5 KEJUTAN PERTAMA

Seminggu kemudian...

Chessa terbangun dari tidurnya. Benang merah itu benar-benar merasuki mimpinya belakangan ini. Merusak mimpi indahnya. Ia menghela napas dan berusaha untuk melupakan semua ini.

Sementara...

Mata Jesika membulat ketika sebuah benang merah melilit kelingkingnya dan menghubungkannya ke depan pintu kamar. Jesika menelan ludahnya, lalu segera beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar untuk memastikan siapa yang berbuat ini kepadanya.

Tidak ada siapapun. Jesika mengernyitkan dahinya. Ia begitu bingung dengan keadaan ini. Jesika melirik benang merah yang membentang panjang hingga ke arah pintu keluar. Dengan penasaran, ia menyentuhnya. Ini adalah benang merah biasa.

"Siapa yang melakukan ini kepadaku?" gumam Jesika kepada dirinya sendiri. Jesika penasaran apakah dengan berjalan menjauh, benang ini akan menariknya kembali. Ia pun melangkahkan kakinya kembali ke kamar.

Tidak ada rasa apapun. Ia bebas berjalan kemana saja tanpa terkekang, seperti biasanya. Jesika kembali keluar kamar, lalu mencoba mengecek keluar rumah.

Deg! Benang itu membentang sangat panjang hingga matanya tidak dapat menggapai ujung benang tersebut. Ia berjinjit, berharap ada secercah penglihatan yang membuatnya mengetahui siapa yang melakukan ini. Nihil.

Jesika mendecakkan lidah, lalu berteriak,

"SEBENARNYA INI BENANG APA DAN SIAPA YANG MELAKUKANNYA KEPADAKU?!"

.

.

.

***

.

.

.

Jesika melangkahkan kaki dengan was-was masuk ke kelas. Benang itu tidak ada habis-habisnya berada di depan mata Jesika. Ketika Jesika melangkah ke dalam kelas, benang itu kembali mengikuti menerobos tubuh murid-murid yang lain. Anehnya, mereka tidak merasa menabrak sesuatu. Mereka dengan tenangnya melewati tubuh Jesika.

Ketika ia sampai ke tempat duduk, kepalanya mendadak pusing. Baru saja ia berusaha menerima kenyataan bahwa orang yang disukainya menyukai sahabatnya, lalu kejadian aneh ini datang.

Tingggg! Bel pun berbunyi. Jesika menghela napasnya. Tidak ada satu pun murid yang menyadari benang merah yang membentang begitu panjang. Jesika pun membenamkan wajahnya di meja, walaupun Bu Rani, guru Sosiologi yang paling cantik itu sudah masuk ke dalam kelas.

Ini akan menjadi hari yang paling melelahkan.

.

.

***

.

.

Sendiri.

Angin berhembus pelan membelai rambut panjang mengembang milik Jesika. Jesika menarik napas dalam-dalam, berusaha menyerap seluruh energi baik yang diberikan oleh taman belakang sekolah. Taman yang asri; memiliki banyak pepohonan dan semak-semak. Tidak ada yang mengetahui keberadaan taman yang menenangkan ini selain guru, dirinya, dan juga...

Ah! Tidak perlu diingat lagi, batinnya.

Mata Jesika terus menatap benang merah yang melilit kelingkingnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tali benang ini sama sekali tidak putus walaupun ia sudah pergi ke sekolah yang jaraknya ratusan meter dari rumahnya?

Tangan kanan Jesika pun meraih benang merah dan matanya menerawang sehelai benang tipis tersebut. Apakah ini asli? Apakah ini hanya khayalanku saja? Jesika langsung mengerjapkan matanya berkali-kali. Nihil. Benang itu tetap pada tempatnya.

Ting! Sebuah ide terbesit di pikirannya. Jesika memutuskan untuk menarik benang yang membentang tersebut, siapa tahu oknum yang melakukan ini bisa tertangkap.

Hiaaaat! Jesika pun berdiri dan tangan kanannya menarik benang itu agar mendekat kepadanya. Berat. Tiba-tiba, telapak tangannya merasakan panas yang amat. Ia pun reflek melepaskan benang tersebut dan terhempas ke rerumputan kecil dan hijau itu.

Jesika merasakan energi tubuhnya telah terserap oleh benang merah yang masih mempersempit ruang geraknya. Jesika benar-benar terkejut. Benang tersebut bukan sembarang benang. Ia mempunyai kekuatan besar... yang seperti apa?

Dadanya terasa sesak ketika memikirkan semua ini. Kepalanya yang pusing seakan meledakkan dirinya sendiri. Seketika, penglihatannya kabur. Badannya melemas, membuatnya kembali terhempas. Perlahan semuanya menjadi gelap.

.

.

***

.

.

Jesika's POV

.

.

Dadaku masih terasa sakit. Aku mencoba membuka mataku perlahan. Chessa, sahabat baikku sejak sekolah menengah pertama muncul di hadapanku dengan wajah paniknya.

Aku mengernyit menyadari benang merah yang sudah tidak lagi melilit kelingkingku. Aku segera bangkit duduk, mencari jejak benang merah tersebut. Masa aku bisa menyentuhnya tapi tidak ada jejak dimana pun?

"Ya ampun, Jes! Tiduran aja, jangan pecicilan dulu!"

Aku tidak menurutinya. "Gue lagi mencari sesuatu..."

"Cari apaan? Tenang aja, nyawa lu gak setengah-setengah. Dia masih bersatu."

"Bukan itu, bukan."

Oh iya! Apakah aku harus memberitahunya kejadian aneh yang membuatku terbaring disini? Apakah Chessa sekarang bisa melihat benang merah itu?

"Kamu nyari apa, Jes? Kamu buat aku penasaran sekarang."

Aku pun berhenti mencarinya. Benang itu memang tidak meninggalkan jejak. Aku berusaha untuk menenangkan diri dengan menghela napas dan tidak berbicara apapun. Huh, lebih baik Chessa jangan tahu dulu.

Chessa menggoyang-goyangkan badanku. "Jangan bengong nanti kemasukan aku gak bisa nolongin! Jes!"

Aku menepis tangannya. "Apaan sih, Ches? Berlebihan banget deh. Gue gak bengong."

"Terus?"

"Enggak. Gue cuma..."

Chessa memandangku tajam. "Gak usah bohongin aku deh! Lu pasti lagi kepikiran yang aneh-aneh kan makanya bisa pingsan?"

"Astaga, Ches. Lu pikir gue punya jantung lemah?"

Chessa memutar bola matanya. "Ya kali aja, Jes. Aku mana tahu keadaan badan kamu yang sebenarnya.

Aku terkekeh lalu memeluk Chessa. Sudah lama tidak bertemu dengannya karena pekerjaan sekolah yang membeludak. "Iya, iya. Chessa paling bener dah. Paling pol dan bikin Jesika sayang!" Aku mengeratkan pelukannya.

Chessa pun meronta. "Udah, Jes. Jijik, ih!"

Aku tidak melakukannya. Aku hanya tertawa kencang dan semakin mengeratkan pelukan hingga Chessa merasa sesak.

.

.

***

.

.

Setelah pingsanku untuk yang pertama kali itu, tidak ada lagi kejadian aneh yang menghampiriku. Hidupku sudah kembali normal. Keesokan harinya, aku sudah bisa bergaul dengan teman-teman kelasku. Kelas XI IPS 3.

Mereka satu per satu mempertanyakan tentang keadaanku pada jam istirahat.

"Lu kenapa jadi menyendiri sih, Jes?"

"Galau ya tahu Janno sudah suka sama Reva?"

"Wah, sepertinya gitu deh," gumam Gracia, Cindy, dan Rani bersamaan.

Aku menggeleng. "Jangan sok tahu deh kalian ini. Ngapain galauin mereka? Kalau memang mereka berdua, toh memang jalannya sudah begitu."

Tiba-tiba, Chessa pun menghampiri diriku, Rini, Gracia, dan Cindy.

"Chessa bukannya galauin Janno, teman-teman. Dia galauin barang yang kemarin hilang pas pingsan."

Mataku membelalak. Aduh, mengapa Chessa memberitahu mereka kalau aku pingsan? Sudah tahu ketiga anak itu comel, mereka bisa berpikir yang tidak-tidak.

"Jesika pingsan?!" teriak Cindy dengan penuh rasa terkejut. Semua pasang mata mengarah kepadaku. Sudah pasti hari ini adalah akhir hidupku..

Chessa membekap mulutnya, melirikku dengan takut-takut. Aku terdiam membeku.

Teriakan maut Cindy telah berkumandang menandakan bahwa brita gosip akan segera menyebar melalui mulut ke mulut, media sosial sekolah, bahkan hingga pamflet!

Memang habis sudah jika seseorang saling menyukai dan tidak dibalas di sekolah ini. Akan digoda, dicemooh, diledek, dan sebagainya.

Kalau kemarin aku yang suka melakukannya... sekarang semuanya akan melakukan itu kepadaku.

Hidup memang selucu itu.

.

.

.

avataravatar
Next chapter