1 Prolog

SMA.

Sebuah Tingkatan yang dijuluki semua orang sebagai masa-masa emas.

Masa-masa dimana kehidupan seorang remaja terasa penuh dengan corak warna-warni.

Pertemanan.

Persahabatan.

Pelajaran.

Ekskul.

Organisasi.

Cinta.

Semua kata-kata tersebut kian terdengar dan pasti ditemukan di kehidupan SMA manapun.

Tapi tidak satupun dari warna-warna tersebut, membuatku tertarik.

Namaku Faiz.

Kelas 1 SMA.

Umurku 16 tahun.

Aku menjalani hidupku sebagai anak yatim piatu. Orangtuaku meninggal karena kecelakaan ketika aku berumur 3 tahun.

Aku diasuh oleh nenekku dari keluarga ibuku, yang wajahnya sangat menyerupai dengan wanita pada foto keluargaku yang telah membawaku ke dunia yang sepi ini.

Kecewa? Tidak, aku tidak pernah bertanya-tanya kepada tuhan alasan mengapa aku harus mendapatkan takdir yang seperti ini. Semua kulewati dengan biasa dan dewasa. Aku belajar untuk menerima semua yang kualami, dan dengan mempelajari hal tersebut, aku dapat memiliki hati yang kuat, yang hampir tidak merasakan apapun lagi.

Sekian kisah ringkas mengenai hidupku.

Faiz, Kelas 10 Ipa 1

~~~~~~~~~

"Haaahhh" Aku menghela nafas lega setelah selesai menulis tugas essay bertema 'kehidupanmu dan SMA' yang diberikan oleh guru bahasa Indonesiaku,

"Kenapa ya, SMA itu lama sekali, andai saja cuma satu tahun." Gumamku sendiri karena bosan.

(Ya, daripada aku duduk dan mulai protes tentang hidupku lagi, lebih baik aku mengumpulkan essayku saja duluan. Seingatku beliau mengatakan bahwa yang mengumpulkan hari ini akan diberikan nilai 90 keatas.)

Akupun berdiri dan berjalan menuju ruang guru putri untuk mengumpulkan essayku ke bu Nasri sang guru bahasa indonesia.

Seiring lorong panjang yang mencirikan sekolah SMAN 1 unggulan ini, aku melihat teman-temanku yang cowok sedang modus keteman-temanku yang cewek dengan candaan mereka yang berisi dengan kode untuk mengenal lebihdekat.

Akupun menghela nafasku sekali lagi.

(Orang-orang bodoh, para cowok yang hanya dibutakan oleh nafsu dan hanya mengincar para cewek yang berwajah cantik dan bertubuh bagus, takkan pernah tau bahwa cewek-cewek tersebut biasanya hanya memanfaatkan mereka untuk mendapatkan tumpangan gratis dan ditraktir macam-macam. Dan para cewek yang sangat mudah dikelabui oleh para cowok, takkan pernah tau bahwa yang diincar dari para cowok cuman tubuh mereka yang seperti buah semangka ditumpuk.)

"Pekerjaan orang bodoh" Gumamku mengejek mereka yang sedang saling modus.

Sesampaiku di depan ruang guru putri, aku langsung membuka pintu putih yang dihiasi Doodle indah oleh guru seniku itu, aku menengok ke kiri dan ke kanan mencari guru bahasa indonesiaku yang telah memberikan tugas essay bertema hal yang menyebalkan tersebut.

"Faiz! kamu sudah ke ruang guru ini berkali-kali dan masih tidak ingat dimana tempat ibu selalu duduk?" Kata guru bahasa indonesiaku yang memiliki tubuh yang tinggi, rambut kecoklatan, mata coklat, dan muka seperti orang asing tersebut.

"Maaf bu, saya memang tidak pernah mengingatnya." Ucapku dengan wajah dan nada yang datar.

"Kamu ini, Ibu bingung kamu itu bercanda atau bukan, mukamu tidak pernah berubah sedikitpun, dan matamu yang berada dibalik kacamatamu itu tidak pernah berisi apapun. Selalu membuat ibu heran, kamu itu robot atau manusia sih?" Ucap bu nasri lebar.

(Manusia? mungkin...)

Sebelum bu Nasri mulai berbicara lebih panjang lagi aku harus langsung memberikan essayku padanya.

"Ini bu, tugas essay bahasa indonesiaku." Ucapku sambil mengulurkan kertas tugasku kehadapan bu Nasri.

"Tugas? bukannya ibu baru kasih tadi? Faiz, ibu senang kamu mengerjakan tugasmu dengan cepat dan nilai mu yang selali ranking satu diantara yang lain. Tapi memangnya kamu gak ingin memanfaatkan masa remajamu untuk-"

"Bersenang-senang?" Ucapku memotong kalimat beliau.

"Jika bersenang-senang berarti berkawan dengan satu orang lalu suatu hari meninggalkannya ketika dia sudah tidak diperlukan, dan jika bersenang-senang berarti memasuki organisasi untuk mendapatkan waktu yang lebih banyak mengobrol dan bergurau mengenai hal yang tidak perlu, dan jika bersenang-senang berarti berpegangan tangan dengan perempuan yang hanya akan bersamaku dalam waktu yang sementara, kelihatannya aku tidak memerlukan hal tersebut bu." Ucapku dengan nada yang mulai merendah dan mata yang menyipit.

Bu Nasri menghela nafas yang panjang karena mendengar kalimatku.

"Maaf, ibu tau kamu sensitif dengan hal ini, dan bahwa ibu terlalu ikut campur dengan masalahmu, tapi ibu cuman ingin, seseorang yang memiliki otak cerdas yang memenangkan olimpiade yang banyak dan selalu juara 1 disekolah, dan seseorang yang memiliki tubuh yang kuat yang memenangkan lomba-lomba bela diri seperti kamu, bisa mempunyai seseorang yang bisa dibilang teman, dan bisa merasakan keindahan masa remaja. Coba lihat, itu bekas luka di atas matamu kenapa? kacamatamu juga bengkok, kamu abis berantem sama siapa lagi kemarin?" Tanya bu Nasri dengan tatapan beliau yang mengalahkan tatapanku.

"Kemarin di perjalanan pulang aku ketemu dengan rombongan preman yang sedang memalak anak jalanan, dari cerita anak itu, katanya rombongan preman tersebut melihat dia diberi uang 200 ribu oleh seorang nenek yang baik."

"Lalu?" Sinyal bu Nasri agar aku melanjutkannya.

"Lalu, melihat anak itu dipalak, amarahkupun memuncak dan aku menantang preman-preman tersebut." Ujarku sambil menunduk.

"Yang kamu lakukan itu terhormat, kamu nggak perlu menunduk. Tapi kamu harus ingat, menolong orang itu boleh, tapi jangan lupakan keselematan diri kamu sendiri ya. Yasudah, balik gih kamu ke kelasmu lagi, interogasinya kita berhentiin disini aja." Ucap bu Nasri sambil tersenyum dan mulai membaca essayku.

Mendengar kalimat tersebut akupun diam-diam merayakannya di dalam hatiku.

(Akhirnya selesai.)

"Oh iya, Faiz!" Panggil bu Nasri kepadaku.

Akupun menengok kembali ke belakang.

"Kamu lupa menulis mimpi terbesarmu di essay mu ini." Ucap Bu Nasri kepadaku.

(Gawat, aku lupa! Aku terlalu tenggelam dengan fikiranku mengenai masa SMA! Terkutuk kau masa SMA!)

"Yasudah gausah di tulis, ucapin aja ke ibu mimpi terbesar pada hidupmu apa?" Tanya Guru bahasa Indonesiaku yang digemari oleh semua cowok-cowok sekolahku.

(Kalau anak-anak lain yang ditanya, pasti mereka jawab "Menikah dengan ibu" atau semacamnya)

Aku berfikir sejenak apa yang kira-kira aku sangat inginkan dari dulu, hal yang aku selalu ku mimpikan untuk kudapatkan, hal yang kubaca dari novel..

Kesempatan kedua...

Kehidupan kedua...

Dunia dimana aku memiliki semua yang tidak aku miliki disini...

"Pergi ke dunia lain" Ucapku serius, mataku sibuk melihat khayalan tersebut dimana aku memiliki semua hal yang dari dulu kuinginkan.

Seorang ibu..

Seorang ayah..

Seorang kakak...

Seorang adik...

*Suara tertawa*

"Eh?" Sadarku karena suara mendengar suara tertawa tersebut.

"Rupanya kamu memiliki sisi lucu juga ya Faiz, kebanyakan baca novel fantasi ya?" Tanya guru bahasa Indonesiaku sambil tersenyum manis seperti menahan ketawa karena jawabanku yang sedikit aneh itu.

"hehehe, iya." Kataku sambil tersenyum sedikit.

(Kok aku kepikiran menjawab seperti itu ya? terlalu tidak realistis..)

Aku keluar dari ruang guru putri yang seperti ruang interogasi itu dengan senyum yang jarang muncul di wajahku.

Aku mulai berfikir bahwa mungkin, mungkin, jika ada dunia lain seperti yang kufikirkan itu, mungkin aku bisa bahagia berada di dalamnya.

Namun disaat itu aku belum tahu.

Bahwa mimpiku yang kubayangkan disaat itu, akan membawakanku mimpi buruk terbesarku.

Disaat aku kembali ke kelas, guru pelajaran selanjutnya yaitu pelajaran matematika juga datang di waktu yang bersamaan denganku.

Aku menundukkan kepalaku dan masuk ke kelas dengan sedikit terburu-buru.

Seperti biasa, anak-anak yang berusaha untuk saling menjatuhkan di ranking sibuk mencatat dan memperhatikan penjelasan Pak Sudirman sang guru matematika yang tidak pernah memperhatikan murid-muridnya sama sekali, anak-anak yang berusaha mati-matian untuk mengerenkan dirinya dengan ketawa-ketawa dan melipat lengan bajunya agar kelihatan sangar sibuk ngobrol dan membuat berisik.

Pak Sudirman tak mungkin menyuruh mereka diam, yang dipikirkan oleh beliau hanya agar dapat kembali ke ruang guru putra dan menonton film serial-serial yang belum terselesaikan olehnya. Para anak rajin tidak mungkin menyuruh mereka diam, soalnya badan mereka kecil-kecil semua, dan mereka terlalu sibuk memahami apa yang dijelaskan oleh pak Sudirman yang berbicara seperti burung merpati.

Dari awal kelas sampai berakhirnya kelas tersebut, aku hanya memperhatikan pak Sudirman menjelaskan sambil memutar-mutar pena. Setelah kelas selesai, bel sekolah berdering kencang membawa kabar gembira untuk pak Sudirman dan anak-anak yang sok keren yaitu, bel pulang.

Dalam sekejap, ruangan kelas yang barusan saja ada 40 orang didalamnya, hanya bersisa diriku dan barang-baranku. Aku sengaja membiarkan semua orang pergi terlebih dahulu agar aku dapat keluar dari kelas ini dengan tenang tanpa mendengar suara-suara berisik mereka.

Kurapihkan barang-barangku, dan aku berdiri sambil membawa tas hitamku yang sudah menemaniku sejak awal aku masuk SMP. Tas ini adalah hadiah dari guru SDku yang selalu membimbingku di olimpiade-olimpiade dulu.

Melihat lorong sekolahku, semua pikiran-pikiran lain menghilang menjadi satu kalimat.

"Sangat membuang-buang energi." Keluhku melihat lorong yang panjang dan berliku-liku seperti labirin ini.

Setelah jalan panjang di lorong tersebut, aku harus turun 3 lantai karena kelasku yang berada di lantai tiga ini. Melihat semua itu rasa kesalku terhadap SMA semakin menjadi-jadi.

(Andai saja aku bisa ke dunia lain dimana tidak ada SMA)

Rumahku tidaklah dekat namun tidak juga jauh dari sekolah, daripada memesan gojek yang biayanya bisa kupakai untuk makan malam, lebih baik aku berjalan kaki ke rumah.

Mungkin aku memang terlihat labil, namun jalan keluar sekolah dan jalan ke rumah itu 2 hal yang berbeda.

Jalan keluar sekolah membuatku melihat orang-orang yang membuang-buang energinya untuk hal yang tidak bermanfaat seperti duduk di taman sekolah sambil berpegangan dengan perempuan yang kita baru kenal beberapa bulan.

Namun jalan ke rumah membuatku dapat membeli makan malan dengan uang perjalananku dan menabung uang makan malamnya, dan jalan ke rumah memberiku waktu sendiri untuk merenung hal-hal seperti ini.

(Walau rata-rata aku sendiri terus sih)

Melihat jalan jelek yang rusak karena pembuatannya yang kurang berkualitas, menandakan rumah nenekku yang sudah dekat.

Di samping rumah 2 tingkat yang luarnya terdapat banyak kandang yang berisi kucing-kucing yang beragam, terdapat rumah kecil berwarna putih yang jendelanya masih amat bersih karena baru kubersihkan tadi pagi sebelum aku berangkat ke sekolah, rumah nenekku.

Pagar berwarna coklat yang sudah sedikit karatan, kubuka dengan sedikit kencang karena rodanya yang sudah tua pula. Kututup kembali pagar tersebut pula agar nenek tidak marah jika melihatnya ketinggalkan terbuka.

Melihat rak sepatu di samping pintu rumah tersebut tidak ada sendal nenekku menandakan nenekku masih ngobrol seperti biasa dengan tetangga sebelah membicarakan kalau bukan tentang politik, tentang nasib buruk masing-masing.

Aku mengeluarkan kunci rumah serepku yang telah diberikan oleh nenekku agar aku dapat membuka pintu rumah jikalau nenek sedang tidak di rumah.

Setelah masuk ke rumah, aku langsung membuka seragamku dan bergegas mandi. Sesudahku mandi difikiranku hanyalah satu!

Tidur!

Setelah segar-segar mandi dengan air mandi, minum air putih segelas, lalu nyalakan AC dan melentangkan badan di kasur yang berada diantara empuk dan tidak empuk.

"Haaaahhhh" Aku menghela nafas keenakan.

"Ini baru hidup..." Gumamku nikmat.

Sambil membayangkan wujudku di masa depan yang sudah berkecukupan sedang duduk minum kopi dan membaca koran, aku memejamkan mataku sembari tersenyum tak sabar untuk mendatangi masa-masa seperti itu.

(Dunia lain ya...)

Mengingat hal tersebut aku membayangkan aku di dunia lain dimana hidupku memiliki semuanya.

Orangtua, keluarga dekat, sahabat, pacar, dan harta.

Alangkah indahnya jika aku memiliki semua itu.

Sambil fikiranku berimajinasi tentangku mendapatkan takdir yang indah, tuan mimpi mulai menghilangkan kesadaranku dengan perlahan, dan akupun tertidur dengan nyenyak di ranjang kamarku yang berumur sama denganku itu.

Tak pernah terfikirkan dibenakku, bahwa tidur ini akan menjadi tidur terakhirku bersama dengan ranjangku ini.

avataravatar
Next chapter