14 PERGI

Jesika's POV

.

.

.

Tit..

Tit..

Tit..

Hanya suara mesin perekam detak jantung itu yang kudengar. Aku bersyukur, setidaknya suaranya tidak mendengungkan telinga. Jantung Jaerk masih berdetak.

Dengan perban yang melilit kepala bagian atasku dan tubuhku yang terduduk di kursi roda, aku menatap Jaerk yang masih belum sadarkan diri. Menggenggam tangannya. Menitikkan air mata di depannya. Hal yang Jaerk tidak pernah suka, namun aku sudah melakukannya tiga kali.

"Bangun, Jae...," panggilku lirih. Jaerk tidak bergeming, namun dadanya kempas kempis. Aku tersenyum tipis dan semakin mengeratkan genggamanku.

Sungguh, aku sangat merindukannya. Sudah satu minggu tubuhnya terbaring dengan selang infus di tangan kanan dan hidungnya, serta perban yang melilit kepala dan kakinya.

Dokter mengatakan bahwa keadaan fisik Jaerk baik-baik saja, hanya saja butuh pemulihan yang sangat lama. Benturan keras di kepalanya tidak memperparah keadaan Jaerk. Syukurlah.

Baru saja kami bertemu. Berkencan yang sebenarnya. Bersenang-senang berdua. Tetapi, semua dihancurkan oleh keadaan ini. Jaerk sudah melambatkan laju motornya, dan sepertinya tidak ada mobil yang berada di hadapannya waktu ia melajukan motornya dengan kencang.

Chessa pun hanya bisa memelukku, menenangkan hatiku yang terasa sangat perih melihat keadaan Jaerk. Entah mengapa, aku tidak menerima kenyataan ini. Aku baru saja bertemu dengannya, oh Tuhan!

Aku menautkan jari-jariku ke jari tangan kanan Jaerk, sementara benang merah yang melilit kelingkingku terasa seperti menarikku menjauh darinya. Aku tidak menghiraukannya. Jaerk juga tidak bergeming.

"Syukurlah, Jae, kamu tidak tahu soal benang merah ini. Aku takut akan menyakiti hatimu, Jae.. Aku takut kehilanganmu..," bisikku sambil menatap Jaerk dalam.

"Aku tidak mau lagi kehilangan, Jae. Tolong bangun, jangan tinggalkan aku."

Jaerk tetap terdiam dan tidak meresponku.

Aku mengeratkan genggamanku lagi, berharap ada secercah harapan. Jaerk punya Jesika akan bangun dan kita akan bersama lagi. Mari, hadapi dunia yang kejam ini setelah bangun!

"Ayo, Jaerk! Kita hadapi dunia yang kejam ini bersama-sama. Aku akan memberitahumu soal ini dan kita akan mencegah itu terjadi. Kamu milikku, aku milikmu."

...

Tit...

...

Tit...

...

Tes!

Tit..

Tit...

...

Ia benar-benar tidak bisa merespon. Air mataku tak kuasa untuk tertahan. Ia mengalir deras bersamaan dengan rasa rinduku. Aku meronta ketika Chessa memelukku dan membawaku keluar ruangan.

"Kamu capek, Jes. Kamu harus istira—"

Aku membantah dan berusaha lepas dari pelukannya. "ENGGAK, CHESS! JAERK GUE! JAERK PUNYA GUE BELUM BANGUN JUGA!" Aku berusaha kabur dari Chessa, namun Chessa kembali mengunci badanku di dalam genggamannya.

"Aku antar kamu pulang yuk, Jes."

"ENGGAK! GAK ADA YANG NUNGGUIN JAERK, CHESS!!! GIMANA KALAU JAERK BANGUN, HA?! GIMANA KALAU JAERK NYARIIN GUE?!" Dengan terbata-bata, aku berteriak.

Chessa pun melepaskan genggamannya. Tubuhku tergeletak di atas lantai, tidak kuasa untuk berdiri. Hanya tangis bercampur marah yang bisa aku keluarkan.

Di tengah malam yang sunyi, berharap rasa sedihku membawa Jaerk bangun...

.

.

.

***

.

.

.

Satu hari,

Dua hari,

Lima hari,

Dua minggu,

Satu bulan,

Tidak ada juga perkembangan dari Jaerk. Dokter selalu menggeleng waktu aku bertanya apakah Jaerk sudah membaik. Selama apa lagi aku harus menunggu Jaerk membuka matanya?!

Air mataku terus mengalir ketika melihat Jaerk masih saja terbaring tidak berdaya. Astaga, sudah dua bulan, Jaerk. Apakah badanmu tidak pegal? Apakah kamu tidak rindu pelukanku? Kamu tidak ingin berkencan yang sebenarnya?!

Aku terus menatapnya hingga air mataku berhenti mengalir karena lelah. Chessa kembali datang dan memelukku. Setidaknya, ia meringankan rasa rinduku. Pelukannya terasa hangat seperti pelukan cowo menyebalkan itu.

Aku benar-benar menyesal telah membencinya dahulu. Tatapannya memang berbeda waktu itu, walaupun ia menamparku. Aku baru menyadari bahwa lelaki itu hanya melindungi Rania dari perempuan tidak punya hati sepertiku. Sampai kehilangan Janno menyadarkanku akan perbuatan itu. Perbuatan yang sebenarnya sepele, namun dapat menghancurkan seseorang, seperti pisau kecil yang memiliki mata pisau tajam dan membuatku menemukan tempat persinggahan yang tidak bisa merelakanku untuk pergi meninggalkannya.

Chessa melepaskan pelukanku dan terus menghela napas. Aku mengernyit ketika wajah Chessa memancarkan kepanikan.

"Sudah satu bulan Jaerk tidak bangun juga, Jes." Chessa mengangkat tangan kiriku, memperlihatkan benang merah yang sudah lama tidak kupedulikan walaupun sedikit mengangguku.

"Aku khawatir, Jes. Perasaanku tidak enak sekarang." Chessa semakin mengeratkan genggamannya. Aku menghela napas. Lelah sekali selalu mendengar ucapan Chessa mengenai perasaannya, tetapi tidak ada yang terjadi.

Aku pun melepaskan tanganku dari genggamannya dan bangkit berdiri. "Sudahlah, Chess. Aku capek tahu gak. Kenapa sih setiap kali ngomongnya perasaan gak enak terus tapi gak ada yang kejadian? Kamu ngebuat aku makin banyak pikiran, Chess."

Aku pun berjalan melewati Chessa menuju pintu keluar. Ia tidak bergeming. Aku kembali menolehnya sekilas. "Asal kamu tahu, ketakutanku sekarang lebih besar daripada ketakutanmu." Lalu, berjalan pergi meninggalkan Chessa.

.

.

.

***

.

.

.

Setelah hari itu, Chessa tidak lagi datang mengunjungi Jaerk. Aku juga sudah mencoba meneleponnya, namun ponselnya tidak aktif. Hingga satu minggu kemudian, Chessa tidak menunjukkan batang hidungnya.

Aku merasa kesepian. Apa lagi dengan keadaan Jaerk yang semakin parah, tidak ada yang menenangkanku. Walau di sisi lain, Chessa hanya memperberat bebanku dengan pikirannya.

Apakah yang Chessa rasakan itu, adalah soal keadaan Jaerk?

Deg!

Aku reflek menoleh ke belakang. Badanku reflek berdiri melihat Kakek Govard dan Chessa datang ke kamarku. Aku langsung memeluk Chessa. "Maaf, soal kata-kataku kemarin, Che—"

"Kamu harus dengar kata-kataku kali ini, Jes. Aku serius dengan itu. Biarkan kakek yang akan membicarakannya."

Suasana menjadi begitu menakutkan saat itu. Tidak ada lagi pengharum ruangan menyegarkan seperti di rumah kakek yang membuatku nyaman. Aku melepaskan pelukan dan memandang Kakek Govard. Menyeramkan.

Aku mengernyit. "A..ada apa sebenarnya?"

"Kakek sudah bisa melihat benang merah kamu itu, tetapi tidak dengan pasanganmu dan alasan mengapa kamu bisa melihatnya," ujar kakek, menjelaskan. Aku hanya terdiam dan menyimak.

Kakek Govard menghela napas. "Tetapi, kakek memang melihat bahwa benang merah itu adalah alasan mengapa Jaerk tidak bangun hingga sekarang, Jes."

Deg!

Benang merah itu...

Astaga, aku melupakannya!

Benang merah itu saja bisa membuatku pingsan. Tetapi, apakah ia bisa bertindak sejauh itu? Apakah ini benar-benar kekuatan Tuhan?

Chessa menimpal, "Maafkan aku, Jes. Kami berdua berusaha mengatasi ini, namun tidak ada jawabannya. Ini adalah kejadian langka, Jes. Apa tidak sebaiknya kamu coba menjauh dari Jaerk untuk sementara?"

Deg!

Deg!

Satu-satunya solusi yang terselip dari sekian penolakan atas solusi itu. Menjauh dari Jaerk.

Kakek Govard dan Chessa hanya menatapku nanar. Jantungku rasanya ingin meledak. Tubuhku terasa lemas. Air mataku tak kuasa untuk kembali mengalir.

Aku menggenggam tangan Jaerk erat. Tetesan air mataku berhasil jatuh ke tangan kanannya. Aku mengecup tangannya sebentar. "Jae, ma..maafkan aku... Aku ha..harus me..mening...meninggalkan kamu."

Bagaikan lem, aku tidak bisa melepaskan tangannya. Tangannya seakan menggenggamku erat. Melarangku melakukannya. Ya Tuhan, mengapa hidupku menjadi sulit seperti ini?

Aku berusaha dengan pelan melepaskan genggaman itu. Genggaman hangat milik Jaerk, pria yang amat kucintai. Satu-satunya alasanku untuk bertahan bahagia...

Satu-satunya alasanku untuk tersenyum walaupun beban hidup menerpa.

Hanya Jaerk.

Jaerk Radish Saputra...

"Maafkan aku, Jae.. Sampai ketemu lagi... nanti." Dengan air mata yang mengalir deras, aku pun melepaskan tangannya yang hampir melemah itu. Aku melirik wajahnya sekilas. Air matanya mengalir!

Apakah Jaerk menyadari semuanya?

Chessa dan Kakek Govard pun menarik tanganku untuk keluar dari ruangan kamar Jaerk. Meninggalkan Jaerk yang lemah tidak berdaya....

yang membutuhkan hanya diriku di sisinya.

.

.

.

avataravatar
Next chapter