1 JESIKA, SANG RATU GOSIP

Bel tanda masuk pelajaran berbunyi nyaring. Jesika berjalan terburu-buru ke tempat duduknya. Ia mendudukkan bokongnya di atas sana. Keadaan kelas sedang geger; riuh suara pekikan murid perempuan dan bisik-bisik tetangga tempat duduknya.

Jesika menoleh ke belakang tempat duduknya dan mengernyit. "Ada apaan sih ini?"

Salah satu dari kedua gadis yang duduk di belakangnya—Cindy langsung merespon pertanyaan Jesika dengan semangat. "Ada gosip baru, Jes!"

Jesika tersenyum lebar. "Apaan, Cin?"

"Rania punya pacar simpanan!" Gracia pun ikut berbicara bersama Cindy.

Jesika melongo. "Astaga! Yang bener lo?"

"Beneran lah! Makanya keadaan kelas jadi riuh gini karena tahu gosip ini."

Gracia mengerucutkan bibirnya. "Lu sih telat masuknya! Kalau lu datengnya lebih awal kita bisa panasin tuh si Raina!"

"Iya weh! Tadi kurang greget gak ada lu yang memanaskan!" Cindy nyeletuk.

Jesika menghela napas. "Dasar emang lo pada kurang panas, gak kayak gue."

Cindy dan Gracia tertawa. Mereka setuju dengan perkataan Jesika. Ya, memang Jesika adalah jantung dari segala berita hoax dan gosip yang ada di sekolah. Yang awalnya hanya tersebar di satu kalangan, bisa tersebar hingga seluruh penjuru sekolah. Tidak ada Jesika, keadaan sekolah tidak akan panas dan seru.

Jesika, Cindy, Gracia, dan Rini adalah agen penyebar dan pemanas gosip utama di sekolah. Mereka sangat rajin mencari berita baru untuk disebarkan hingga ke papan pengumuman sekolah. Entah mitos atau fakta.

Kalau berita yang mereka cari adalah sebuah fakta, mereka akan sangat dibanggakan karena bisa menyampaikan perkembangan murid kepada guru lewat berita-berita atas kelakuan murid di sekolah.

Semua itu membuat mereka menjadi disegani satu sekolah. Satu sekolah pasti mengenal Jesika, Cindy, Gracia, dan Rini. Mereka menamakan diri mereka Literumpi-Gen.

Kini, mereka akan menyebarkan berita ini lewat mulut ke mulut dengan bumbu-bumbu panas agar mereka percaya.

"Emangnya siapa sih pacar simpanan Rania?" tanya Jesika curiga.

"Jaerk si Bule!"

"Gila sih, secantik apa coba Rania sampe bule gentong kaya Jaerk mau sama dia?"

Jesika dan Cindy menghela napas. "GANTENG! Bukan gentong!"

Gracia pun hanya membalas dengan tawaan yang akhirnya membuat Jesika dan Cindy ikut tertawa karena tawaan Gracia yang lucu.

.

.

.

***

.

.

.

"Rania, kenapa lu mau punya dua pacar?" tanya Jesika sambil menyilangkan kedua lengannya dan menaikkan sebelah alisnya di hadapan Rania. Sementara Cindy, Gracia, dan Rini mengikuti gestur yang sama seperti Jesika, berdiri bersebelahan dengan Jesika.

Rania mengernyit. "Kalian tuh dapet gosip darimana? Lagian siapa coba yang mau punya dua pacar?!"

"Kita gak pernah dapet salah info. Gosip itu pasti berawal dari tindakan yang mencurigakan. Sekarang kita ingin bertanya kebenarannya, Ran." Jesika menjelaskan panjang lebar.

"Gak! Kalian gak pantes tahu soal masalah pribadi gue!"

Jesika menajamkan tatapannya dan mencondongkan wajahnya mendekat ke wajah Rania. "Percuma, sayang. Orang-orang sudah tahu semua ini. Kalau memang ini tidak benar, tinggal akui saja. Gak perlu susah susah kan?" Jesika menyeringai dan berdeham. Masih ada saja yang berusaha melawan dirinya setelah tahu apa yang bisa ia perbuat nanti.

Seisi kelas Rania—Kelas XI IPS 2 geger. Sepasang demi sepasang mata mulai mengerumuni Jesika dan Rania yang saling beradu tatapan tajam.

"Memangnya semua ini apa gunanya buat kalian? Gak ada kan?Sudah lah!" ucap Rania dengan nada tinggi. Air matanya hendak mengalir.

Jesika menaikkan sebelah alisnya lagi. "Kenapa nangis coba?" Beberapa detik setelahnya, air mata Rania semakin mengalir. Jari jemarinya saling berkutat satu sama lain. Matanya menatap Jesika dan teman-temannya dengan benci.

Jesika menaikkan semua alisnya dan membulatkan bibirnya. "Aku sudah tahu jawabannya. Terima kasih, Rania. Kisahmu akan segera dipajang di papan pengumuman. Selamat menjadi artis!" ucap Jesika, lalu bertepuk tangan. Semua murid di dalam sana juga bertepuk tangan dan menyorakki Rania.

Rania tidak bergeming. Badannya yang mungil tergeletak di lantai dan tidak ada satu pun yang menolong.

Tanpa kembali menghiraukan Rania, Jesika pun mengajak ketiga temannya itu pergi dari hadapan Rania.

Greb! Tangan Jesika tertahan saat hendak keluar dari kelas Rania. Jesika menoleh ke belakang dan membulatkan matanya melihat pria tinggi berambut jagung dengan hidung mancung dan berkulit putih menatapnya tajam.

Ketiga temannya itu menatap Jesika khawatir. Sepasang demi sepasang mata mulai beralih kepada Jesika dan pria bule tersebut. Jesika menoleh kepada temannya, mengisyaratkan mereka untuk kembali ke kelas tanpanya. Ketiga temannya menurutinya dan segera berlalu dari depan kelas.

Jesika meronta. "Apa apaan lo, pacar simpanan?"

Jaerk menatapnya tajam. "Gua bukan pacar simpanannya! Dia cuma teman dekat gua karena sekarang pacarnya sudah sibuk!" Jari telunjuknya terarah ke wajah Jesika. "Jadi, lo gak perlu sok tahu tentang segalanya. Gua gak takut sama lo!"

Jesika menyeringai dan terkekeh. "Oh, lu pikir gue percaya sama lu? Lo cuma mau ngebelain pacar lo aja kan! Dasar budak cinta, gak tahu kalau cuma dimanfaatin!"

Plak!

Jesika langsung memegang pipi kanannya yang terasa nyeri itu. Semua berseru kaget atas tindakan pria bule itu. Menampar Jesika.

Rania langsung menghampiri pria bule itu—Jaerk dan menariknya menjauh dari Jesika. Jantung Jesika berdebar begitu kencang melihat Jaerk yang menatapnya tajam. Terselip rasa takut. Cemas. Baru pertama kali ia merasa terintimidasi.

Jaerk kembali menunjuk wajah Jesika. "Awas aja lu berbuat macem-macem dan memberitakan macem-macem sama Rania! Gua gak akan segan-segan berbuat leb—"

Bug!

Seorang pria membogem Jaerk dengan penuh emosi. Rania langsung menarik Jaerk pergi menjauh, namun Jaerk menepis tangan Rania dan langsung meraih kerah seragam putih pria itu.

Janno Chaesar Wijaya. Sahabat Jesika sekaligus...

Jesika terkejut dan langsung menahan Janno.

"Jangan sekali-sekali lo menampar Jesika!" kata Janno dingin.

Jaerk menatap Janno semakin tajam. "Lah orang dia yang duluan buat gosip gak jelas soal Rania, sahabat gue. Terima gak lu, kalau Jesika sendiri yang digituin?"

"Gue dapet semua ini juga karena Rania punya pacar! Kenapa Rania gak putusin aja Adit nya?" Jesika masih berusaha keras mempertahankan pendapatnya.

Jaerk melangkah maju menunjuk wajah Jesika. "Itu semua bukan urusan lo!" Jesika merasa takut dan melangkah mundur.

"Udah, Jes. Kita balik aja," Janno menghela napas dan menggenggam tangan kanan Jesika yang bergetar hebat dan dingin. Janno menatap wajah Jesika yang memerah karena memendam emosinya. Ia tahu, Jesika ingin membogem wajah Jaerk. Ia tahu, Jesika ingin menangis. Ia tahu, Jesika tidak akan pernah melakukannya. Ia tahu segala tentang Jesika.

Jesika pun menuruti Janno dan menarik tangan Janno keluar dari kelas itu. Membawa pria itu ke tempat rahasianya..

Taman belakang sekolah yang terpencil. Berbagai pohon berdaun lebat dan semak-semak menyelimutinya. Hanya ada satu bangku taman panjang tepat dibawah pohon beringin yang besar itu. Entah angker apa tidak, ia tidak peduli. Ini adalah tempat pertama dimana Jesika dan Janno bertemu. Tempat dimana Jesika merasa...

"Jes, apa kamu gak capek terus punya masalah sama banyak orang gitu?"

Jesika yang menatap ke depan hanya terdiam.

Janno menyentuh tangan kanan Jesika dan menggenggamnya. "Mending beritanya si Rania gak usah dipublish dulu. Daripada Jaerk berbuat yang lebih nekat lagi, ya kan?"

Jesika menepis tangan Janno. "Udahlah, Janno. Aku gak takut sama cowo kaya dia! Lagian udah tahu ada orang kaya aku masih aja orang buat aneh-aneh di sekolah. Apa lagi punya pacar simpanan! Idih, aku gak suka, Janno!"

"Kamu harus objektif dong, Jes. Jangan karena kamu gak suka, langsung menuduh kalau berita gosip itu benar."

"Terus, menurut kamu mereka benar-benar pacaran gak? Gimana kalau Adit yang baru aja pulang dari Denmark melihat semua ini? Adit yang niatnya pergi mewakili sekolah malah diselingkuhin."

Janno tersenyum. "Nah, makanya. Kamu masih mau menjaga perasaan Adit kan? Lebih baik biarkan mereka yang menyelesaikannya sendiri. Setidaknya dengan tindakan kamu yang sampai sini bisa buat mereka sadar apa yang harus dilakukan. Kamu gak perlu bertindak lebih jauh. Gimana kalau Adit tahunya dari papan pengumuman gosip? Kan gak etis kalau masalah pribadi orang terpampang di depan, apa lagi soal cinta."

Deg! Jesika pun menatap Janno yang menatapnya begitu lembut. Ya, hanya Janno yang bisa meluluhkan hatinya. Menggerakan pikirannya untuk berpikir logis. Membuatnya nyaman. Membuat Jesika kembali kepada jati dirinya. Membuat Jesika... jatuh.

"Gimana, Jes? Kamu lebih baik pikirin baik-baik, sementara aku ngerjain tugas yang harus dikirim dari ponsel," ucap Janno lembut sambil mengelus rambut panjang Jesika. Lalu, Janno merogoh kantongnya, mengambil ponselnya dan berkutat dengan itu.

Jesika hanya menatap Janno, makhluk yang paling damai dan lembut bagi Jesika. Hatinya merasa tenang. Apakah Jesika harus melakukan apa yang Janno suruh? Apakah selama ini tindakannya adalah salah walaupun itu yang membuat guru bahkan sebagian teman mengaguminya?

Memang Jesika selalu menyelidiki gosip, dan semua itu memang benar adanya. Dari kecurigaannya, ia selalu bisa menebak bahwa memang itulah yang ia curigakan.

Jesika memilih untuk tidak memikirkannya. Ia menatap Janno yang begitu fokus berkutat kepada ponselnya. Entah mengapa, ia suka melihat Janno saat melakukan banyak hal. Jantungnya berdebar begitu kencang. Senyumnya selalu tersungging tipis saat menatap Janno.

Apakah Jesika benar-benar lebih dari sekadar kagum kepada sahabatnya ini?

Apakah Janno... juga menganggap Jesika seperti itu? Dengan tindakan Janno saat ini tidak ada yang tahu apa niatnya sebenarnya?

Janno pun mendongak dan menoleh ke arah Jesika yang sedang menatapnya. "Sudah bisa memutuskan, Jes?"

Hening. Jesika tidak menjawab. Ia hanya melebarkan senyumnya kepada Janno. Mulai dari detik ini, Jesika menyadari satu hal. Ia tidak membutuhkan apapun lagi. Ia tidak butuh segala ketenaran dan pujian dari teman serta gurunya.

Ia hanya membutuhkan Janno.

.

.

.

.

***

avataravatar
Next chapter