19 MENJAGAMU

"Bagaimana ini bisa terjadi? apa aku harus ke kamar Ustadz Yusuf? Apa Ustadz Yusuf masih sakit?" tanya Inayah dalam hati sambil menatap bubur beras yang ada di atas nampan yang di bawanya.

Sambil menggigit bibir bawahnya Inayah mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang bisa dia tanyai.

Saat melihat ada dua santri perempuan yang melewatinya segera Inayah menghentikannya.

"Maaf Dek, apa kalian berdua tahu di mana letak kamar Ustadz Yusuf?" tanya Inayah dengan perasaan malu.

"Apa ukhti ustadzah baru di sini?" tanya salah satu santri menatapnya dengan tatapan penuh.

"Maaf, aku bukan Ustadzah. Tapi aku datang ke sini untuk membantu Ustadz Ridwan." ucap Inayah sedikit penasaran kenapa santri itu memanggilnya ukhti. Namun rasa penasaran itu di simpannya dalam hati.

"Oh... ukhti teman Akhi Ridwan. Kalau ukhti ingin tahu kamar Ustadz Yusuf, biar aku antar." ucap salah satu santri kemudian bicara pada temannya agar pergi lebih dulu.

"Mari ukhti, aku antar." ucap santri itu kemudian mengantar Inayah ke tempat Ustadz Yusuf.

Saat Inayah dan santri telah pergi, tiba-tiba Ridwan dan Shafiyah keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka berdua saling tertawa kecil melihat rencananya berhasil.

"Ustadz sangat pintar sekali tiba-tiba punya rencana seperti itu." ucap Shafiyah sambil menutup mulutnya yang masih ingin tertawa.

"Kalau kita tidak bertemu Umma yang akan mengantar bubur ayam Ustadz, mungkin aku tidak berpikir untuk mengerjai Inayah. Mungkin dari Umma dan kita Inayah bisa bertemu dengan Ustadz Yusuf." ucap Ridwan dengan tersenyum.

"Tapi Ustadz, Ustadz Yusuf bilang Inayah bisa bertemu Ustadz Yusuf di saat Inayah sudah menemukan jalan hidupnya. Aku tidak tahu maksud dari semua itu Ustadz." ucap Shafiyah dengan wajah serius.

"Aku juga tidak tahu jalan pemikiran Ustadz Yusuf yang penuh misteri. Tapi, setidaknya kita sudah berusaha mempertemukan mereka agar bisa saling melepas rindu. Ustadz Yusuf sangat merindukan Inayah. Semalam Ustadz Yusuf demam tinggi dan memanggil nama Inayah terus." ucap Ridwan dengan wajah sedih.

"Inayah juga tidak bisa tidur Ustadz, aku tahu Inayah memikirkan Ustadz Yusuf. Semoga Inayah dan Ustadz bahagia." ucap Shafiyah dengan suara pelan.

"Seharusnya kita juga bahagia Shafiyah, tapi aku masih belum punya keberanian lagi untuk mengatakannya." ucap Ridwan dalam hati sambil menatap Shafiyah yang menundukkan wajahnya.

"Aamiin, semoga saja...kita semua bahagia Shafiyah. Ayo, kita ke depan ada Ustadz Gibran dan Ustadz Fajar di sana. Kamu belum kenal mereka kan?" ucap Ridwan berjalan pelan membawa Shafiyah menemui Gibran dan Fajar.

***

Di tempat Yusuf, Santri itu menghentikan langkahnya dan menatap Inayah dengan ramah.

"Ukhti, ini kamar Akhun Yusuf. Oh ya, Ukhti...kenalkan aku Syakila Syakieb adik Akhun Ridwan." ucap Syakila dengan tersenyum.

"Oh... Kamu adik Ustadz Ridwan? aku Inayah." ucap Inayah semakin gugup setelah tahu Santri yang mengantarnya adalah adiknya Ridwan.

"Senang bertemu dengan Ukhti. Sekarang aku harus pergi. Assalamualaikum." ucap Syakila sambil menganggukkan kepalanya.

"Waalaikumsallam." ucap Inayah terpaku di tempatnya tidak tahu harus bicara apa.

Inayah menghela nafas panjang setelah ingat dengan tujuannya.

"Ya Allah, apa aku harus masuk sekarang? aku tidak bisa melakukan hal ini. Sepertinya aku bisa pingsan karena perasaan gugup ini." ucap Inayah dalam hati berdiri di depan pintu kamar Yusuf.

"Bismillah, semoga tidak Ustadz Yusuf tidak marah padaku." ucap Inayah memberanikan diri mengetuk pintu beberapa kali sambil mengucapkan salam.

"Assalamualaikum." ucap Inayah merasa gugup dan gemetar. Hingga beberapa kali mengucapkan salam namun tidak ada jawaban dari Yusuf.

"Ya Allah, sepertinya aku mau pingsan saja. Tidak ada jawaban dari Ustadz, apa Ustadz sedang tidur? lalu bagaimana ini? aku harus pergi atau masuk saja?" ucap Inayah dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya.

"Sebaiknya aku kembali saja, aku akan mengembalikan bubur ini ke ibu tadi." ucap Inayah berbalik dari kamar Yusuf.

Baru berjalan beberapa langkah Inayah tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Tidak! aku harus kembali ke sana, siapa tahu terjadi sesuatu pada Ustadz, dan lagi pula aku harus mengantar bubur ini. Aku tidak mau mengecewakan ibu tadi." ucap Inayah kemudian berbalik lagi ke kamar Yusuf.

Dengan tubuh gemetar dan hati berdebar-debar kencang Inayah mengucap bismillah dan membuka pintu kamar Yusuf.

"Ceklek"

"Ya Allah!"

Inayah melihat Yusuf meringkuk seperti orang kedinginan di atas tempat tidurnya.

Dengan cepat Inayah masuk menghampiri Yusuf sambil meletakkan buburnya di atas meja.

"Ustadz, apa yang terjadi padamu? Ustadz?" panggil Inayah beberapa kali pada Yusuf yang meringkuk kedinginan dengan posisi menghadap ke dinding.

"Ya Allah, aku harus bagaimana sekarang? aku harus memanggil siapa? Shafiyah? aku harus mencari Shafiyah. Tapi di mana Shafiyah aku juga tidak tahu? kalau aku pergi, Ustadz Yusuf sendirian di sini." ucap Inayah dalam hati semakin panik melihat Yusuf menggigil kedinginan sampai bibirnya bergetar dan giginya bergemalatuk.

"Aku tidak boleh panik dan hanya diam saja. Aku harus menolong Ustadz." ucap Inayah sambil melihat sebuah baskom yang sudah ada air dan handuk kecil.

Segera Inayah mengambilnya untuk mengompres Yusuf.

"Maafkan aku Ustadz, aku telah berani menyentuhmu. Tolong, jangan marah padaku karena hal ini." ucap Inayah memberanikan diri meraba kening dan leher Yusuf untuk tahu keadaan Yusuf.

"Ustadz demam tinggi? kenapa Ustadz tidak ke Dokter saja kalau sakit?" ucap Inayah beberapa kali bicara sendiri sambil mengompres Yusuf.

"Inayah...." panggil Yusuf setelah beberapa menit Inayah mengompres Yusuf.

Seketika Inayah menghentikan gerakannya saat mendengar Yusuf memanggil namanya.

"Inayah..Inayah.." beberapa kali Yusuf meracau memanggil nama Inayah dan itu membuat Inayah menangis bahagia bercampur rasa sedih.

"Ustadz, kenapa Ustadz memanggil namaku terus? apa yang Ustadz pikirkan tentang aku?" tanya Inayah menangis lirih masih dengan mengompres Yusuf.

Hampir setengah jam Inayah mengompres Yusuf terus menerus sambil mendengar racauan Yusuf memanggil namanya.

Sambil menangis Inayah terus mengompres Yusuf tanpa mengenal lelah hingga Yusuf berhenti meracau.

Kembali Inayah meraba kening dan leher Yusuf untuk memastikan demamnya Yusuf sudah turun.

"Alhamdulillah, demam Ustadz sudah turun dan tidak menggigil kedinginan lagi." ucap Inayah sambil mengangkat tangannya, namun tangan Yusuf menahan tangannya dan menggenggamnya dengan erat.

Untuk sesaat jantung Inayah tiba-tiba berhenti saat Yusuf menggenggam tangannya.

"Ya Allah, apa yang Ustadz lakukan? kenapa Ustadz menggenggam tanganku? apa Ustadz sudah sadar atau masih demam?" tanya Inayah dalam hati mulai merasakan panas dingin karena rasa gugupnya.

"Ustadz." panggil Inayah dengan suara pelan memastikan Yusuf sudah sadar atau belum.

Tidak ada jawaban dari Yusuf atau tanda-tanda Yusuf membuka matanya selain wajah Yusuf terlihat tenang seperti orang yang sedang tidur pulas.

Perlahan Inayah melepas pelan genggaman tangan Yusuf dan berniat untuk pergi. Namun kembali tangan Yusuf menahannya bahkan sekarang tengah memeluk pinggangnya.

avataravatar
Next chapter