15 KEJUTAN KEDUA

Dua minggu kemudian,

Jaerk sudah kembali ke sekolah dengan perban yang masih melilit kepalanya. Ia lebih banyak diam dari sebelumnya. Jesika sudah tidak lagi mempedulikannya dan hanya berdiam diri di kelas.

Jaerk sudah berusaha untuk menghubungi Jesika, tetapi nihil. Jesika tidak mengangkat teleponnya sambil mengatur napasnya yang mulai tercekat. Ia sangat merindukan prianya itu.

Semua orang curiga dengan hubungan Jesika dan Jaerk. Apakah mereka sudah berpisah? Atau kah mereka berselisih paham?

Tidak mungkin! Mereka tidak pernah berselisih paham, karena pikiran mereka selalu sama. Sama-sama tegas, penasaran dengan kehidupan orang lain... dan saling mencintai.

Jaerk sering mengintip Jesika dari luar kelas diam-diam. Ia tidak tahu lagi cara untuk mendekati gadis itu. Harapan seperti sudah sirna baginya.

Jaerk terus berpikir dan mengutuk dirinya sendiri. Apa salahnya? Apakah setelah berlama-lama Jaerk tidak sadarkan diri, Jesika telah melupakannya?

Napas Jaerk tercekat ketika tatapannya bertemu dengan Jesika. Jesika hendak membuang sampah di luar kelas. Jesika mematung menatap pria malang di hadapannya. Pria yang amat ia cintai... yang bukan jodohnya...

Jaerk menahan tangan Jesika. "Jes, lo kenapa sih?! Kenapa lo beg—"

Jesika melepaskan genggamannya dengan kasar. "Sudahlah, Jae. Gue butuh waktu sendiri." Jesika berusaha menahan air matanya. Hatinya teriris perlahan-lahan melihat Jaerk yang menatapnya begitu nanar. Air mata Jaerk mengalir... untuk pertama kalinya. Hanya untuk Jesika.

Jesika menarik napas panjang dan air matanya ikut mengalir. Dengan kakinya yang berat untuk melangkah, ia pergi dari hadapan Jaerk. Dari luar, Chessa menatap mereka nanar dan berlalu pergi ke kelasnya. Terselip rasa bersalah di hatinya, mengapa ia tidak bisa melakukan apapun.

Jaerk menelan ludahnya dan menahan sesegukannya dan pergi berlalu dari kelas Jesika menuju toilet.

"Mengapa kau melakukan ini kepadaku, Jes? Aku mencintaimu, aku tidak bisa melupakan—"

Deg!

Jaerk menghentikan langkahnya. Mata Jaerk membesar. Air matanya berhenti mengalir. Seorang pria yang sangat ia benci berada di hadapannya. Pria yang telah menghalangi langkahnya untuk mendekati Jesika dan juga telah meninggalkan Jesika.

Janno Chaesar Wijaya.

Janno tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya. "Selamat atas hubunganmu dengan Jesika, Jae. Tolong jaga sahabatku itu baik-baik. Aku tahu kamu baik untuknya."

Jaerk mematung. Rasanya begitu berat untuk menghembuskan napas. Mengapa Janno harus kembali menghancurkan segalanya?! Apakah ini adalah alasan Jesika?

.

.

.

Jesika's POV

.

Aku tidak benar-benar kembali ke tempat dudukku. Aku mengintipnya dari sela-sela pintu kelasku. Jam kosong telah tiba, dimana Bu Rossa sudah memberitahu bahwa ia tidak akan masuk kelas. Hatiku terasa nyeri. Bayangan wajah tampan Jaerk mengusik pikiranku, membuatku tidak bisa konsentrasi.

Semua penghuni kelas bergantian menanyakan kepadaku apa yang terjadi. Aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala dan kalimat, "Kalian tidak akan mengertinya sekalipun aku menjelaskannya"

Kalimat itu membuat mereka menyerah. Aku pun setengah berjongkok agar bisa mengintip langkah Jaerk yang tampaknya belum jauh dari lubang kecil sakti di pintu kelasku. Entah mengapa, aku bisa merasakannya. Hahaha, sok tahu! Jodoh saja bukan.

Deg!

Aku mengernyit melihat sepatu Jaerk yang tidak bergeming di suatu tempat, dan juga kaki seseorang yang tampak familiar...

Aku terus menyipitkan mataku agar bisa melihat wajah seseorang itu dengan jelas. Tetapi...

Krieeettt!

Brug!

Bokongku yang lebih dahulu terhempas ke lantai. Ibu Ratna masuk ke dalam kelas tanpa rasa bersalah dan tidak menolongku sama sekali. Seisi kelas menertawakanku.

Ibu Ratna menoleh ke arahku. "Kalau kangen tinggal bilang, jangan ngintip-ngintip. Gak baik, nak. Ujungnya petaka kan?"

Aku mendengus dan bangkit berdiri tanpa siapapun yang membantu. "Lagian si ibu gak bilang-bilang mau masuk kelas. Ibu udah tahu ada saya kan?" Suara parauku membuat seisi kelas semakin kencang tertawa.

Ibu Ratna pun menghampiriku, lalu menarik tanganku ke arah pintu kelas. "Ayuk, Ibu antarkan kalau kamu kangen sama Jaerk. Ibu ngerti kok, ayok!"

Aku menahan badanku sekuat tenaga. Malu sekali rasanya. "Tidak, Bu! Tidak perlu!"

"Apa kamu tidak menyesal?" Ibu Ratna berhasil mendorongku, hingga pintu kelas terbuka. Aku melihat Jaerk dengan seseorang yang sedang mengulurkan tangannya kepada Jaerk.

Aku langsung kembali menutup pintunya, sebelum Jaerk melihatnya. "Iya, iya, Bu. Saya sudah berbaikan dengan Jaerk. Sudah ya, Bu. Saya mau kembali ke tempat duduk saya."

Tanpa babibubebo lagi, aku langsung melangkah cepat menuju tempat dudukku. Seisi kelas masih sibuk menertawaiku, diiringi dengan Bu Ratna yang mulai berceramah.

Sementara diriku penasaran dengan siapa yang mengulurkan tangannya kepada Jaerk?

.

.

.

***

.

.

.

Jam istirahat,

Aku memutuskan untuk membicarakan rasa penasaran ini kepada Chessa di taman rahasia aku, Jaerk, Janno, dan juga para guru.

Chessa pun menghampiriku dengan langkah pelan. Wajahnya tampak khawatir.

Chessa pun duduk di hadapanku. "Kenapa, Chess? Kenapa mukanya gitu?"

Chessa tersenyum tipis. "Kamu dulu aja yang bicara, Jes."

Aku pun langsung menggebu-gebu menceritakannya, "Tadi aku ngintip dari bolongan pintu kelas, ada seseorang yang mengulurkan tangannya ke Jaerk! Familiar banget, Chess. Apa dia penghuni baru sekolah ini?"

Chessa terdiam. Ia menelan ludahnya dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. "A..aku kurang tahu sih dia siapa, Jes. Perasaan gak ada anak baru di sekolah kita." Ia mengernyitkan dahinya, ikut bingung. Namun, tatapannya seperti sedang mencari alibi.

Aku menaikkan alis. "Chess, apa kamu gak bohong?"

Chessa tertawa hambar. Matanya masih beredar kemana-mana. "Kenapa kamu selalu ngira aku bohong sih, Jes? Aku memang gak tahu siapa yang mengulurkan tangannya ke dia. Jaerk gak cerita apapun juga, mana bisa aku tahu."

Aku terdiam. Benar juga. Chessa mana mungkin tahu jika aku tidak mendeskripsikannya.

Chessa menghela napas. "Jes, mungkin kamu belum tahu soal ini. Mungkin juga dia yang mengulurkan tangannya ke Jaerk."

"Ada apa Chess? Siapa?"

"Halo, Jesika."

Deg!

Aku reflek menoleh ke sumber suara yang berada di belakangku. Chessa juga ikut menoleh. Mataku membesar. Napasku tercekat ketika aku mengetahui siapa itu...

Apakah dirinya yang dimaksud oleh Chessa?

Sriiiiing!

Cahaya putih berhasil menyinari lilitan benang merah di kelingkingku. Benang merah itu kembali membentang dan semakin mendekat. Aku sudah bisa menemukan siapa jodohku....

Chessa menyenggol tanganku seketika melihat Janno yang ternyata terlilit benang merah yang sama di kelingkingnya. Napasku tercekat. Badanku membeku seketika melihat senyum Janno. Senyum yang tidak akan pernah pudar dari pikiranku, juga menyakitiku di saat yang bersamaan.

Janno menghampiriku sambil benang merah yang semakin mendekat. Ketika Janno berada di hadapanku, tangannya terulur ke arahku.

"Selamat ya, Jes atas hubungannya dengan Jaerk. Semoga kamu bisa berbahagia dengannya."

Mataku berkaca-kaca. Dadaku terasa sesak. Badanku terasa panas. Benang berwarna merah yang menghubungkan kami menyala terang. Apa maksud semua ini?!

Apakah Janno benar-benar jodohku?

.

.

.

avataravatar
Next chapter