"Ku-kumohon ... ja-jangan membunuhku."
Tidak terdengar jawaban apa pun. Hanya deru napas Hyunjin sendiri yang terdengar selama beberapa.
"Tu-tubuhku tidak enak. Ka-kau bisa sakit perut kalau memakanku," ucap gadis itu polos. Setelah itu, Hyunjin merasa sentuhan di bahunya menghilang.
'Apa usahaku berhasil? Apa zombi itu takut sakit perut?' batinnya lega.
"Apa yang kau bicarakan?" Suara bariton tiba-tiba memecah keheningan.
Apa zombi bisa bicara?
Dengan ragu-ragu, Hyunjin pun mendongakkan kepala. "Ka-kau," ucapnya terbata-bata, "Min ... Yoongi?"
"Kau pikir aku psikopat yang membunuh manusia secara kejam kemudian memakannya seperti kanibal? Dasar bodoh." Yoongi menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kelakuan aneh salah satu gadis di kelasnya itu. Pemuda itu berjalan melewati Hyunjin yang masih bengong di lantai dan berjalan menuju bangku paling belakang.
"Apa kau bilang? Heh, barusan aku benar-benar ketakutan! Lagi pula, apa yang kau lakukan di jam segini? Bukannya ini sudah sore?"
"Aku biasa pulang saat sekolah sudah sepi. Lantas, kau sendiri? Menunggu para hantu memakanmu?" cibir Yoongi sembari mengambil tas miliknya.
"A-aku ketiduran. Lagi pula, aku tidak tahu kalau itu kau. Kukira kau zombi." Hyunjin
mendengkus seraya memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Ia menyesal kenapa tak bisa mengendalikan rasa kantuknya di jam terakhir.
"Hahahaha!" Ledakan tawa Yoongi menggema ke segala penjuru ruangan. Ia tidak habis pikir akan mendengar alasan setidak masuk akal itu. "Dasar bodoh. Zombi itu tidak ada."
Hyunjin menatap pemuda itu kesal. Kemudian, ia bangkit dan berjalan ke arah pintu dengan langkah lebar. Pipinya menggembung dengan bibir mengerucut. Melihat itu, Yoongi tertawa pelan.
Dasar gadis bodoh.
Yoongi segera menyusul Hyunjin keluar kelas.
"Hei, kau pulang sendiri?" tanya Yoongi saat mereka tiba di sebuah halte dekat sekolah, tempat biasa anak-anak menunggu angkutan umum.
"Aku biasa naik bus. Kau sendiri? Kukira kau selalu naik motormu itu," ucap Hyunjin
ketus. Gadis itu masih merasa malu dengan kejadian di kelas tadi dan berusaha bersikap biasa.
"Hm, benar, tapi sekarang sedang disita ayahku." Mood Yoongi sedang bagus untuk menjawab pertanyaan orang lain, berkat tidur siang tadi. Teman-temannya juga dengan iseng meninggalkannya yang masih tidur dan pulang terlebih dahulu, termasuk Jung Hoseok yang satu kelas dengannya.
"Kenapa?" tanya Hyunjin penasaran. Agak aneh menurutnya jika motor milik seorang Min Yoongi tiba-tiba disita oleh ayahnya. Apa lelaki itu ketahuan balapan liar?
"Bukan urusanmu."
Hyunjin kembali mengerucutkan bibirnya. Seharusnya dia tidak usah mengajak Min Yoongi bicara karena hal itu malah membuat mood-nya kian memburuk. Tidak butuh waktu lama, sebuah bus berhenti dan mereka segera naik. Yoongi memilih duduk di bangku paling belakang, sementara Hyunjin duduk di bangku kosong yang berada di depan lelaki itu.
Drrrttt! Drrrttt!
Ponsel gadis itu bergetar tak lama setelah dia duduk. Ia mengambil benda pipih itu dari saku. "Hm, wae?"
"Kau di mana? Kenapa belum pulang?" sahut Nyonya Cho dari ujung speaker phone.
"Aku sedang dalam perjalanan pulang. Eomma tidak perlu khawatir." Hyunjin menghela napas pelan.
"Baguslah. Eomma kira kau kabur karena tidak mau dititipkan pada anak teman Eomma."
Hyunjin memutar bola matanya malas. Kenapa harus membahas itu lagi? "Aku tidak akan kabur, sungguh. Ngomong-ngomong, kenapa Ibu harus menitipkanku pada anak teman Ibu
itu? Temanku banyak, aku bisa mengajak mereka menginap di rumah. Jadi Ibu tidak perlu mengkhawatirkan apapun. "
Tanpa disadari, orang yang duduk dibelakang tanpa sengaja mendengarkan ucapan Hyunjin. Pemuda itu mengernyit bingung.
"Tidak, tidak. Rumah akan hancur jika itu terjadi. Kau ingat terakhir mereka menginap di rumah? Rumah berubah menjadi kandang kudanil saat Ibu pergi. Lagi pula, tidak ada anak laki-laki. Siapa yang akan melindungimu jika sesuatu terjadi?"
Hyunjin mendengkus pelan. Ibunya berubah semakin cerewet setelah membahas soal 'penitipan anak' itu.
"Kalau begitu, aku bisa menyuruh Jimin menginap di rumah. Bagaimana?" Tubuh Hyunjin sedikit terangkat dari permukaan kursi yang ia duduki. Ia mendadak antusias saat menyebutkan salah satu nama temannya barusan.
"Apa?! Tidak, tidak. Eomma tidak akan mengizinkanmu membawa laki-laki ke rumah!" Suara ibunya kian melengking, membuat Hyunjin menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Kenapa? Bukannya Eomma bilang tadi cemas karena tidak ada laki-laki yang menjagaku? Aku akan menyuruh Jimin menginap di rumah. Bukankah itu ide bagus? Ayolah, dia tidak akan macam-macam padaku. Kami sudah berteman lama sekali-"
"TIDAAAK!"
Hyunjin kembali menjauhkan ponselnya dari telinga. Jika begini terus, bisa-bisa ia harus operasi telinga karena gendang telinganya pecah.
"Pokoknya, Eomma tidak akan mengubah keputusan. Anak itu bahkan lebih baik dari Jimin. Dia akan menjagamu dan Ibu sangat percaya itu."
Hyunjin terdiam selama beberapa saat. Kalimat ibunya terdengar agak aneh.
'Lebih baik dari Jimin? Jangan-jangan ....'
"Eomma, jangan bilang kalau anak teman Eomma itu laki-laki?" tebaknya.
"Kenapa? Dia kan memang laki-laki. Apa Eomma belum bilang? Ah, karena itu Eomma menitipkanmu padanya." Nyonya Cho terdengar begitu santai, berbanding terbalik dengan putrinya. Hyunjin hampir saja menjatuhkan ponsel yang ia pegang.
"Aku tidak mau! Apalagi kalau harus satu rumah dengannya! Aku bahkan tidak tahu orangnya. Apa Eomma sudah gila?!" Hyunjin mendadak dibuat frustrasi oleh ibunya sendiri. Beberapa penumpang lain bahkan sampai menoleh padanya, termasuk Yoongi yang ada tepat di belakang. Lelaki itu sedari tadi bingung dengan obrolan Hyunjin. Entah apa sebenarnya yang tengah dibicarakan oleh ibu dan anak itu.
Namun ucapan Hyunjin membuat Yoongi juga teringat pada ucapan ibu dan ayahnya sendiri. Lelaki itu membuang napas kasar seraya menatap ke luar jendela.
"Eomma tidak akan mengubah keputusan. Lagi pula, kedua orang tuanya juga sudah setuju. Mereka juga menitipkan putra mereka padamu."
Kedua mata Hyunjin berkedip dua kali. "Yang benar saja? Jadi maksudnya, orang tuanya juga akan pergi? Astaga, kenapa jadi saling menitip begini, memangnya kami barang?! Dan apa makasudnya dengan membiarkan kami satu rumah?!"
"Ah, sepertinya Eomma lupa bilang padamu. Perusahaan yang akan bekerja sama dengan kita adalah perusahaan milik orang tuanya. Jadi, kami besok akan berangkat bersama."
Manik hitam Hyunjin kian membulat. "Ja-jadi, aku benar-benar akan tinggal satu rumah
dengan seorang laki-laki asing? Dengan anak teman Eomma itu?"
"Eomma sudah bilang, kalian satu sekolah. Dia tidak akan berbuat macam-macam. Percayalah."
"Bagaimana Eomma bisa tahu kalau dia tidak akan berbuat macam-macam padaku? Memangnya Eomma mengenalnya? Bagaimana kalau dia ternyata—"
"Sudahlah, aku sedang memasak. Eomma akan tutup teleponnya."
"Eomma! Aku tidak—" Terdengar suara nada panggilan terputus. "Halo? Eomma? Eomma?! Ah, sial."
Hyunjin memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku baju dengan kesal.
"Aish, bagaimana jika laki-laki itu ternyata mesum lalu menerkamku tiba-tiba?" Hyunjin yang mulai frustrasi mengacak kasar rambutnya. "Ah, tidak, tidak! Eomma tidak akan membiarkanku
satu rumah dengan laki-laki seperti itu. Jadi, itu artinya dia itu benar-benar laki-laki yang baik." Ia menenangkan diri dan berusaha berpikir positif.
Sementara di belakang, Yoongi juga tampak melakukan hal yang sama. Ia berharap anak teman ibunya adalah gadis normal yang tidak cerewet dan tidak merepotkan, juga tidak aneh seperti gadis yang duduk di depannya.
—TBC