55 Keluarga Kusumo

Di rumah keluarga Kusumo

Terlihat kakek tua yang mondar-mandir kebingungan di depan kamar anaknya yang sakit keras dan terbaring lemah tak berdaya. Sedangkan istrinya berada di dalam kamar anaknya seraya menangisinya, karena anaknya itu terus meringis kesakitan. Tangan nenek tua itu mengulur dan mengusap wajah anaknya yang juga sudah tak muda lagi. Mungkin umurnya sekitar 50 an, sedangkan umur dia sudah menginjak 75 an.

"Ma ... sepertinya umurku sudah tidak lama lagi, aku sungguh merindukan istriku, Bu, kenapa dia begitu tega meninggalkanku, Ma ... apa salahku?" ucap anaknya itu dengan air mata yang terus menggenang di pelupuk mata.

Dia adalah Karto Al-Kahfi. Seorang pengusaha sukses yang sangat kaya raya dan hartanya tiada habisnya. Dia sakit seperti itu disamping merindukan istrinya yang pergi entah ke mana, juga selalu tidak memperdulikan kesehatannya. Dia juga sudah menikah lagi dan mempunyai anak yang bernama Kanha. Tapi anak dan istrinya tak seberapa perduli kepadanya, malahan kerjaan mereka hanyalah shopping dan jalan-jalan saja.

Nenek tua yang bernama Khamidah itu tak kuasa dan ikut menangis melihat anaknya seperti itu. Ia sungguh ingat dan kacau bagaimana masa lalu itu mengusir istri anaknya yang sedang mengandung, bahkan ia sepakat menfitnah menantunya itu, sehingga bencilah Karto sampai sekarang karena merasa ditinggalkan. Ibu Khamidah yang tak tega dengan anaknya, ia pun menggenggam erat tangan Karto dan mulai berbicara dengan nada yang bergetar.

Kusumo yang mendengar gelagat istrinya yang mencurigakan, ia pun lalu masuk ke dalam kamar Karto. Kepalanya digelengkan pelan saat menatapi istrinya. Ia tahu kalau istrinya akan membuka aib masa lalu dan siap untuk menerima konsekuensi yang ada.

"Sebenarnya ceritanya bukan seperti itu, Nak," ujar mama Khamidah. Matanya sedikit melotot kepada papa Kusumo, rasanya dia sungguh tak sanggup menyembunyikan ini semua dan siap melawan suaminya, apapun yang terjadi, meskipun dibenci oleh anaknya sekali pun.

Khamidah siap untuk meneruskan suaranya kembali, tapi Kusumo langsung menyergahnya dengan cepat. "Ma, mau apa kamu? Jangan diteruskan! Itu tidak penting, kalau kamu teruskan aku tidak akan menganggapmu istri lagi!" ucapan Kusumo tak menggetarkan ketakutannya sedikit pun. Malahan ia menunduk agar tak melihat wajah suaminya yang garang itu lalu benar-benar melanjutkan bercerita.

"Itu semua salah kita, Nak, salah kita."

"Ma, stoooop!" Kusumo mencoba menghentikan lagi. Khamidah pun langsung membentaknya dengan nafas yang mengotot. "Sudahlah, Pa! Mau ditutupi sampai kapan lagi, hah! Kita juga sudah tak muda lagi, kita sudah sangat tua, sedangkan Karto juga dia sudah sakit keras seperti ini, apa kamu mau dia tak tahu tentang kebenarannya sampai mati, hah!" Karto yang sembari memegangi tubuhnya yang sakit semua dan badannya kurus kering karena penyakit komplikasinya. Ia hanya mengernyitkan dahinya, tak paham dengan apa yang diucapkan oleh kedua orang tuanya yang wajahnya sudah terlihat tegang.

Karto lalu berteriak agar mereka berhenti berdebat. "Kaliaaaaaan! Hentikan! Ada apa? Apa ada rahasia yang kalian tutupi dariku?"

Mereka saling melirik dengan nafas dihela panjang, tatapan itu sungguh memendam rasa takut juga kecewa bercampur tak rela. Namun, akhirnya Kusumo dan Khamidah mengangguk sepakat, mungkin sudah waktunya Karto untuk tahu, agar tiada penyesalan lagi kalau anaknya nanti meninggal.

Khamidah langsung menunduk dan memeluk erat Karto. Suaranya memburu cepat, menahan air mata agar tak jatuh. "Nak, sebelumnya Mama minta maaf, semua ini karena kami, berjanjilah kamu tidak akan marah kepada, Mama dan Papa, berjanjilah."

Karto hanya mengangguk. Ia sungguh sangat penasaran dengan apa yang ingin diucapkan mamanya itu. Setelah Karto menyetujui dengan anggukan. Khamidah pun bersiap untuk memulai cerita. Kusumo hanya melipat kedua tangannya di dada dan membuang muka, sungguh tak sanggup rasanya mendengar istrinya bercerita tentang semua itu. Tapi kalau dia meninggalkan istrinya itu artinya dia lelaki yang cemen dan tak berani bertanggungjawab.

"Begini, Nak, dulu kamilah yang mengusir istrimu, kamu tahu sendiri kan Mama dan Papa tidak menyukai cewek yang kamu nikahi itu, dia sangat miskin dan kami membencinya karena tak sederajat denganmu, jadi kamilah yang menfitnah dia, dia tidak pernah selingkuh atau meninggalkanmu, yang jelas dia sangat mencintaimu, dia juga sepertinya sedang mengandung anakku." Mendengar pernyataan dari mamanya. Hati Karto bagaikan tersambar petir. Rasa kesal, tak terima dan marah, menyatu di dadanya. Ia mengepalkan tangannya erat-erat dengan menggerutukkan giginya, lalu tangan itu mendorong mamanya yang sedari tadi memeluknya. Mendorong dengan sangat kasar karena benar-benar berusaha memberontak, melepaskan pelukan mamanya itu.

"Apa Mama bilang? Jadi, kalian yang mengusirnya? Bukan karena dia sengaja meninggalkanku karena tak mencintaiku? Kenapa Mama begitu tega hiks, apa salahnya, Ma, apa! Memang dia miskin, tapi hatinya sangat tulus, dari pada aku menikahi pilihan Papa dan Mama ini dia hanya mengeruk hartaku saja! Tak perduli denganku! Apa ini menantu kesayangan Mama dan Papa! Apa ini! Kalian benar-benar keterlaluan! Pergi dari hadapanku!" oceh Karto dengan mengusir kedua orang tuanya karena hatinya sangat sakit. Wajahnya pun melengos dan tak sudi lagi menatapi wajah kedua orang tuanya itu.

"Ta—tapi, Nak, Mama belum selesai untuk menjelaskan! Mama memang salah, Nak, Mama mengakuinya, dan sekarang tinggal penyesalan yang ada, maafkan Mama, Nak, maafkan Mama dan Papa!" Khamidah terus meminta maaf kepada Karto dengan tangan yang dikatupkan. Dia sungguh sangat sesak dan bingung harus berbuat apa.

Sedangkan Kusumo hanya mengusap wajahnya dengan kasar, dia seperti biasa saja, tapi dalam hatinya juga dia terluka, mengapa dulu ia hanya memperdulikan harta saja, jadilah hanya penyesalan yang ia dapat saat ini.

Kusumo yang sudah bertekad. Suaranya pun benar-benar dikeluarkan karena tak tahan melihat istrinya yang menangis seperti itu, takutnya istrinya itu tak kuat dan jatuh pingsan.

"Nak, sudahlah kami mengaku salah, kamu jangan marah kepada Mamamu ini, Papa yang sepenuhnya salah, karena terlalu serakah, maafkan Papa, Papa berjanji akan mencari keberadaan istri dan anakmu itu sampai ketemu," seru Kusumo yang sudah mendekat ke arah istrinya dan mendekapnya. Mengusap bahu Khamidah, berusaha untuk menenangkannya.

Karto hanya terus menangis dan tersenyum kecut. Tangisan suaranya sudah sangat parau, hingga dia membalas ucapan papanya dengan sangat serak. "Buktikan! Dan kalian cepat pergi dari sini! Kalau sampai aku mati kalian belum bisa menemukan istriku, sampai di akhirat pun aku tak akan memaafkan kalian!"

Merinding rasanya mendengar anaknya mengucapkan itu. Mereka hanya mengangguk dan pergi meninggalkan kamar Karto, agar Karto menenangkan diri terlebih dahulu, apalagi dia bangun saja tak bisa, jadi mereka tak mau menambah beban anaknya itu.

"Kamu di mana, Sayang? Hiks, hiks, hiks, maafkan aku! Aku masih dan akan terus mencintaimu, aku sungguh bodoh meragukan cintamu! Aku mohon kembalilah! Hiks."

avataravatar
Next chapter