu? aku bisa memasak dan kata bibiku masakanku cukup enak dirasakan di lidah. Apa kamu masih membutuhkan tenaga kerja di sini?" tanya Inayah dengan tatapan memohon.

"Kenapa kamu berpikir untuk bekerja di sini Inayah? Kamu bisa tinggal di sini tanpa harus bekerja. Kamu adalah saudaraku." ucap Shafiyah dengan sungguh-sungguh.

"Aku tidak bisa tinggal di sini dengan hanya diam saja Shafiyah, biarkan aku bekerja di sini. Tolonglah aku Shafiyah... aku bisa membantumu memasak di sini." ucap Inayah sambil menggenggam tangan Shafiyah.

"Baiklah kalau kamu berkeinginan seperti itu, kebetulan di pondok pesantren Ustadz Ridwan tiap hari Jumat ada acara. Dan kita harus menyiapkan beberapa makanan untuk para Santri di sana. Apa kamu mau membantuku untuk menyiapkan semua itu?" tanya Shafiyah dengan tatapan penuh.

"Tentu, aku akan membantu menyiapkan semua itu." ucap Inayah dengan kedua matanya bersinar terang.

"Aku senang mendengarnya Inayah. Besok kan hari Jumat dan malam ini Ustadz Ridwan akan membahas acara besok. Aku akan bicara pada Ustadz, kalau kamu akan membantu di setiap acara hari Jumat itu." ucap Shafiyah dengan tersenyum bahagia bisa membantu Inayah untuk bisa dekat dengan Ustadz Yusuf.

"Terima kasih banyak Shafiyah." ucap Inayah ikut tersenyum tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang ada di dalam hatinya.

"Sekarang kita makan ya." ucap Shafiyah seraya memberikan piring pada Inayah.

Dengan perasaan bahagia, Inayah menerima piring dari Shafiyah untuk mengisi perutnya yang sudah kelaparan.

***

Di Pondok Pesantren Al Ikhlas....

"Assalamualaikum... Ustadz, tolong buka pintunya." ucap Ridwan berdiri di depan pintu kamar Yusuf.

"Waalaikumsallam." sahut Yusuf dari dalam kamar bersamaan dengan pintu yang terbuka.

"Ada apa Ustadz? wajah Ustadz terlihat bahagia sekali?" tanya Yusuf dengan kening mengkerut.

"Sebelum Ustadz bahagia, aku lebih dulu merasakan kebahagiaan itu. Ayo... cepat masuk, aku mau menunjukkan sesuatu pada Ustadz. Yang pasti Ustadz tidak akan bisa tidur." ucap Ridwan sambil menarik tangan Yusuf.

Yusuf menurut saja saat Ridwan mendudukkannya di tempat tidur.

"Coba tebak Ustadz, apa yang akan aku tunjukkan pada Ustadz yang bisa membuat Ustadz bahagia?" ucap Ridwan dengan sangat antusias.

"Aku tidak bisa menebak hal yang tidak penting Ustadz." ucap Yusuf tidak bersemangat karena rasa cemasnya pada Inayah.

"Ini sangat penting Ustadz, berhubungan dengan hati dan masa depan Ustadz." ucap Ridwan menatap penuh wajah Yusuf.

"Benarkah? apa?" tanya Yusuf mulai penasaran.

"Jadi Ustadz benar-benar tidak bisa berpikir apa-apa saat ini hanya karena Inayah. Benar begitu?" tanya Ridwan menggoda Yusuf.

"Aku mencemaskan keadaannya saja Ustadz." ucap Yusuf dengan jujur.

"Juga merindukannya kan? Jawab jujur Ustadz?" ucap Ridwan dengan tersenyum.

Yusuf mengangguk lemas, badannya sedikit demam karena luka di lengannya mulai terasa sakitnya.

"Jangan mengangguk saja Ustadz, katakan Ustadz sangat merindukan Inayah." ucap Ridwan mengejar jawaban pasti dari Yusuf.

"Iya Ustadz, aku sangat merindukan Inayah." ucap Yusuf tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Ridwan.

"Aku yakin dengan apa yang akan aku tunjukkan ini, Ustadz pasti langsung sembuh." ucap Ridwan sambil mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Inayah pada Yusuf.

"Lihat baik-baik Ustadz, siapa wanita ini?" tanya Ridwan menunjukkan foto Inayah saat berdoa dengan memakai mukena.

avataravatar
Next chapter