15 CINTA DAN BENCI

Hati Rania beradu ia merasakan dua rasa antara cinta dan benci bergelut di dalam hatinya. Apakah cinta ataukah benci?

"Aku benci Reyhan?" Rania membanting piring yang dicucinya.

"Kamu sudah tidak waras?" Arsha memekik Rania yang bekerja tidak benar.

"Maaf aku khilaf, biar aku ganti piringnya."

Arsha tetap memarahi Rania, yang tadinya kerja tiga hari percobaan tanpa dibayar jadi diperpanjang lagi sehari.

Rania tidak marah atas hukuman yang diberikan oleh Arsha, mau dibayar atau tidak buatnya tidak penting, ia kerja hanya untuk bermain bukan mencari uang sebenarnya.

Waktunya pulang kerja, Rafli sigap menjemput Rania tanpa diminta.

"Naiklah!" pinta Rafli.

"Kenapa kamu begitu baik? Aku jadi sebel sama kamu, aturan itu yang baik dan perhatian Reyhan bukannya kamu."

"Kenapa Reyhan?" tanya Rafli.

"Seharusnya dia yang jadi suamiku bukan kamu Rafli!" pekik Rania.

"Kamu belum juga move on?" Rafli sedih ternyata hati Rania benar-benar masih sangat cinta ke Reyhan laki-laki pengecut tidak tahu malu tersebut.

"Entahlah! Sudah jalankan saja mobilnya," ujar Rania meminta Rafli melaju dengan perlahan-lahan.

Rafli dan Rania saling diam-diam lagi, hubungan mereka semakin tidak jelas. Kadang bak sahabat sejati, terkadang seperti musuh bertengkar terus, sesekali romantis seperti sepasang kekasih, bahkan kadang terlihat perhatian dan saling sayang seperti suami istri.

"Berapa lama kita terus bertahan dengan hubungan ini? Aku bosan."

"Kenapa bosan?" Rafli menimpali kata-kata Rania yang mengatakan bosan.

"Kita menikah tapi status palsu, hubungan persahabatan kita jadi seperti ini tidak sehat."

"Kamu mau membahas apa lagi Rania? Jika hatimu masih mencintai Reyhan aku tidak peduli hal itu yang jelas aku tidak mencintai Kanaya," kata Rafli menegaskan.

"Lalu kamu mencintai siapa? Bukan Tania kan? Lagian kamu kenapa tidak jujur denganku?" Rania terus bertanya dia penasaran siapa wanita yang mencuri hati Rafli sesungguhnya jika bukan Kanaya.

"Ada pasar malam, mampir, yuk!" Rafli membelokan mobilnya.

"Terserah kamu lah." Rania pasrah.

Rafli memarkirkan mobilnya, lalu menggandeng Rania masuk pasar malam, ia mengajak masuk untuk naik komedi putar bianglala.

"Kamu serius mau naik ini? Aku takut," pekik Rania menutup matanya.

"Jangan takut kan ada aku. Pak pesan dua tiket ya," ujar Rafli memesan.

Rafli menggenggam jemari Rania yang gemetaran, "Aduh sakit!"

"Kaki kamu kenapa?" Rafli baru menyadari jika Rania kesakitan dan juga ketakutan ia jadi merasa bersalah.

"Aku pijat ya, kaki kamu sedikit bengkak."

"Tidak perlu, nanti tukang urut saja, ini cuma sedikit sakit karena terkilir pas lari."

"Benar tidak apa-apa?"

"Iya, tidak apa-apa." Bianglala mulai berputar Rania mencekeram pundak Rafli.

"Aku takut Rafli!" pekik Rania.

Rafli menenangkan, "Coba teriak lepaskan beban di hatimu."

"Aku benci Reyhan!" jerit Rania.

Rafli menjawab, "Dasar plin plan, sebetulnya cinta atau benci sih?"

"Rafli nyebelin!" jerit Rania sambil mencubit pipi Rafli sampai merah. Namun hatinya merasa lega, pertemuannya dengan Reyhan hari ini anggap saja bertemu orang asing yang tidak dikenal.

"Kamu mau minum es cappucino tidak?" tanya Rafli.

"Mau lah, mana?" ujar Rania melirik.

"Sabar, kita beli dibawah nanti."

"Benar, ya."

Bianglala tidak seimbang, menjadi miring-miring nyaris jatuh, Rania sangat ketakutan ia memeluk erat Rafli.

"Aku tidak mau jatuh."

"Tenang jangan banyak bergerak, sebentar lagi kita berada di putaran paling bawah," kata Rafli, benar saja mereka bisa turun dengan aman, Rania pun senang bebas dari kandang burung pekiknya.

Sesuai janji Rafli mereka membeli es rasa cappucino untuk Rania dan dirinya sendiri.

"Mbak pesan rasa cappucino dua, ya?"

"Siap Mas, kalian so sweet banget nih, pakai gandengan tangan segala." Si pedagang membuat Rania malu dan langsung melepaskan tangannya dari genggaman Rafli.

"Pakai malu-malu mbaknya, baru pacaran?" tanya pedagang terlalu kepo urusan orang.

"Dia istriku," sahut Rafli singkat membuat Rania melongo, diakui sebagai istri di manapun berada, sekalipun di mata dunia status mereka suami istri, tapi kontrak tetap berlaku selama tiga bulan pikir Rania.

Keduanya merasa senang menikmati es cappucino duduk dekat pohon menikmati udara malam, pasar malam ramai dikunjungi anak-anak dengan orang tuanya.

Tak sedikit juga para remaja, dan sepasang kekasih yang ada.

"Kalian di sini?" Reyhan bak setan yang tiba-tiba nongol tanpa diundang.

"Kamu masih berani muncul, mau aku pukul lagi?" kata Rafli kasar.

"Rafli jangan kasar, Reyhan pergilah aku tidak mau melihat wajahmu!" pekik Rania berbohong sebab ia tak mau membuat masalah antara ayah dan anak.

Reyhan mengalah, ia pergi tapi masih terus memandang wajah Rania dari kejauhan meskipun sakit dirinya terpaksa menghindar.

"Kenapa dia muncul lagi? Aku mau belajar move on, tapi jika terus begini akan sulit." Rania terisak-isak sambil menyedot esnya.

"Kamu seperti anak kecil jika menangis begitu, lebih baik kita pulang dari pada orang mengira aku penjahat." Rafli menarik lembut tangan Rania, ia berjalan menuju mobil.

"Gendong! Kakiku sakit, hatiku sakit!" Rania mengadu ke Rafli, tanpa pikir panjang ia pun menggendong Rania.

"Berat sekali tubuhmu ini? Kebanyakan dosa sepertinya," ledek Rafli

"Enak saja, bilang saja kamu kerempeng jadi keberatan kan? Makanya jangan terlalu kurus!" ejek Rania.

"Cie pacaran, kayak di film-film gendong-gendongan kaya gak punya kaki!"

Kata kasar bocah beranting dan bertato palsu.

"Idih, iri bilang bos!" pekik Rafli.

Di dalam mobil Rania meringis kakinya makin bengkak akibat ia terlalu memaksakan diri untuk berjalan dan kerja.

Rafli tidak tega, dia langsung mengurutnya dengan minyak.

"Hai, apa kamu bisa?"

"Diam! Dari pada kaki kamu jadi gajah, mau?" Rafli menakuti Rania hingga ia mau dipijat oleh Rafli.

"Sebenarnya secara agama dan hukum aku suamimu kan? Mau gendong, peluk dan anu pun harusnya boleh dan halal."

Rania langsung menimpuk kepala Rafli dengan botol mineral.

"Anu apa? Jangan mesum, ya. Ingat perjanjiannya adalah setelah tiga bulan kita akan bercerai, jangan lupa ingatan Rafli!"

Miris sih, jika perceraian itu terjadi hati Rafli pasti sangat sakit, bagaikan teriris-iris sebelah pisah, lalu ditaburi air garam kemudian di peraskan jeruk nipis, sakit dan perih sekali rasanya, seperti apa rasa sakit itu coba bayangkan? Cintanya hilang.

"Aku tidak mesum, ih. Apa salahnya memang hak aku sebagai suami? Masa tidak boleh, memangnya kejahatan?" ujar Rafli.

Rania berteriak keras sekali, tapi beberapa detik kemudian kakinya terasa lebih baik.

"Wah, Rafli kakiku sudah tidak sakit lagi, terima kasih, ternyata kamu berbakat jadi tukang urut," puji Rania seraya sedikit memeluk Rafli secara reflek.

"Aku harus dapat hadiah dari kamu."

Rafli menyodorkan pipi kanannya, itu hadiah permintaannya, entah serius atau bercanda.

Rania langsung menampar pipi kanan Rafli tapi sangat pelan hingga tidak sakit.

"Jangan ngaco, deh! Sudah jalankan mesinnya, kita pulang, malas jika bertemu Reyhan lagi." Rania menyalakan mobilnya, agar Rafli mau pulang dengan cepat.

"Masa? Padahal mah, rindu." Rafli menggoda Rania terus menerus.

Rasa cinta, rindu, dan benci berpadu menjadi satu, bahkan Rania jadi bingung bagaimana perasaan yang sesungguhnya ia rasakan.

avataravatar
Next chapter