6 DI BALIK ALASAN

"Kenapa Ustadz meninggalkan Inayah sendirian di sana? kenapa Ustadz tidak mengajak Inayah bersama kita?" tanya Ridwan dengan pertanyaan yang sama tapi dengan kata-kata yang berbeda.

Yusuf mengambil nafas panjang, terlihat jelas begitu sangat berat.

"Saat ini aku harus meninggalkannya sampai Inayah menyadari semua kesalahannya dan meninggalkan kehidupan kelamnya. Inayah harus melakukannya, karena keinginan hatinya bukan karena aku." ucap Yusuf dengan suara pelan layaknya seorang yang bergumam.

"Tapi Ustadz, bagaimana Inayah bisa melakukan hal itu tanpa ada Ustadz yang memberitahu atau membimbingnya? apa Inayah bisa menyadari semua kesalahannya itu?" tanya Ridwan tidak mengerti jalan pemikiran Yusuf.

"Ini adalah suatu proses bagi Inayah untuk kembali ke jalan yang benar. Semua tergantung pada niatnya hati Inayah. Aku sudah memberi Inayah dua pertanda isyarat agar suatu saat Inayah bisa datang kepadaku." ucap Yusuf dengan tatapan rumit.

Yusuf tahu hal itu tidak akan mudah bagi Inayah karena pasti akan banyak halangan bagi Inayah untuk melepaskan diri dari kehidupannya yang kelam.

"Benarkah itu Ustadz? Kalau Ustadz sudah memberi pertanda pada Inayah, isyarat seperti apa itu?" tanya Ridwan mengkerutkan keningnya karena tidak melihat hal yang aneh saat Yusuf masih bersama Inayah.

Yusuf tersenyum tenang, setenang lautan yang berkilauan di bawah sinar cahaya rembulan.

"Aku sudah mengatakan pada Inayah, di hadapan kedua petugas razia kalau Inayah adalah calon istriku. Ucapanku itu sebuah janjiku pada Inayah." ucap Yusuf dengan wajah serius.

"Masyaallah, Ustadz sudah menjanjikan sesuatu hal yang begitu besar pada Inayah tanpa keraguan. Apa Ustadz benar-benar yakin akan menikahi Inayah?" tanya Ridwan dengan wajah sangat terkejut.

"Insyaallah apa yang aku ucapkan adalah sebuah janji yang harus aku penuhi." sahut Yusuf seraya meneguk teh hangatnya.

"Aku tidak bisa memberi pendapat tentang hal ini Ustadz, yang aku pikirkan bagaimana Inayah bisa berhenti dari kehidupan kelamnya tanpa Ustadz memintanya untuk berhenti?" ucap Ridwan merasa penasaran dengan isyarat yang di berikan Yusuf pada Inayah.

"Aku sudah meminta Inayah untuk berhenti lewat sebuah isyarat juga. Aku mengatakan pada Inayah untuk menyimpan dan tidak melepas syalku, karena dia terlihat anggun jika memakainya untuk kerudung. Bukankah itu suatu isyarat yang sudah sangat jelas Ustadz?" ucap Yusuf dengan tersenyum.

"Aku tidak yakin, Inayah akan mengerti dengan dua isyarat itu Ustadz. Pasti saat ini Inayah bingung dengan sikap Ustadz, seperti aku sebelumnya." ucap Ridwan seraya menekan pelipisnya tidak bisa membayangkan Inayah akan tahu atau tidak kalau apa yang di ucapkan Yusuf adalah sebuah isyarat untuknya agar berhenti dari semua kesalahannya.

"Kenapa Ustadz tidak yakin? aku hanya menyakini satu saja kalau Inayah adalah takdir jodohku. Inayah akan mengerti dan mengetahui apa yang tersirat dalam setiap ucapanku. Inayah bisa mengetahuinya dengan cepat atau lambat semua tergantung pada besarnya niat Inayah padaku. Aku hanya bisa menunggu sampai waktu itu tiba." ucap Yusuf dengan tenang.

"Apa maksud Ustadz...ini sebuah ujian Inayah untuk mendapatkan Ustadz?" tanya Ridwan dengan tatapan tak percaya.

"Bukan untuk mendapatkan aku Ustadz, tepatnya untuk mendapatkan surga." ucap Yusuf kembali tersenyum.

"Masyaallah, jadi Inayah berjuang sendiri untuk mendapatkan surga itu?" ucap Ridwan sambil menggelengkan kepalanya.

"Untuk mendapatkan surga semua manusia harus berjuang sendiri kan Ustadz? saat ini Inayah harus berjuang untuk dirinya sendiri. Dan setelahnya, aku yang akan berjuang untuk mempertahankan Inayah." ucap Yusuf dengan wajah terlihat cemas.

"Aku tahu Ustadz, tidak akan mudah bagi Ustadz untuk mempertahankan Inayah." ucap Ridwan sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga besar Yusuf kalau mengetahui calon istri Yusuf seorang....

"Apa yang Ustadz pikirkan itulah yang menjadi kecemasanku. Tidak akan mudah untuk mempertahankan Inayah, Ustadz. Aku harus melewati banyak halangan dari keluarga besarku terutama Abi." ucap Yusuf sambil mengusap telapak tangannya.

"Sudahlah Ustadz, jangan di pikirkan hal itu sekarang. Kita ambil positifnya saja, Ustadz sudah tahu kalau Inayah takdir jodoh Ustadz kan? itu yang terpenting. Untuk prosesnya Inayah dan Ustadz bisa ikhtiar agar semuanya bisa berjalan lancar." ucap Ridwan menenangkan hati Yusuf.

"Ustadz benar, saat ini giliran Inayah untuk berikhtiar. Setelah itu giliranku." ucap Yusuf dengan tersenyum.

Ridwan menganggukkan kepalanya sambil melihat jam di tangannya.

"Tidak terasa sudah jam setengah empat pagi. Kita shalat subuh di sini atau di pondok pesantren Ustadz? pondok pesantrenku tidak jauh dari sini." ucap Ridwan sambil meneguk teh hangatnya hingga habis.

"Kita shalat di pondok pesantren saja Ustadz, aku harus membersihkan badanku yang sudah lengket ini." ucap Yusuf seraya bangun dari duduknya.

Ridwan menganggukkan kepalanya ikut bangun dari duduknya dan menghampiri Zulaikah.

"Permisi Umi, jadi berapa semua yang harus aku bayar?" tanya Ridwan sambil mengeluarkan dompetnya.

"Tidak perlu Ustadz, anggap saja Ustadz sebagai tamu istimewa. Dan kedatangan Ustadz semoga menambah berkah rumah makan ini." ucap Zulaikah dengan perasaan bahagia karena Ridwan selalu meluangkan waktu untuk makan di rumah makannya.

"Alhamdulillah, semoga semakin berlimpah rejekinya Umi dan Shafiyah." ucap Ridwan dengan tersenyum.

"Aamiin, terima kasih doanya Ustadz." ucap Zulaikah sambil berdiri memanggil Shafiyah.

"Shafi.... Shafiyah." panggil Zulaikah agar Shafiyah memberikan sesuatu yang sudah di siapkan untuk para santri di pondok pesantren Al-Ikhlas.

"Ya Umi." sahut Shafiyah keluar dari dalam di bantu tiga pekerjanya yang membawa beberapa kotak dos yang berisi nasi bungkus.

"Ustadz, ini ada beberapa nasi bungkus untuk sarapan pagi buat para santri di pondok pesantren." ucap Shafiyah seraya menundukkan kepalanya.

"Terima kasih Shafiyah, kamu sangat baik sekali. Entah kenapa aku berpikir...bagaimana kalau setiap ada acara di pondok pesantren terutama acara rutin hari Jumat, kamu yang mempersiapkan menu makanannya? Kamu bisa membantuku kan Shafiyah?" tanya Ridwan dengan tatapan penuh harap.

Shafiyah mengangkat wajahnya dengan malu-malu tidak percaya dengan tawaran kerjasama Ridwan.

Segera Shafiyah melihat ke arah Zulaikah.

"Bagaimana Umi? apa kita sanggup menerima tawaran ini? setiap Jumat kita kan libur hanya fokus menyiapkan makanan untuk para dhuafa?" tanya Shafiyah tidak ingin kegiatan yang sudah berjalan lama akan menjadi terganggu.

"Tidak apa-apa Shafiyah, nanti Umi akan mencari karyawan lagi untuk menyiapkan khusus para santri pondok pesantren." ucap Zulaikah tidak bisa menolak permintaan Ridwan apalagi kalau berhubungan dengan kebaikan membantu para santri.

"Baiklah Ustadz, karena Umi setuju aku bersedia menerima tawaran kerjasama Ustadz." ucap Shafiyah dengan sebuah senyuman.

Ridwan sedikit terpana dengan senyuman manis Shafiyah yang sangat jarang di lihatnya.

"Alhamdulillah, kalau begitu Jumat depan kamu bisa memulainya untuk menyiapkan semuanya. Sekarang, aku permisi dulu. Assalamualaikum." ucap Ridwan dengan tersenyum menganggukkan kepalanya pada Zulaikah dan Shafiyah.

"Waalaikumsallam." sahut Sahfiyah mengantar Ridwan dan Yusuf sampai di pintu sedangkan pekerjanya membantu membawa dan memasukkan beberapa kotak dos makanan ke dalam mobil Ridwan.

avataravatar
Next chapter