19 KARENA AKU MENCINTAIMU...

Jesika menggeleng dan membesarkan matanya. "Aku tidak tahu, Chess. Sungguh, ini membuatku bingung."

Chessa memeluk Jesika. "Aku mohon, jangan Jes. Jangan gunakan gunting itu. Dengar aku!"

Jesika tidak membalas pelukan Chessa dan hanya berdiri mematung dengan tatapan kosong. Jesika sungguh takut untuk melakukannya, tetapi masa depan Janno juga akan menyakitkan bila dijalani bersamanya.

Ia tidak pernah melihat Janno patah hati separah itu kepada seorang perempuan. Bahkan, ketika Jesika sedikit melupakannya, Janno tidak mengejarnya. Janno tidak peduli dengannya.

Senyum dan perhatiannya hanya terarah untuk Reva seorang. Tidak ada sedikit pun Jesika di hatinya.

Jesika pun mengambil kotak dan meletakkan gunting itu di dalamnya, lalu meninggalkan Chessa. Chessa berusaha menahannya, air matanya mengalir semakin deras. "Jes, tolong jangan gegabah seperti ini!"

Langkah Jesika terhenti di depan pintu, lalu ia menoleh. "Aku akan memberitahumu jika aku sudah membulatkan keputusan." Jesika kembali melangkah keluar kamar.

Dada Chessa semakin sesak. Kepalanya terasa pusing. Badannya melemas. Rasa khawatir semakin merasukinya. Namun, Chessa tidak dapat melakukan apapun. Gunting itu sudah berada di tangan Jesika.

"Mengapa aku memberikannya?! Bodoh! Sungguh bodoh!" Chessa memukul dirinya sendiri, tenggelam di dalam penyesalannya.

.

.

.

***

.

.

.

Hari demi hari, Jesika lewati dengan hanya memikirkan keputusannya. Ia menggenggam gunting emas itu kuat-kuat, lalu kembali menangis. Apakah Jesika siap jika Janno yang akan mati? Atau dirinya? Atau Janno yang membencinya karena takdir telah berganti dan kemungkinan Janno dan Jesika bersama adalah mimpi? Dadanya selalu sesak ketika kembali ke kamar. Jesika juga sudah menjaga jarak dengan Janno.

Suatu hari, di malam yang sungguh sunyi, hanya ada isak tangis Jesika yang mendominasi ruang kamarnya. Jesika menggenggam bingkai foto Janno dan dirinya saat acara perpisahan SMP. Air matanya tak kuasa mengalir melihat ekspresi Janno yang bahagia.

Jesika mengelus bingkainya dengan air mata yang membasahi pipinya. "Janno, aku ingin sekali bersamamu. Aku sudah bersama Jaerk, namun bayang-bayangmu selalu menari di pikiranku. Aku sangat mencintaimu, Janno, dan aku sadar bahwa aku telah menyakitimu. Kamu sudah mencintai dan memilih seseorang yang baik, berjuanglah untuknya. Aku akan mundur, Janno.. Aku tidak akan menganggu hidupmu lagi."

Jesika telah membulatkan keputusannya. Jesika mengusap air matanya dan menghela napas lega. Gadis bermata sembab itu menaruh fotonya di laci nakasnya dan tersenyum tipis.

"Jesika bisa melakukan ini! Jesika harus membuktikan cintanya kepada Janno, walaupun nyawa kami adalah taruhannya." Jesika pun tersenyum melihat gunting keemasan itu. Ia kembali menaruhnya di kotak dan berbaring.

.

.

.

***

.

.

.

Hari yang Jesika tunggu-tunggu telah datang. Tepatnya dua minggu setelah Jesika membulatkan keputusannya. Jesika mengajak Chessa dengan susah payah untuk menjadi saksi atas putusnya takdir mereka.

Chessa terisak. "Aku mohon jangan lakukan ini, Jes.. Apa kamu benar-benar sudah memikirkannya matang-matang? Kamu belum makan siang, Jes. Yuk, kita makan dulu." Chessa memegang tangan Jesika, namun Jesika menepisnya.

Jesika menggeleng. "Enggak, Ches. Aku sudah cukup memiliki energi untuk melakukan semua ini. Aku yakin, ini adalah jalan terbaik. Mungkin saja, tidak ada di antara kami yang meninggal? Atau aku dikembalikan ke masa SMP sebelum mengenal Janno?"

Chessa membentak, "Tidak ada yang bisa menebaknya! Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan ia lakukan kepadamu, Jes! Kalau kamu yang akan meninggal, bagaimana?! Kamu tega meninggalkanku?"

Jesika tersenyum dan menggeleng. "Kalau begitu, ingat aku terus. Jangan buat aku meninggal di dalam pikiran kalian, walau ragaku tidak ada. Aku tidak pantas untuk Janno, Chess! Janno terlalu baik untuk perempuan sepertiku!" Air mata Jesika kembali mengalir. Chessa memeluk Jesika, menahan Jesika untuk melakukan itu. Jesika masih bersikeras menatap gunting yang ia telah genggam, lalu mengarahkannya ke benang itu...

"Jangan!" , seru Chessa sambil mengeratkan pelukannya.

Jesika tidak menghiraukan kata-kata Chessa, dan kembali mendekatkan gunting tipis berlapis emas itu ke benang merah sakral...

Plak!

Dengan salah satu tangannya, Chessa melempar gunting itu jauh-jauh. Jesika berusaha lepas dari pelukan Chessa untuk mengejarnya. Chessa tetap mengeratkan pelukannya dengan sekuat tenaga.

Grep! Jesika pun berhasil melepaskan diri dari Chessa dan mengambil gunting tersebut. Chessa kembali mengejarnya untuk menahan.

Air mata Chessa mengering dan ia menatap tajam. "Jes, kenapa kamu begitu berpikir picik? Apa Janno akan bahagia dengan semua ini jika ia tahu bahwa kamulah jodohnya? Bagaimana jika Janno menci—"

"Itu tidak mungkin! Janno pasti akan bahagia, karena ia tidak tahu semua ini, Ches! Mungkin, Tuhan akan mengembalikanku ke masa dimana tidak mengenalnya dan hanya berpapasan. Aku tidak mengingatnya. Sudahlah, Chess. Aku sudah membulatkan keputusanku. Aku melakukan ini deminya, tidak peduli apa yang akan terjadi. Asalkan Janno bahagia."

Chessa terdiam. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi. Badannya sudah begitu lemas menahan seluruh rasa khawatirnya.

Jesika kembali mendekatkan gunting itu ke benang merahnya.... namun tiba-tiba...

Greb! Jesika menghentikan pergerakannya. Ada seseorang yang begitu familiar memeluknya. Benang merahnya menyala begitu terang.

"Jangan, Jes.. Aku mohon jangan!"

Jesika menoleh ke belakang. Janno Chaesar Wijaya berada di hadapannya. Pria yang tidak ingin lagi ia lihat. Pria yang telah membahagiakan dan menyakitinya di saat yang bersamaan.

Jantung Jesika berdegup kencang. Air mata Janno mengalir deras, dan kembali memeluk Jesika.

"Jangan tinggalkan aku, Jes.. Aku tidak mau sesuatu terjadi denganmu. Jika memang kita berjodoh, aku tentu akan sangat senang. Hanya kamu satu-satunya yang bisa melengkapiku. Hanya kamu."

Napas Jesika terengah-engah. Dadanya begitu sesak. Kalimat romantis itu telah menghujam hatinya. Jesika menggeleng dan kembali melepaskan pelukan itu.

"Tidak, Janno. Kamu tidak akan bahagia bila bersamaku. Aku hanya akan menyakitimu, merusak masa depanmu bersama Reva. Aku tidak mau, Janno. Biarkanlah aku melakukannya, aku mohon!" Jesika tersenyum tipis dan memegang kedua pundak Janno yang bergetar. Janno menggelengkan kepalanya.

Jaerk yang berada di samping Chessa tidak bisa melakukan apapun. Ada energi yang memaksanya untuk tidak mendekati mereka. Air mata mereka mengalir deras. Jaerk yakin, Janno bisa membujuk "benang merah"nya itu.

Jesika pun kembali mendekatkan gunting emasnya itu. Benang merah itu menyala terang, membuat Jesika semakin terisak. Jesika menahan semua itu dan tersenyum di depan Janno.

"Maaf, Janno. Aku harus melakukannya apapun perkataan manis yang kau katakan. Kau hanya mencintai Reva dan bukan aku." Isakan Jesika semakin kencang.

Janno kembali mendekap belahan jiwanya itu dan membenamkan wajahnya di pundak Jesika. "Tidak, Jesika. Aku—"

Tes!

Jesika tidak menghiraukan kata-kata Janno. Janno merenggangkan dekapannya, melihat ikatan mereka yang terputus. Janno melirik benang merah yang melepaskan lilitannya, melebur bersama angin. Chessa dan Jaerk begitu terkejut.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Chessa langsung menghampiri Jesika dan memeluknya. Napas Jesika mulai berat, badannya mulai tumbang namun Jaerk dan Janno menopangnya.

Jesika menyunggingkan senyumnya."Ka..kalian ha..ha..harus bahagia," ucapnya terbata-bata dan diselingi tarikan napas.

Janno mendekap Jesika erat. "Tidak, Jes! Mengapa kamu melakukannya?! Aku tidak bisa kehilanganmu, Jes. Hatiku sakit. Kamu menyakitiku dengan cara seperti ini, Jes. Kamu menyakitiku!!"

Matanya mengerjap berkali-kali, dadanya kempas kempis mencari napas. "Terima kasih, Chess.. Terima..kasih..,Jaerk. Sela..selamat ting...ting..tinggal!"

Deg!

Dada Jesika kembali normal. Matanya tertutup dengan damai. Tarikan napasnya terhenti. Membuat dunia ketiga insan tersebut hancur. Ketiganya memeluk Jesika erat-erat, berharap Tuhan akan membawanya kembali...

"Jesika, aku sungguh mencintaimu! Aku sudah menahan perasaanku selama ini, lalu menyukai Reva yang hanya singgah sebentar di hatiku. Sebenarnya, aku yang memutuskannya karena tidak bisa melupakanmu. Tetapi, mengapa kamu malah mengartikannya lain? Aku... sungguh.. menyesal, sayang! Aku juga mencintaimu! Aku sangat mencintaimu, Jesika!!!"

Teriakan Janno tidak membuat Jesika bergeming. Chessa dan Jaerk terkejut mendengar perkataan Janno, tetapi tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan.

Janno yang masih memeluk Jesika bisa merasakan napas Jesika. Janno langsung mengarahkan telunjuknya ke hidung Jesika. Iya, Jesika masih bernapas!

Janno langsung menggendongnya, tanpa berbicara kepada Jaerk dan Chessa, membawanya ke rumah sakit.

.

.

.

avataravatar
Next chapter