21 MENCARINYA

Satu minggu kemudian,

Jesika sudah keluar dari rumah sakit, karena keadaannya yang semakin membaik. Jesika sering murung. Ia merasa bahwa ada sebagian darinya yang diambil, entah oleh siapa. Ketika Jesika mencoba memejamkan mata, yang ada hanyalah nama Janno. Jesika bukan amnesia, tentu ia mengingat semua kenangannya bersama Jaerk. Jesika memutuskan untuk berhenti menemui Jaerk sejenak, agar tidak menyakiti hatinya.

Setelah tabrakan itu, hati Jesika berubah. Ia sangat mudah gundah gulana dan menangis. Jesika sudah berkali-kali mencoba melupakan nama Janno dan memulai semuanya kembali, namun entah mengapa nama itu malah semakin merasukinya. Nama Janno sudah terikat di hatinya.

Ibunya selalu berkunjung ke kamarnya, menghibur gadis kecilnya itu.

"Kenapa kamu mengabaikan Jaerk, nak? Apa yang membuatmu seperti ini?" , tanya Ibu Jesika begitu khawatir. Jesika hanya menggeleng dan air matanya kembali menetes.

Ibunya semakin bingung dengan tingkah Jesika yang baginya sungguh aneh. Biasanya, Jesika adalah anak yang ceria dan selalu menceritakan tentang masalahnya.

Sang Ibu memutuskan untuk memeluk Jesika, membiarkan anak perempuan kesayangannya tenang di pelukannya.

.

.

.

***

Jesika's POV

.

.

.

Janno. Mengapa aku selalu mengingat nama itu? Mengapa aku merindukannya? Aku bahkan tidak tahu siapa dia, mungkin tidak pernah bertemu.

Aku hanya merasa hilang. Pelukan Ibu maupun Jaerk yang biasanya menenangkanku kini tidak mempan. Aku hanya butuh seseorang muncul. Janno.

Tetapi, siapakah Janno?

Berhari-hari aku mencarinya di semua akun social media yang kupunya. Banyak yang bernama Janno, namun hatiku berkata bahwa bukan merekalah orangnya.

Aku juga telah mencoba mengingat apa yang telah aku lakukan dengannya dari kecil hingga sekarang. Nihil. Aku tidak pernah dekat dengan pria yang bernama Janno. Air mataku menetes tiba-tiba. Dadaku terasa sesak ketika sedang mencoba mengingatnya, seperti ada sesuatu yang menyakitkan di antara kami...

Tok..

Tok..

Tok..

Kriieeeeetttt....

Aku langsung melirik ke arah pintu dan sudah kuduga siapa yang datang. Jaerk.

Jaerk menghampiriku dan memelukku begitu erat. Sungguh, aku merindukannya. Ia benar-benar menuruti permintaanku untuk tidak mengunjungiku sampai aku mengabarinya, namun sekarang ia melanggarnya...

"Sudah ngambeknya?", tanyanya pelan.

Aku mengangguk. "Aku memang tidak pernah ngambek sama kamu, Jae."

"Terus kenapa kamu jauhin aku? Kenapa kamu menunda pernikahan kita?"

Deg!

Hatiku berdesir. Haruskah aku mengatakan kepadanya soal pikiranku yang terus mengarah ke Janno lagi? Jaerk benar-benar sudah muak. Ia menganggap bahwa aku sedang menyesuaikan otak dengan keadaan sebenarnya pasca koma. Namun, itu adalah hal yang tidak logis.

Sampai badanku sehat seperti ini, mengapa aku masih mengingat pria yang bahkan tidak pernah kuketahui keberadaannya di muka bumi ini?

Jaerk melepaskan pelukannya dan menatapku serius. "Jawab aku, Jes. Kamu masih mengingat pria yang jelas-jelas tidak pernah kamu temui itu?"

Aku terdiam. Aku bingung harus mengatakan apa kepadanya. Aku masih mencintaimu, Jae. Namun, aku harus menemukan Janno sebelum pernikahan kita dimulai. Kejanggalan akan terus menghantuiku jika aku tidak mencarinya...

"Aku ingin mencarinya, Jae. Kamu mau jika kita menikah, namun aku memikirkan pria yang tiba-tiba saja namanya terlintas di pikiranku?"

Jaerk menggenggam tanganku. "Kita bisa mencarinya setelah menikah, Jes."

"Tidak, Jae. Aku merasa akan bersalah kepadamu jika aku lebih memikirkan pria lain di masa-masa pernikahan nanti," ucapku membujuknya.

Jaerk menghela napas. "Ya sudah, itu tandanya kamu tidak perlu memikirkannya lagi."

Aku menggeleng dan menatapnya penuh harap. "Jaerk, aku mohon mengertilah sedikit. Setelah aku bertemu dengannya, aku tidak akan memikirkannya lagi."

Jaerk terdiam sejenak dan mengalihkan pandangannya. Jaerk memang sangat takut untuk kehilangan diriku, dan aku pun begitu. Tetapi Janno... Ah, siapa sih pria itu?!

Jaerk mendengus. "Apa kamu berjanji? Siapa tahu Janno lebih tampan dari aku sehingga kamu meninggalkanku,"

Aku mengecup pipinya. "Tidak janji!" Aku langsung melangkah pergi meninggalkan Jaerk yang terdiam. Ah, mungkin saja ia salah tingkah karena tidak pernah kucium selama berbulan-bulan.

.

.

.

.

***

Author's POV

.

.

.

"No, gue izin pulang lebih pagi, ya," ucap Rossy kepada seorang pria yang sedang sibuk mengetik di laptopnya. Pria yang menggunakan kemeja biru donker dengan lengan panjang yang ditekuk hingga sikunya, bermata elang dan bibir tebal tidak menanggapi ucapan Rossy, bawahannya.

Rossy menghela napas dan tersenyum lebih ramah. "Pak Devano, bolehkah saya izin pulang sekarang?"

Pria itu mendongakkan kepalanya dan mengernyitkan dahi. "Gak perlu formal begitu, Ros. Memangnya ada apa?"

Rossy kembali menghela napas dan memutar bola matanya. Terkadang, atasannya ini memang suka bolot, membuat mood Rossy turun dan harus meminta izin untuk istirahat duluan agar bisa bertemu dengan sang kekasih. Namun, sekarang bukan karena itu...

"Saya ingin pulang duluan, Pak. Bapak bolot ya?"

Pria bermata elang itu langsung menutup layar laptopnya kasar. "Saya tanya apa alasan kamu ingin pulang lebih pagi, Rossy?!"

Rossy menepuk dahinya. Ia salah paham dengan pertanyaan atasannya. Rossy pun memamerkan rentetan giginya dan menundukkan kepalanya berkali-kali. "Maaf, No, gue ngira.."

"Kenapa, Ros? Ngomong aja sih mau ngapain? Gue gak akan larang kalau mau ketemu paca—"

"Bukan, No! Sumpah nih, gue harus cepetan."

Devano mengerutkan alis. "Iya, kenapa, Ros?"

"Sahabat gue yang koma berbulan-bulan udah sadar, No! Gue harus cepet nemuin dia!"

Deg!

Entah mengapa, perasaan Devano menjadi sedikit lega. Entah apa yang dipikirkannya.

"Siapa, Ros?"

"Lu gak akan kenal, Devan."

Devano mendengus. "Sebut saja namanya, Ros."

Rossy tersenyum. "Jesika. Lo kenal?"

Deg!

Deg!

Devano terdiam. Ia menelan ludahnya. Nama Jesika sungguh membekas di hatinya. Banyak Jesika yang ia kenal, namun tidak satu pun dari mereka orangnya. Seseorang yang sama sekali belum Devano kenal...

Rossy menatap penuh harap. "No, gimana? Gue boleh pulang duluan kan?"

"Boleh gue ikut jenguk?"

Deg!

Rossy membelalakan matanya. Ia tidak menyangka bahwa Devano, sang pria tampan nan dingin bisa mempunyai hati besar untuk menjenguk orang yang sama sekali tidak atasannya itu kenal.

"Gimana, Ros? Cepat putuskan, sebelum dia kelu—"

Rossy langsung menarik tangan Devano. "Ayo, sebelum Jesika keluar!"

Devano pun langsung memasrahkan diri tangannya ditarik oleh bawahan yang super menyebalkan, agar hatinya bisa tenang. Devano memutuskan untuk mengendarai mobilnya, membawa Rossy ke rumah sakit dimana Jesika dirawat.

Devano melajukan mobilnya dengan kencang. Jantung Rossy mendadak hampir copot ketika Devano hampir menabrak sepeda motor yang juga sedang melaju cepat.

"Astaga, No! Gak perlu ngebut begitu. Jesika kalau pergi juga gak jauh-jauh. Kita masih bisa ketemu dia di rumahnya, atau di kantornya, atau di tempat calon suaminya," jelas Rossy sambil menepuk lengan Devano. Devano tidak menanggapi perkataan Rossy dan kembali mengendarai mobilnya dengan cepat.

Sepuluh menit mengendarai, akhirnya Devano dan Rossy sampai di rumah sakit itu. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman khusus parkir, Devano langsung menarik Rossy dan melangkah cepat menuju ke dalam.

"Lo tahu ruang berapa, Ros?"

Rossy langsung memimpin jalan dan menarik tangan Devano ke tujuannya. Rossy pun berhenti di sebuah ruangan yang terlihat gelap dan tak berpenghuni.

Devano melirik ke dalam. "Mana orangnya, Ros? Lo salah orang gak?"

Rossy ikut melirik ke dalam dan menggeleng. "Gue gak salah ruangan, No." Rossy menghela napas dan mengerucutkan bibir. "Sepertinya si Jesika beneran sudah keluar rumah sakit, deh."

Devano menarik napas panjang dan menatap tajam Rossy. Rossy mengernyitkan dahi. "Kok lo yang sebel sih, No? Kan harusnya gue, sahabat dia, yang sebel!"

Devano melirik tas Rossy. "Telepon dia coba."

Rossy membelalakan mata dan mengerutkan alisnya. "Lo gila, No! Kenapa harus gue telepon sekarang?"

"Cari tahu dia dimana, Ros."

"Lah, kenapa lo yang ngatur gue? Kenapa lo yang ngebet? Emang lo tahu dia orangnya yang mana?"

"Lo gak mau ketemu dia sekarang?"

Rossy menatap Devano tajam. "Gak buat lo! Dasar aneh!" Rossy pun berjalan meninggalkan Devano yang berdiri mematung. Devano menelan ludahnya. Kini, ia teringat nama panjang wanita itu. Jesika Irawan.

Devano melirik Rossy yang sudah berjalan menjauh dan mencibir, "Gue gak perlu ikut lo lagi. Dasar karyawan gak tahu diuntung!"

.

.

.

***

.

.

.

Burung-burung mulai bernyanyi dan beterbangan kembali ke rumahnya. Jesika langsung memeluk Rossy—sahabat yang sudah sangat lama tidak ia temui. Sejak Jesika berpacaran dengan Jaerk, entah mengapa hubungan mereka merenggang. Rossy bahkan baru menerima kabar soal keadaan Jesika tadi pagi.

"Sudah lama gak ketemu, astaga! Jes kangen banget sama Osy!"

Rossy mencubit kedua pipi Jesika. "Apa lagi Osy? Gimana hubungan kamu sama Jaerk? Oh ya, kapan jadi nikahnya nih?"

Jesika mengerucutkan bibirnya. Semua orang menanyakan hal yang sama kepadanya. Hati Jesika langsung terasa janggal.

Jesika pun mengangkat bahunya. "Gak tahu, Sy. Jes bingung nih, Sy!"

"Kenapa? Bingung kenapa sayang?" , tanya Osy khawatir.

Kamar tidur Jesika yang semula terasa sejuk menjadi terasa begitu dingin karena malam telah tiba.

Jesika menghela napas panjang dan menatap Osy penuh harap. "Kamu kenal pria yang namanya Janno?" Jesika menatap Osy hati-hati, karena takut akan respon Rossy terhadap pertanyaannya.

Rossy mengernyitkan dahi. "Janno? Siapa itu? Aku gak pernah dengar nama Janno seumur hidupku, Jes."

"Kamu yakin?" , tanya Jesika sambil menatap penuh harap.

Rossy pun terdiam. Matanya beredar kemana-mana, berusaha mengingat nama Janno.

Satu menit...

Lima menit...

"Udah, Sy, gak usah dipikirin. Semua orang yang aku tanyain pun gak tahu siapa Janno," ucap Jesika, menghentikan lamunan Rossy.

Rossy menghela napas dan memegang kedua pundak Jesika. "Sejak kapan kamu kepikiran nama itu?"

"Aku mendapat mimpi aneh saat koma, Sy. Tetapi, yang cuma aku ingat itu Janno. Dia nyata banget, Sy. Semakin aku lupakan, semakin aku ingat terus," jelas Jesika dengan lirih. Air matanya tiba-tiba menetes, seperti ada yang menyakitkan di sana... entah dimana itu.

Rossy tersentak. Ia langsung merengkuh badan mungil Jesika. "Astaga, kamu gak pernah nangis, Jes! Mimpinya pasti gawat banget yah. Aku saranin kamu beneran lupain aja deh, Jes."

Jesika menggeleng di pelukannya. Isak tangisnya semakin kencang. "Sudah aku coba, tapi gak ada hasilnya, Sy. Janno semakin membenam di pikiranku. Aku penasaran, Sy! Aku benar-benar..." Napas Jesika tercekat, membuatnya menggantung kata-katanya. Rossy semakin mengeratkan pelukannya. Rossy tidak tahu apa yang terjadi kepada sahabatnya.

"Aku butuh pengertian, Sy. Aku butuh Janno sekarang! Balikin Janno!" , seru Jesika sambil meronta-ronta di pelukan Rossy. Rossy terus mengeratkan pelukannya. Ini ada yang tidak beres. Rossy harus benar-benar membantu Jesika menyelesaikan semua ini.

"Kenapa Janno menghilang, Sy? Kenapa Janno gak berusaha menemui aku? Kenapa..." , gumam Jesika dengan sesegukkan. Rossy tidak mengerti harus melakukan apa. Ini seperti bukan Jesika...

Rossy pun hanya bisa memeluk Jesika, membiarkan Jesika bergumam hingga puas. Rossy harus bisa menemukan Janno secepatnya, entah di belahan bumi mana.

.

.

.

***

.

.

.

Jam satu pagi.

Mata Devano masih terjaga. Nama panjang Jesika Irawan tertera di depan matanya dengan berbagai macam foto profil dan tempat lahir. Tidak ada yang menarik di hatinya. Jari telunjuknya terus menggerakan mousenya hingga ke ujung, memeriksa satu per satu "Jesika Irawan".

Nihil.

Devano menghela napas. Ia memejamkan mata sebentar.

Jesika Irawan...

Jesika Irawan . . .

Jan.. Janno.

Deg!

Mata Devano langsung terbuka. Rasa lelahnya hilang seketika. Janno? Siapa itu? Mengapa kedengarannya seperti nama pria... Lalu apa hubungannya dengan Jesika?

.

.

.

Di sisi lain pada jam yang sama,

Air mata Jesika tiada hentinya mengalir. Pikirannya dipenuhi oleh bagaimana caranya menemukan Janno. Mengapa ia tidak bisa menghilangkan sedikit saja Janno dari pikirannya.

Jesika pun menghela napas, menyeka air matanya, dan mencoba memejamkan mata.

Bukannya beristirahat, pikirannya masih berusaha mengingat apa yang ada di dalam mimpi anehnya itu. Mimpi yang sungguh menyakitkan namun melegakan di saat yang sama.

Entah apa benar itu mimpi atau bukan, Jesika hanya ingin menemukan titik terang dari ingatannya.

Janno...

Janno...

Janno Chaesar...

Je..Jesika..

Deg!

Jesika langsung membuka matanya. Napasnya tercekat. Mengapa bisa ada namanya di dalam ingatannya? Apakah salah? Tetapi mengapa bersamaan dengan nama Janno?

avataravatar
Next chapter