1 Adikku Tak Bisa Menikah Karena Aku

"Kamu gak bisa nikah kalau kakak kamu belum nikah," kata Tina, ibu Reva. "Masa kamu mau ngelangkahin kakak kamu."

Wajah Reva murung, ini sudah ketiga kalinya ia mengatakan niatnya untuk menikah dengan kekasihnya. Tapi masih saja mendapatkan penolakan dari ibunya lantaran kakaknya Thatia belum menikah juga di umurnya yang sudah 32 tahun.

Tapi bukan salah Reva juga, hingga harus dia yang menerima akibatnya. Dia tak bisa menikah dan menolak lamaran dari lelaki yang ingin serius padanya.

"Ya, gimana mau nikah, sedangkan mbak Tia aja gak punya pacar," sungut Reva kesal.

Thatia yang mendengarkan Reva mengeluh menjadi tak enak. Karena dirinya lah yang menjadi penyebab Reva tak bisa menikah.

Reva cantik, dia pandai dan supel. Berbeda dengan Tia yang memang tidak cantik dan tidak begitu pandai seperti Reva.

Masalah teman pun, Tia termasuk perempuan yang tidak memiliki teman banyak. Hanya ada beberapa teman itu pun tidak dekat.

"Jadi—Reva harus nolak lamaran dari Fikri? Setelah beberapa bulan kemarin udah nolak lamarannya Haris?" tanya Reva dengan nada menyindir. "Dimana-mana orang tua itu seneng kalau anaknya bisa diajak serius. Tapi kayaknya kecuali buat ibu."

"Bukan begitu Reva." Ayah Reva keluar, Morhan. Dia menyayangi Reva, tapi melihat Tia masih lajang dia juga tidak tega. "Kali ini kasih waktu buat kakak kamu. Kalau gak coba kamu kenalin sama temen kamu, barang kali ada yang tertarik sama mbak kamu."

"Gak ada Pak. Reva kan udah pernah ngenalin. Malahan mereka musuhin Reva katanya nipu. Foto sama aslinya beda."

Reva merasa kalau di rumah itu, dia tidak ada yang mendukungnya sama sekali. Kebanyakan mereka membela Tia karena kakaknya itu memang agak kurang beruntung dalam hal percintaan.

Jangan tanyakan apakah dia sudah pernah pacaran atau belum. Maka jawabannya adalah belum.

Reva tak mau berdebat lagi. dia bangkit lalu masuk ke dalam kamarnya.

Kamarmya masih menjadi satu dengan kakaknya. Ketika dia melihat Tia mendengar semua percakapan antara orang tuanya dan adiknya. Dia jadi merasa bersalah.

"Liat kan? Bapak sama Ibu bakalan terus begini kalau mbak Tia gak nikah!"

"Mau emang aku juga ikutan jadi perawan tua?" tanya Reva dengan napas yang memburu karena menahan emosi.

Kali ini dia sangat menyukai Fikri. Lelaki itu berbeda dengan lelaki yang ia pacari sebelumnya. Makanya dia tidak mau melepaskan.

Tapi mau bagaimana lagi, pasti Fikri sudah seperti lelaki yang sebelumnya, akan menyerah jika tak juga mendapatkan kepastian.

"Makanya keluar dari rumah mbak, biar kenal sama cowok. Gak di rumah aja. Di tempat kerja itu membaur sama temen temen kamu, jangan cuma diem aja. Gimana mau dapet pacar kalau gak ada usaha?"

Tia duduk di tepi ranjang, memandangi punggung adiknya dengan risau. "Aku juga udah usaha, tapi kayaknya emang gak ada yang mau sama aku, Va."

Reva membalikkan tubuhnya. Menatap kakaknya tak percaya. Dia sangat tak percaya diri sampai mengatakan hal itu padanya.

"Coba pake make up, rajin ke salon dan pake skincare mbak. Mungkin mbak Tia gak cantik tapi kalau bersih kan keliatan oke."

Kata kata itu sudah sering dikatakan oleh Reva, jadi Tia tidak akan memasukkannya ke dalam hati. Apalagi memang yang dikatakan Reva adalah kenyataan. Kenyataan yang menghantamnya begitu hebat.

*

Malam harinya saat Reva sudah terlelap dalam tidurnya. Tia diam-diam mengambil celengan bututnya yang sudah ia simpan sejak ia masih bersekolah di SMA.

Dia mengumpulkan semua uang sakunya di sana. Sebenarnya dulu ayah dan ibu Tia sering melebihkan uang jajan anak sulungnya tersebut, dengan tujuan agar Tia bergaul dan main dengan teman-teman sebayanya.

Namun tetap saja, karena tak ada yang pernah mengajak Tia untuk main. Maka Tia selalu pulang sekolah tepat waktu dan menyimpan lebihan uangnya di dalam celengan ayam miliknya.

"Mungkin sekali-sekali aku harus mengikuti apa kata Reva. Aku gak mau terus jadi beban adikku yang ingin menikah tapi selalu terhalang karena aku."

Tia keluar dari kamar dan menuju dapur. Dia memecahkan celengannya dengan hati-hati agar orang-orang di rumah tidak terbangun.

Selama ini Tia tak begitu memedulikan perkataan Reva yang menyuruhnya untuk merubah diri. Orangtuanya pun beranggapan jika anak sulungnya tersebut tidak jelek dan pasti ada yang mau dengannya.

Karena mereka pikir, tak selamanya laki-laki memandang perempuan dari fisiknya. Mereka yakin Tia anak yang baik dan penurut karena itulah dia pasti akan mendapatkan jodoh yang baik pula.

Tia mengumpulkan beberapa uang yang sudah berserakan di lantai. Dipungutnya satu persatu dan dirapikannya ke dalam sebuah dompet usang.

Tia sudah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kampung sebelah. Dia melakukan pekerjaan itu sejak lulus SMA.

Sebenarnya ayahnya menyuruhnya untuk melanjutkan kuliah. Namun Tia tak mau, dan berkata biar adik-adiknya saja nanti yang kuliah dan dia tidak begitu memerlukannya. Karena Tia sendiri tak memiliki cita-cita apa-apa.

Dia melakukan semuanya dengan ikhlas untuk membahagiakan kedua adik perempuannya. Dan kini Reva sudah lulus kuliah dan bekerja menjadi seorang staff di bandara.

Sedangkan adiknya yang satu lagi bernama Tari saat ini masih kelas dua SMA. Dan dia sudah bercita-cita ingin menjadi seorang pramugari.

Setelah selesai mengumpulkan semua uangnya. Tia masuk lagi ke dalam kamarnya dan menaruh dompet berisi uang tadi ke dalam lemari bajunya.

Dia akan ijin dari bekerja besok dan akan mencoba ke salon seperti yang disarankan Reva tadi.

*

Keesokan harinya Tia melakukan aktivitas seperti biasanya. Dia tidak mengatakan pada orang-orang di rumahnya jika dia tidak masuk kerja dan akan ke salon.

Dia berangkat pagi layaknya hari kerjanya dan mencari sebuah salon yang cukup jauh dari rumahnya.

Tidak lama kemudian motor Tia berhenti di sebuah salon yang sepi. Dia masuk ke dalam sana dengan canggung sambil membawa dompetnya kemarin.

"Permisi," sapa Tia dengan sopan.

Pemilik salon yang tadinya sedang asik menonton televisi langsung bergegas menghampiri Tia. Karena dia pelanggan pertamanya sejak seminggu yang lalu salonnya sepi.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemilik salon itu dengan ramah.

"Apa mbak bisa merubah saya jadi lebih cantik?" tanya Tia ragu.

Pemilik salon melihat Tia dari ujung kepala hingga kakinya. Sepertinya bukan hal yang mudah baginya.

Tia sama sekali tidak menarik untuk ukuran seorang perempuan. Dia bertubuh kurus dengan wajah yang terlewat tirus.

Lalu penampilan rambutnya benar-benar membosankan. Hanya panjang lurus dan diikat di belakang. Tak ada aksen poni atau layer yang membuat menarik.

Lalu pakaiannya juga, seolah dia datang dari masa lalu dengan baju kemeja besar dengan rok selutut bermotif bunga besar.

"Bisa!" jawab pemilik salon tersebut. Dia tak bisa membiarkan pelanggannya kali ini kabur. Dia harus mengerahkan semua keterampilan yang dia miliki selama ini.

avataravatar
Next chapter