20 Bermalam di Apartemen Andien

Sesampainya di apartemen Andien. Lisa meletakkan sepatu hak tingginya di pojok ruangan bersama dengan koleksi sepatu Andien yang lainnya. Kedua wanita itu langsung disambut oleh dua peliharaan kesayangan Andien, yaitu dua ekor kucing british shorthair. Salah satu dari kucing itu berwarna abu - abu dan satu lagi berwarna hitam legam. Keduanya sama - sama gemuk dan menggemaskan seperti pemiliknya.

Lisa melihat kucing berbulu hitam itu menggosokkan pipinya ke betis Lisa. Ia tertawa gemas melihatnya. Seperti ini kah rasanya memiliki seorang anak? Pikir Lisa.

"Masih melihara kucing aja lo Ndien?" tanya Lisa sambil melepaskan blazernya. Malam itu cuacanya lumayan panas, dan AC apartemen Andien tidak terlalu dingin.

"Ah gue udah capek sama laki - laki Lis! Kucing nggak rewel dan mereka sangat mandiri. Nggak ada komitmen aneh - aneh kalo hidup sama kucing!"

"Kalau dipikir - pikir benar juga omongan lo Ndien!" gumam Lisa seraya meletakkan tas jinjingnya di meja pantry. Lisa mengambil salah satu gelas dan mengisinya dengan air dingin dari kulkas. Ia meneguknya dengan cepat, sejak keluar dari rumah sakit rasa haus Lisa kini semakin besar.

Apartemen Andien memang tidak terlalu besar. Ukurannya nyaris sama dengan ukuran kamar kos 3x3 meter, mungkin lebih besar sedikit. Tidak ada ruangan lain selain kamar mandi. Pantry dan tempat tidur Andien cuma berjarak satu meter tanpa dinding penghalang. Di ujung ruangan dekat jendela ada kotak pasir tempat kucing buang air dan kandang kucing. Hanya ada satu meja makan lengkap dengan dua kursi dan satu tempat tidur.

Jika dibandingkan dengan rumah Lisa yang tidak terlalu bagus, apartemen Andien jauh lebih menyedihkan bentuknya.

"Eh ya soal tadi di rumah sakit, katanya lo mau cerita?" tanya Andien yang sudah penasaran sedari rumah sakit.

Lisa terdiam sejenak, jantungnya tiba - tiba berdegup kencang. Bukannya tidak mau cerita, namun Lisa tidak tahu harus mulai dari mana.

"Kenapa, bingung ya mau mulai dari mana?" tanya Andien seraya membuka bungkus makanan kucing. Andien meletakkan makanan kucing itu di piring kecil dan meletakkannya di lantai dekat pantry.

Lisa tersenyum simpul dan mengangguk. Digendongnya kucing berbulu hitam itu kemudian ia duduk di kasur. Mengamati langit - langit apartemen Andien dengan tatapan kosong.

"Kejadian hari ini sangat aneh Ndien. Gue juga nggak tau lo bisa terima atau enggak."

"Ya mulai cerita dong Lis, bagaimana cara gue tau kalo lo mulai aja belum!"

Lisa menghela napas sangat panjang. Matanya terpejam kemudian ia mulai memberanikan diri untuk memulai ceritanya.

"Gue hamil Ndien."

"Lo bercanda kan Lis!?" Andien terperanjat dari tempat tidurnya. Pupil matanya membesar ketika ia mendengar cerita Lisa.

"Enggak Ndien! Beneran! Dokter di UGD yang ngasih tau gue!"

"Astaga Lis, anak siapa itu yang ada di perut lo saat ini!?"

"Dugaanku sih, siapa lagi Ndien kalo bukan Pak Presdir kesayangan kita?"

"Ya Tuhan, lo diapain aja Lis sama beliau sampe hamil begini!? Kalian diam - diam suka enak - enak di kantor ya!?"

"Well, perjanjian antara Oscar dan sekretaris pribadinya antara lain selain harus mengenakan pakaian seksi, setiap pekerjaan selesai dia meminta untuk dipuaskan. Meski di awal itu hanya sebagai hukuman jika gue melanggar peraturan aneh yang dia buat, tetapi malah menjadi satu persyaratan. Gobloknya gue mengiyakan dan tidak melawan sama sekali!"

"Lis lo gila, itu kan masuk bentuk pelecehan!" seru Andien sambil menggelengkan kepalanya.

"Ya mau gimana lagi Ndien, kalo gue nggak mengikuti semua peraturan dan permintaan Oscar yang tidak - tidak itu gue bisa dipecat! Susah Ndien kalau gue harus cari tempat kerja baru! Umur gue sudah 25 tahun, bahkan jadi pegawai Sunbucks saja gue pasti ditolak!"

"Bener juga lo Lis, belum lagi lo masih harus membiayai Ibu lo yang sakit dan adik lo yang masih kuliah." Andien mendekatkan wajahnya dan berbisik, "Ngomong - ngomong, Ibu lo tahu tidak soal ini?"

"Gue bingung Ndien cara ngasih tau ini ke Ibu. Sebenarnya gue nggak pingin Ibu tau gue lagi hamil. Bisa ribet nantinya!"

"Tapi kan kalo udah hamil tua, pada akhirnya Ibu lo pasti tau juga kan Lis? Nggak cuma Ibumu aja, bahkan sekantor!"

"Gue belum berani ngasih tau Ibu, Ndien!"

Andien meletakkan tangannya di pundak Lisa. "Oke deh, sambil lo pikirin gimana cara ngasih tau Ibu lo soal kehamilan lo.. Lo boleh tinggal di apartemen gue sampe akhirnya lo nemuin waktu yang pas!"

"Thanks banget loh Ndien! You are the best!" kata Lisa tersenyum, nadanya terdengar ceria.

"Eh ya, berarti Pak Oscar sudah tau dong kalo lo hamil?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Lisa terdiam sejenak. Kucing yang sedari tadi digendong dan dibelainya kini dilepas. Kucing hitam itu kemudian lari ke ujung ruangan.

Mata Lisa mulai melirik ke bawah dan berkata dengan suara lemah, "Soal itu juga Ndien, gue minta Pak Dani buat nggak ngasih tau Oscar kalau gue hamil. Gue nggak pingin nambahin beban kerjaan dia. Dia Presdir Lis! Sibuknya minta ampun!"

"Tapi lo bilang janin yang ada di perut lo sekarang adalah anak kandung Oscar!?"

"Ya itu masih dugaan sih Ndien. Tapi kok gue yakin ini memang anak kandung Oscar ya?"

"Ya jelas lah Lis! Sudah sebulan ini gur jarang liat lo keluar ke Sky Lounge lagi. Kita pun biar sekantor juga jarang sekali ketemu karena beda lantai. Apalagi lo udah jarang ngobrol sama gue sekarang. Gimana cara gue tau lo lagi kencan atau enggak?"

"Iya deh maafin gue Ndien. Jadi sekretaris pribadi seorang presdir ternyata jauh lebih melelahkan daripada waktu kita satu lantai. Gue kangen masa - masa dimana gue masih jadi manajer keuangan…" Lisa meneteskan air mata dan menyekanya dengan lengan kemeja kotornya.

"Aduh udah deh nggak apa - apa Lis! Lagian bukan salah lo juga lo sekarang jadi sekretaris pribadinya si presdir. Meski ya agak aneh sih sampai jabatan lo diturunkan."

Lisa merebahkan tubuhnya yang lelah lalu menatap langit - langit apartemen Andien untuk kesekian kalinya. Ia menarik napas panjang serta menghembuskannya dengan kencang. Lisa tidak berani menyuarakan pendapatnya soal penurunan jabatannya. Meskipun Andien adalah sahabatnya sejak SMA, ia tetap rekan kerja satu kantor. Bagaimana jika pendapat pribadinya tentang presdir mereka tiba - tiba bocor? Pokoknya Lisa tidak mau membahas lebih lanjut soal penurunan jabatannya.

"Kira - kira gue harus ngomong apa ya ke Oscar besok kalau ditanya soal penyakit gue?"

"Bilang saja lo kecapekan sampai pingsan!" celetuk Andien singkat.

"Ya tapi ini menyangkut masa depan anak yang ada di perut gue Ndien. Gue benar - benar bingung kapan saatnya harus ngomong.."

"Ya sudahlah Lis, kan gue sudah bilang tadi. Ketika waktunya sudah pas, kan lo pasti cerita!" Omongan Andien ada benarnya juga. Sesungguhnya Lisa sangat tidak mengharapkan dirinya hamil apalagi mengingat ia juga masih bekerja. Namun yang sudah terjadi maka terjadilah.

Apartemen itu mendadak hening. Kedua kucing Andien satu per satu menaiki kasur dan duduk bergelung di samping Andien. Salah satu dari mereka ada yang sibuk menggosokkan kepalanya ke wajah Lisa yang sedang menengadah termangu menatap langit - langit.

"Omong - omong besok kerja, gue pakai baju apa ya? Gue kan belum sempat pulang ke rumah?" tanya Lisa polos.

"Pakai baju gue aja dulu besok!"

"Eh kan ga muat, orang badan lo bohay gitu! Hihihi," goda Lisa sambil terkekeh.

"Sialan lo Lis!" Andien mematikan lampu apartemennya dan kembali merebahkan diri ke kasur.

Kedua wanita itu kemudian mulai pergi tidur, bersamaan dengan kedua kucing british shorthair yang bergelung di samping mereka. Menanti hari esok di kantor Petersson Communication yang tak terduga.

avataravatar
Next chapter