8 JAERK, SANG PELULUH HATI

Benang merah di kelingking Jesika sudah lama tidak terlihat, sejak satu bulan yang lalu. Sepertinya orang iseng itu telah menyadari kesalahannya dan memilih pergi. Hari-hari Jesika semakin menyedihkan dan sepi, namun ditemani oleh seorang pria yang menyebalkan yang tidak disangka mampu membuatnya nyaman. Jaerk Radish Saputra.

Janno dikabarkan menggantikan posisi Adit sebagai perwakilan sekolah dalam sebuah acara duta remaja di Dubai, mengharuskannya untuk meninggalkan sekolah. Jesika mencoba untuk tetap biasa saja dan menggunakan kesempatan ini untuk melupakan pria itu.

Lalu, Chessa yang sudah sangat jarang mengobrol kepadanya sejak satu bulan yang lalu. Chessa lebih sering tidak masuk, atau tidak ada di kelas sewaktu Jesika menghampirinya. Apakah gadis itu menghindarinya?

Kini, hadirlah seseorang yang tidak disangka-sangka akan berbaik hati kepada Jesika. Seseorang yang telah mempermalukan Jesika di depan umum dengan menamparnya. Seseorang yang tidak disangka-sangka mencintai Jesika.

Jesika mengerucutkan bibirnya lagi. Jesika sungguh menggemaskan saat ia melakukan itu, tetapi Jaerk menahannya karena Jesika serius.

"Chessa kemana lagi sih, Jae? Masa lo gak tahu dia kemana? Bukannya dia temen lo?!"

Jaerk menatapnya tajam. "Dia juga temen lo, Jes. Masa lo gak tahu dia kemana?"

Jesika menghela napas dan membalikkan badannya, lalu berjalan ke taman belakang sekolah—yang tidak diketahui orang banyak. Jaerk mengikutinya hingga ia mematung ketika sampai di depan taman itu. Jesika pun menarik tangan Jaerk hingga masuk ke sana.

Jaerk pun berjalan-jalan mengitari taman tersebut dengan mata melongo dan bibir terbuka, tidak menghiraukan Jesika yang semakin bete. "Kok lo bisa ketemu taman kaya gini?"

Jesika menarik lengan Jaerk untuk duduk di sampingnya. Jesika menyenderkan kepalanya di bahu Jaerk yang kekar itu.

"Jae, sumpah, gue gak nyangka bisa temenan sama cowo seganteng lo."

Jaerk terkikik kecil. "Terima kasih pujiannya, sayang."

Jesika langsung mengangkat kembali kepalanya dan membuang wajahnya dari hadapan Jaerk. Jaerk hanya tertawa. "Ya udah cerita aja, kenapa langsung bete begitu karena Chessa gak bisa ditemuin?"

Jesika langsung menoleh dan menatap pria itu tajam. "Chessa gak ada kabar sama sekali dari satu minggu yang lalu, tau gak?! Ya jelas, dong, gue khawatir sama dia!"

Jaerk tertawa kecil. "Gak usah ngegas begitu ngomongnya, Jes."

"Habisnya! Lo gak lihat apa gue udah bete banget. Sana telepon dia coba, bilang Jesika mau ketemu!"

Jaerk menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan sikap menyebalkan seorang Jesika. Jaerk sama sekali tidak jijik, atau pun rasa cintanya memudar. Justru, ia semakin merasa dibutuhkan dan menambah semangatnya untuk terus mengejar pujaan hatinya sejak lama itu.

Jaerk mengambil ponselnya, lalu menelepon Chessa. Jaerk memudarkan senyumnya begitu mendengar suara perempuan yang mengatakan bahwa nomor teleponnya tidak aktif.

Jesika menatap Jaerk penuh harap. "Chessa udah angkat?"

Jaerk menggeleng sambil menarik kembali ponsel dari telinganya. "Nomor teleponnya gak aktif, Jes. Ini bikin gua khawatir juga."

Jesika langsung mengacak rambutnya frustasi. Hatinya berdesir. "Aduh! Apa dia tersinggung sama omongan gue ya? Apa dia gak mau lagi temenan sama gue?"

Jaerk menggeleng dan merapikan rambut Jesika yang sudah berantakan. Ia tersenyum. "Enggak, Jes. Gua rasa ada yang lebih besar dari sekadar tersinggung."

Jesika pun kembali menatap Jaerk serius. "Maksud lo?"

Jaerk mengangkat bahunya. "Gua juga gak tahu apa, Jes. Tetapi sebaiknya, kita lebih baik biarkan dia menyelesaikan semuanya sendiri. Lo tahu kan dia punya kemampuan lebih?"

Jesika mencoba mencerna kata-kata Jaerk. Memang ada benarnya. Siapa tahu, ada masalah dengan kemampuannya itu.. Atau ia ingin menghapusnya.. Atau...

Ah, sudahlah. Jesika memutuskan untuk tidak memikirkan itu dan tersenyum kepada Jaerk. "Ya udah deh, selama ada lo gue akan baik-baik aja. Jangan dekat-dekat sama Rania, Jae!"

Jaerk mengernyit. "Astaga, sejak kapan gua dekat sama Rania? Lo cemburu, ya?"

Jesika menggeleng cepat dan berteriak, "ENGGAK LAH, JAE! GUE CUMA GAK SUKA AJA!"

Jaerk kembali tertawa. "Ya elah, itu sama aja, Jes. Emang semua orang gak rela kalau gue sama Rania, kenapa sih?"

"YA KALAU LO SAMA RANIA, LEBIH BAIK SAMA GUE LAH!"

Deg!

Jantung Jaerk seketika ingin melompat dari tempatnya. Kata-kata itu membuat wajah Jaerk hampir memerah. Sudah hampir satu bulan, Jaerk bisa mengobrol bahkan menyentuh Jesika dengan lembut. Ini sudah cukup baginya, apa lagi mengetahui bahwa Jesika tidak bisa melupakan Janno.

Jaerk tertawa kencang. "Memangnya kenapa lebih baik sama lo? Bukannya lo udah dibuang sama teman-teman sosialita lo ya? Lo lebih gak terkenal daripada Rania."

Jesika membesarkan matanya, tercengang atas kata-kata Jaerk. Satu bulan ini, Jaerk adalah alasannya untuk melupakan Janno. Jaerk bahkan lebih perhatian dan mampu membuat Jesika kadang luluh dengan ketampanannya. Bahkan, gosip sudah beredar dari mulut ke mulut tentang mereka. Tetapi, Jesika dan Jaerk tidak peduli. Mereka tetap menikmati pertemanan mereka, walaupun salah satu di antaranya berharap semua gosip itu menjadi kenyataan.

"Kenapa lebih baik sama lo, Jes?"

Jesika menggandeng lengan Jaerk dan bersandar di bahunya lagi. "Karena gue nyaman sama lo. Gak boleh ada yang ambil lo dari gue, Jaerk! Cukup Janno."

Jaerk mendekatkan wajahnya ke wajah Jesika. "Baiklah sa—"

Deg!

Jesika reflek memundurkan wajahnya begitu ada sengatan panas di kelingkingnya. Ia langsung melirik jari kelingking kirinya. Matanya melebar begitu melihat benang merah itu kembali melilitnya.

Tetapi ini berbeda. Benang tersebut tidak menghubungkannya ke siapapun. Ia hanya melingkar di kelingkingnya, seperti cincin.

Jaerk menyadari tindakan aneh Jesika, dan segera mengambil jari kelingking yang menjadi pusat perhatian tubuh Jesika. Jesika terkejut, namun ia tidak menarik kelingking itu. Ia berharap Jaerk bisa melihatnya...

Jaerk memandang jari kelingking Jesika, lalu mengelusnya pelan. "Kenapa, Jes? Jari lo kenapa?"

Jesika menghela napas. Jaerk tidak bisa melihat benang merah tersebut. Jesika menggeleng dan tersenyum. "Gak apa, Jae. Tadi kamu ngomong apa?"

Jaerk mencengkeram jari kelingkingnya itu. "Gua beneran khawatir, Jes."

Jesika menggeleng, lalu menatap Jaerk lekat-lekat. "Gue gak apa-apa beneran deh, Jae. Tapi, terima kasih ya, Jae, sudah mau menemani gue yang menyedihkan ini. Gak nyangka banget, seriusan. Jangan pergi ya, Jae."

Jaerk mengelus jari kelingking Jesika, lalu meniupnya. Ia tidak menanggapi omongan Jesika karena wajahnya hampir panas. Bunga-bunga di hati Jaerk mulai bermekaran, menyebabkan salah tingkah. Jesika mengerucutkan bibirnya, menganggap kalau Jaerk tidak menganggapnya seperti yang Jesika bayangkan.

.

.

.

***

Jesika's POV

.

.

.

Satu bulan yang lalu,

Keesokan hari setelah kali pertama Jaerk bertingkah aneh kepadaku, ia kembali melakukannya. Seperti biasa, aku masih merasa takut dengannya. Takut tangannya kembali melayang ke pipiku dan membuat reputasiku semakin jelek.

Ternyata, ia malah bersikap sangat ramah dan baik. Bukan hanya itu, ia sungguh memperhatikanku. Membuat mulutku yang sangat kaku kembali terbuka dengan leluasa.

Setiap hari, ia mengunjungiku dan mengajakku bercengkerama. Aku sangat merasa nyaman berada di dekatnya, seperti menemukan kembali sosok yang telah lama hilang. Jaerk sungguh memperhatikan diriku, membuat semangatku kembali membara.

Aku kembali bercengkerama dengan teman-temanku, lalu bersama-sama mengagumi ketampanan Jaerk lewat akun Instagramnya. Sungguh, ia lebih tampan dari Janno... Ia lebih segala-galanya...

Ah, apakah Jaerk menyukaiku?

Apakah aku harus melupakan Janno dengan bersamanya?

.

Seiring berjalannya waktu, hatiku berdegup begitu kencang saat berada di dekatnya. Harum parfumnya membuatku nyaman untuk menyenderkan kepala atau memeluknya. Oh, tentu saja dalam kasus tertentu. Aku memang agresif, tetapi aku bisa menempatkan diri.

Jaerk juga semakin memberikan perhatian kecil, bahkan memanggilku "sayang". Astaga, jantungku mendadak meloncat.

Aku sungguh bahagia bisa merelakan Janno secepat ini. Jika semudah ini, untuk apa aku harus bersusah payah? Mungkin ini adalah tanda dari Tuhan bahwa aku tidak berjodoh dengan Janno. Dan membuatku berharap lebih kepada Jaerk.

Sepertinya, aku mulai menyukainya... Aku tidak akan membiarkannya pergi dariku. Tidak akan ada lagi priaku yang direbut seperti Janno.

.

.

.

***

Sekarang, Jaerk menggenggam tanganku. Ia ingin memastikan jari kelingkingku tidak sakit lagi. Padahal, aku tidak mengatakan kepadanya. Tetapi, ia tahu dan mengerti..

"Jaerk," panggilku pelan, menatap wajah tampannya dari samping. Ya Tuhan, aku membayangkan wajah tampan Instagramablenya yang membuat semua perempuan meleleh. Mengapa Rania tidak menyukainya juga?

Jaerk menoleh sambil berjalan. "Kenapa, Jes?"

Aku menggandeng lengan Jaerk lagi dengan lengan kananku. "Kapan-kapan kita jalan, yuk! Biasanya Chessa yang ajak gue jalan, tapi dia gak ada kabar."

Jaerk menghentikan langkahnya. Semua orang memandang ke arah kami sambil tercengang, tetapi aku dan Jaerk memutuskan untuk tidak peduli. Jaerk menatapku dengan mata berbinar. "Ini maksudnya ajakan kencan?"

Deg!

Mengapa Jaerk merespon terlalu berlebih? Bukan.. terlalu cepat! Aku menelan ludahnya sambil melirik sekilas ke arah orang-orang yang menatap kami.

Aku berbisik, "Jaerk, kenapa lo ngomong kayak pake toa sih?!"

Jaerk pun tidak menghiraukan kata-kata Jesika, tangannya langsung menarik pinggang Jesika agar mendekat padanya. Jesika bisa mendengar suara detak jantungnya, juga pekikan murid yang melihatnya.

Jaerk pun menarik Jesika untuk melangkah pergi, tidak menghiraukan semua pekikan, ejekan, serta tatapan mereka yang mengintimidasi.

Jesika melirik sekilas Jaerk yang masih memandang ke depan. Senyum Jesika terulas lebar. Selain matanya yang berbinar, hatinya juga berbunga dibuatnya.

avataravatar
Next chapter