2 02. KENCANA 23

Sesuai dengan kesepakatan di sekolah, malam ini Rima sudah berada di rumah Kiara. Gadis itu juga berencana untuk nginap  dengan alasan ingin menemani Kiara, katanya takut sahabatnya diculik.

Banyak alasan kamu, Rima. Keduanya memilih untuk mengerjakan tugas matematika yang diberikan ibu Tiwi di ruang tengah. Rumah Kiara sangat besar dan luas, gadis itu sudah tinggal disini semenjak di bangku SMP.

Kiara tinggal bersama tante Erna, adik ayahnya. Dulunya Kiara tinggal di daerah Kasablanka bersama orang tuanya. Tapi sejak usianya dua belas tahun, orang tuanya bercerai, rumah itu sebagai harta gono gini untuk ibunya. Hak asuh Kiara jatuh ke tangan ayahnya. Rumah yang ditempati sekarang adalah peninggalan kakeknya untuk Robby, ayah Kiara.

"Bu Tiwi, bu Tiwi, udah tahu penyakitan masih mau kerja," ujar Rima, tangannya sibuk menari-nari diatas kertas putih polos.

"Gue juga kasihan lihatnya, kenapa dia gak pensiun dini ajah sih?!" timpal Kiara,  perasaan ibah itu memang selalu ada untuk guru muda itu.

"Mungkin dia mau habisin sisa usianya dengan mengabdi sebagai guru" celetuk Rima. "Tapi kalau dia harus berhadapan dengan anak nakal di sekolah seperti Ibra, Leon, Andeas, bisa cepat mati dia."

Perkataan Rima menghentikkan aktivitasnya, nama Ibra membuat Kiara diam begitu saja. Rima yang melihat raut wajah sahabatnya mendadak berubah itu pun ikut berhenti menulis.

"Kenapa, Ra?"

"Lo kenal Ibra?" tanya Kiara.

Rima tergelak. "Makanya jadi cewek itu sering-sering bergaul, jangan buku doang yang lo tahu."

"Ibra itu anak kelas dua belas Bahasa satu, itu yang tadi pagi di lapangan sama Leon. Ibra itu slengean, Sa. Tengil banget anaknya. Kepribadiannya mudah bergaul, Ra. Rumornya,, dia itu anak orang kaya. Tapi masalahnya gue gak percaya."

Kiara masih hanyut dengan cerita Rima, mungkin apa yang dikatakan Rima itu ada benarnya. Dari penampilannya saja orang-orang bisa menilai bagaimana sosok laki-laki itu.

"Dan yang harus lo tahu, Ibra belum pernah pacaran. Sama kayak lo." Sangat mengherankan bukan, jika laki-laki itu belum pernah pacaran, semua murid Almari, bahkan tidak pernah percaya bahwa Ibra jomblo.

"By the way, kenapa tiba-tiba lo nanya Ibra? Kenapa gak Andreas atau Leon mungkin?!"  tanya Rima,  matanya memicing penuh selidik.

"Eh, gue cuma sering dengar aja namanya disebut anak-anak di kelas. Ya mungkin seperti yang lo bilang banyak yang tertarik sama dia."

"Oh, kirain apaan."

Mereka kembali bergulat dengan tugas, membiarkan waktu berlalu begitu saja. Mala mini tugas dari bu Tiwi dan beberapa tugas lainnya harus selesai.

***

Ibra sudah didepan kelas dua belas IPS satu, tadinya Leon dan Andreas menawarkan diri untuk menemaninya, tapi tawaran itu ditolak. Istirahat pertama sudah berlangsung selama lima menit, tapi kelas yang ada gadis pujaannya itu belum selesai juga. Pak Budi memang selalu seperti itu, membosankan.

Beberapa saat kemudian pintu kelas terbuka menampilkan pria bertubuh gempal pak Budi, guru itu menatap bingung Ibra yang sudah berdiri didepan kelas.

"Ngapain kamu, Ibrahim?"

"Mau ketemu calon istri, pak," celetuknya.

"Mana ada gadis yang mau menikah sama kamu, gak jelas."

Ibra memutar bola matanya malas. "Bapak kan udah habis kelasnya, mending kembali ke ruangan deh, tadi ada yang nyariin."

"Mana ada, kamu itu mau mengibuli saya?!"

Hal yang tidak disukai Ibra ketika berhadapan dengan pak Budi adalah akan panjang urusannya. Seperti sekarang, entah ada masalah hidup apa pak Budi padanya. Selalu saja mengganggu waktunya.

"Permisi, pak." Ucap salah satu siswi yang hendak keluar dari kelas

"Silahkan Kiara," sahut pak Budi. Ibra menatap gadis yang baru keluar dari kelas, Kiara begitu sopan.

"Bapak kalau sama cewek cantik aja halus, sama saya udah kayak petir."

Setelah mengatakan itu, Ibra lantas meninggalkan pak Budi disana. Cowok itu mengikuti  Kiara turun ke lantai satu. Rupahnya gadis itu memasuki perpustakaan.

Suasana perpustakaan sangat sepi, bahkan hanya ada dua orang siswi disana. Ibra memantabkan diri untuk masuk ke sana. Ini adalah kali pertama Ibra masuk ke perpustakaan selama tiga tahun sekolah di Almari dan dikarenakan satu gadis. Sungguh perubahan yang luar biasa bukan.

"Hay, masih ingat gue kan?" Kiara mendongak, dihadapannya sekarang adalah laki-laki yang diceritakan Rima semalam. Gadis itu tersenyum ramah, lesung yang ada dipipinya benar-benar membuat Ibra menjadi gila.

"Gue boleh duduk disini, kan?" 

"Boleh, " Kiara mempersilahkan agar Ibra duduk, tapi gadis itu malah pergi.

"Lah, dia pergi." Ibra terkekeh melihat Kiara yang pergi dari hadapannya, gadis ini menarik perhatiannya.

"Gue mau ngomong serius sama lo. Bisa gak waktunya buat gue sedikit?!"

"Apa sih yang lebih serius selain pelajaran?"

"Ada," jawab Ibra cepat."Kelanjutan hubungan kita."

"Hubungan apa?"

" Pertemanan, mungkin."

"Pertemanan? Keburu mustahil," kata Kiara. Gadis itu lalu beranjak dari hadapan Ibra, meninggalkan laki-laki itu sendirian disana.

"Sial! Bisa gila gue sama dia," gumamnya dan berjalan keluar dari perpustakaan.

Di depan ruangan perpustakaan Ibra berhenti sejenak, segerombolan orang-orang yayasan yang keluar dari ruang kepala sekolah menarik perhatiannya. Ada beberapa yang dikenalinya, salah satunya Toni Hendrawan, sekretaris mamanya. Ibra harus mencari tau hal tersebut dan menanyakan perkembangan informasih selingkuhan papanya.

Laki-laki itu lalu mengirim pesan ke Toni untuk bertemunya nanti malam di café Laira, dia harus bergerak cepat sebelum papanya kembali ke rumah dan memaksa mamanya menandatangi surat gugatan cerai. Ibra tidak mau melihat mamanya menderita, wanita itu tidak pantas terluka.

"Ibrahim," Andreas datang mengejutkan Ibra, handpone laki-laki itu jatuh ke lantai saking kagetnya.

"Sialan! Handpone gue." Ibra memungut kembali benda pipih itu. "Untung gak pecah."

"Aelah, tinggal ganti baru juga," celetuk Andreas seenak jidatnya.

"Ngapain lo disini?" tanya Ibra. Tangannya sibuk mengelus layar handphonennya.

"Nyari Agnes, lihat enggak?" jawab Andreas.

"Agnes dicariin, udah pasti lagi tebar pesona di kantin."

"Lo sendiri ngapain disini? Depan perpustakaan, habis belajar lo?!"

"Iya," Ibra tersenyum, wajahnya berseri-seri membayangkan senyum manis yang didapat dari Kiara.

Dahinya berkerut, Andreas bingung kenapa Ibra bisa seperti itu. Senyum-senyum sendiri, sakit jiwa.

***

"Kiara!"  teriak Rima dari ambang pintu kelas.

"Gak usah teriak-teriak!" Kiara menutup dua telingahnya, suara cempreng Rima membuat seisi kelas menatap ke arah gadis itu.

"Lo tau gak sih, tadi gue ketemu sama Leon di kantin."

"Terus, dia minta balikan?" tebak Kiara.

"Gue gak mau pacaran atau balikan sama dia. Tapi,  gue punya hot news buat lo. Gila Ra, lo pakai pelet apa sih?"

Kata-kata Rima membuat Kiara bingung, hot news apa? Dan Rima juga menanyakan pelet apa yang dipakai Kiara. Apa maksud gadis ini?

"Apa sih? Gue gak make kayak gituan?"

"Ra, lo itu cewek paling beruntung sedunia,"puji Rima. "Ibra, Ra. Ibra."

"Emang dia kenapa?"

"Dia punya misi buat dapatin lo. Ehm maksud gue itu dia mau kenal sama lo. Dia suka sama lo, Ra," bisik Rima, takut sajah ada orang yang mendengar mereka.

Rima sangat tahu bagaimana siswi di sekolah ini mengangumi Ibra dan bahkan banyak dari mereka ingin sekali menjadi kekasihnya. Kiara membulatkan matanya, terkejut dengan perkataan Rima. Apa mungkin ini maksud dari kelanjutan hubungan yang dibilang Ibra?

"Tadi dia ke perpustakaan, ngikutin gue ."

"Tuh kan ... Gila, Ra, dia suka sama lo." Kiara membekap mulut sahabatnya yang tidak terkontrol itu. Banyak murid-murid menatap sinis pada keduanya.

"Rima, bisa pelan gak ngomongnya?!"

"Iya, iya. Lepasin tangan lo," pinta gadis itu dengan suara samar-samar.

Kiara melepaskan bekapannya dari bibir Rima setelah merasa gadis itu sudah tenang, pikirannya kembali pada sosok lak-laki yang sudah mengganggunya dua hari ini, apa benar ucapan Rima barusan? Belum lagi pertanyaan Ibra di perpustakaan tadi tentang kelanjutan hubungan keduanya.

***

Leon merebahkan tubuhnya diatas kasur kingsize milik Ibra, ketika pulang sekolah tadi ia dan Andreas langsung ke rumah laki-laki itu. Ibra meminta malam ini mereka menjaga mamanya. Kondisi wanita itu cukup memprihatinkan. Malam ini dia harus bertemu dengan Toni.

Ibra belum menceritakan masalah yang menimpah keluarganya kepada dua sahabatnya, mungkin jika dia sudah siap.

Andreas, cowok itu sedari tadi memperhatikan handponennya, sepertinya sedang menunggu balasan chat seseorang. Tingkahnya sangat menjengkelkan. Ingin sekali Ibra memukulnya.

"Nungguin chat siapa lo?"

"Agnes lah, siapa lagi?!"  Bukan Andreas yang menjawabnya tapi Leon.

Ibra mendengus pelan. "Perluh gue cariin cewek gak?"

"Gak usah sok iye, lo sendiri jomblo karatan,"  sarkas Andreas.

"Wah, ngadi-ngadi lo, Res. Bentar lagi kutukan jomblonya hilang," timpal Leon sembari mengubah posisinya.

"Maksudnya?"

"Kalau misinya berhasil baru lo tahu," ujar Leon.

"Bikin penasaran, kasih tau sekarang!" Andreas kesal, berita apa yang tidak diketahuinya.

"Lo tahu kan anak beasiswa Yayasan Gama Group, yang kemarin ikut pertukaran pelajar ke Korea?"

Andreas mencoba mengingat kembali sosok gadis yang sedang dibicarakan Leon, tapi masih belum bisa mengingatnya. Memang dipikiran Andreas hanya ada Agnes seorang, mana sempat dia memikirkan perempuan lain.

"Gak ada yang gua ingat, kecuali Agnes" jawabnya santai. Benar-benar membuat Leon ingin memakinya, apa sih pengaruhnya cewek satu itu.

"Jauh lo, Res! Jauh sebelum gue depak lo  lewat balkon!"  Andreas dan Ibra tergelak melihat ekspresi marah dari Leon, bagaimana tidak marah? waktunya terbuang percuma menunggu jawaban dari Andreas yang ternyata jawabannya Agnes.

Apa hebatnya gadis satu itu ? Benar-benar cari masalah!!

"Canda, Alexandro." Andreas membujuk rayu Leon.

"Anak perumahan Kencana. Rumah nomor 23," sebut Andreas.

"Siapa ?" tanya Leon dan Ibra serempak.

"Kiara," jawabnya.

"Lo tau dari siapa ?" Fokus Ibra hanya pada Andreas, bisa-bisanya cowok ini tahu alamat rumah gadis incarannya.

"Kenalin dong, " Andreas mengulurkan tangannya.

"tetangganya Kiara."

"Lah, Kiara di perumahan Kencana juga ternyata, kesempatan emas dong buat lo, Im."

"Res ..." Ibra mengedipkan mata, Andreas tahu maksudnya.

"Gak usah aneh-aneh, Im."

***

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, setelah mencari tau sedikit tentang Kiara melalui  Andreas, disini Ibra sekarang, café Laira.

Malam ini dia harus bertemu Toni, pria itu sudah berjanji akan menemuinya disini. Tidak perluh menunggu lama, Toni datang lima menit setelah Ibra tiba. Pria itu lantas memberi salam kepada anak bos nya, Ibra mempersilahkan Toni duduk.

"Saya tebak, selain ingin mengetahui informasih tentang perempuan gelap pak Alan, pasti mas Ibra ingin bertanya perihal kedatangan kami siang tadi ke sekolah."

"Bagaimana ?" tanya Ibra tanpa basa-basi.

Toni lantas memberikan sebuah foto dan beberapa informasih tentang wanita itu.

" Seperti yang mas Ibra lihat, wanita itu masih terlihat seumuran sama bapak dan ibu. Statusnya janda. Director di Semesta Entertainment. Mantan suaminya pengusaha dibidang perhotelan"

"Good," Ibra tersenyum senang. "Soal siang tadi, ada apa?"

"Ibu perintahkan saya untuk mengurus pembalikkan nama pemilik yayasan Gama  Group atas nama mas Ibra, karena sebelumnya dengan nama pak Alan."

"Selain itu apa lagi ?" Ibra memang sudah mengetahui soal pembalikkan nama itu. Sejak awal kakeknya mewariskan yayasan Gama Group padanya dan juga perusahaan yang saat ini di pegang kendali oleh mamanya.

"Saham perusahaan sebesar 20% diberikan pada pak Alan," ujar Toni sedikit gugup.

"Maksud mama apa? Bajingan itu tidak ada hak, dia bukan siapa-siapa di keluarga Gama. Dia hanya sebatas menantu."

"Saya hanya menjalankan perintah ibu," ujar Toni.

***

Kiara berdiri di balkon kamarnya, malam ini dia sendiri lagi. Sudah dua hari tante Erna ke Bandung untuk urusan bisnisnya. Seperti biasa Kiara selalu menikmati pemandangan malam dari sini,  langit malam ini sangat cerah.

Rumah besar ini memang hanya dihuni empat orang. Kiara, tante Erna, dan dua ART. Roby, papanya  sudah lama tinggal di Amerika semenjak perceraian dengan mantan istrinya. Beliau akan pulang ke Indonesia setiap satu tahun sekali, atau lebih ketika ada bisnis trip ke tanah air.

Getaran handpone membuyarkan lamunannya, Kiara mengambil benda pipih tersebut yang terletak di meja belajarnya. Sebuah panggilan yang membuatnya menatap sinis pada layar handpone, dia adalah Jihan Kinanti.

"Hallo," sapanya.

"Kiara, kamu kok gak pernah ke rumah ?! Mama kangen."

"Kiara sibuk," jawabnya  dengan nada yang sinis.

"Kamu jawabnya gitu banget sama mama. Lagi dimana?"

"Ma, Kiara sibuk. Nanti aja nelponnya." Gadis itu memutuskan sepihak, sebenarnya dia tidak tegah bersikap seperti itu pada mamanya.

Kiara rindu papanya, sudah setahun ini Roby belum kembali ke Indonesia, perusahaan papanya sedang sibu-sibuknya dan membuat pria itu belum mengunjungi putrinya.

PRANG!!!

Suara dari lantai satu membangkitkan Kiara dari posisi duduknya, sepertinya ada sesuatu yang jatuh. Asisten rumah tangga sepertinya sudah istirahat, tidak mungkin tante Erna pulang tanpa sepengetahuannya.

Gadis itu mengendap-endap membuka pintu kamar, Kiara tidak lupa membawa stick billyard yang kebetulan ada di kamarnya.

Dari atas tangga, Kiara bisa melihat seseorang sedang berjalan dari arah ruang tengah.

Maling? Kiara harus apa ? Pikirannya benar-benar kalut sekarang, waktu menunjukan jam sembilan malam, pasti asisten rumah sudah tidur. Lagian kenapa malingnya masuk jam segini ?

Kiara yang dikalut ketakutan, mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk melabrak maling itu, tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Harus bisa, Kiara pasti bisa.

Gadis itu menuruni anak tangga secara perlahan, dengan stick billyard ditangannya Kiara memukul punggung tegap itu.

BUGH ....

BUGH ...

"Siapa lo, hah?" Gadis itu terus memukul laki-laki itu.

"Maling, kan lo?"

"Sialan lo! Nyari kerja yang benar." Pukulan demi pukulan diterima oleh maling itu.

Orang itu mengerang kesakitan, memcoba untuk melawan Kiara, namun gadis itu terus memukulnya.

"STOP! GUE BUKAN MALING!"

"LO?!" Mata Kiara membulat mendapati sosok laki-laki dihadapannya sekarang, dari pada dia mengetahui rumah Kiara. Seingat Kiara, dia tidak banyak bicara pada laki-laki itu. 

"Gue bukan maling!"

avataravatar