1 01. HALTE ALMARI

Kota Jakarta diguyur hujan lebat pagi ini, tidak ada tanda akan berhenti. Seorang gadis dengan payung berwarna merah baru saja turun dari sebuah angkot. Ia kembali menyebrang ke trotoar sebelah, sekolahnya ada diseberang sana. Langkahnya terhenti ketika seseorang menahan payungnya, sosok laki-laki asing kini berada dibawah payung yang sama dengannya.

Namanya Kiara. Kiara Sofia. Gadis bersurai panjang dengan dua lesung di kedua pipinya. Kiara merupakan siswi di SMA Almari, gadis cantik  dari kalangan atas. Gadis beruntung yang mandapatkan beasiswa penuh di sekolahnya.

Kiara mengerjapkan kedua matanya, mencoba menetralisir jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat. Laki-laki itu tersenyum hangat padanya, hal itu yang membuat Kiara semakin ingin berlama-lama disini.

"Gue boleh kan ikut kesana, motor gue mogok." Kata laki-laki itu sambil menunjuk ke arah bengkel yang tidak jauh dari keduanya. Kiara mengangguk, mereka sama-sama berpegangan pada tongkat payung dan menyebrang.

"Lo sekolah di Almari juga?" tanya laki-laki itu setelah sampai di halte sekolah.

"Iya."

"Nama gue Ibra, kelas dua belas Bahasa satu." Ibra tersenyum sembari mengulurkan tangannya.

Kiara tersenyum, hendak memperkenalkan namanya tapi bunyi bell sekolah sudah berdering. Gadis itu berlalu meninggalkan Ibra dengan berlari kecil menuju gerbang.

***

Ibrahim Gama. Laki-laki itu berdiri di tengah lapangan upacara bendera dengan sikap hormat. Hari ini ini dia terlambat, lagi. Motornya yang mogok membuat dia harus mendorong sejauh satu kilo dan benar-benar tidak menemukan bengkel terdekat.

Laki-laki berparas tampan itu sudah berulang kali berulah, mulai dari terlambat masuk sekolah, bolos, sampai mengerjai gurunya. Mungkin bagi Ibra satu hari tidak melakukan hal tersebut, laki-laki itu merasa ada yang kurang dihari-harinya.

Suasana sekolah tampak sepi, kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Merasa lelah dengan hukumannya, Ibra memilih duduk santai dipinggir lapangan. Pak Budi sudah pasti di kelas sedang mendongeng murid-murid IPS.

Mata Ibra tertuju pada kedua siswi yang sedang berbincang dipinggir balkon, tepatnya didepan kelas dua belas IPS satu. Namun satu yang membuat pandangannya tidak lepas, senyuman gadis yang tadi ia tumpangi payungnya.

Ibra belum sempat bilang terima kasih bahkan dengan nama gadis itu.

"Cantik," gumamnya. Pandangannya benar-benar tidak lepas dari gadis itu.

"Kok gue nggak pernah tahu keberadaan gadis cantik seperti dia di sekolah ini, yang gue tahu cuma Lily yang kecentilan, Agnes yang sok cantik dan cewek-cewek yang suka tebar pesona."

"Ngomong sama siapa lo?" Suara seseorang dari belakang membuat Ibra sedikit tersentak, dia Alexandro Leonardo. Laki-laki yang sudah bersamanya sejak masuk ke SMA Almari.

"Nggak." Matanya sudah berpaling dari pemandangan diatas sana. "Bu Tiwi sakit lagi?"

Leon duduk disamping Ibra, tangannya bersedekap ke dada. Suasana diluar ruangan cukup dingin karena baru selesai hujan. Sepertinya laki-laki itu juga tidak mendengar pertanyaan Ibra, dia tidak mengeluarkan sepata katapun.

"RIMA!"

"Panggil siapa lo?" tanya Ibra, ia penasaran siapa itu Rima.

"Yang senyum ke gue, mantan pacar  pas zaman  SMP."

Ibra mangut-mangut paham, selera Leon berkelas juga ternyata.  "Terus yang sama dia, lo kenal?"

"Anak beasiswa Almari. Kiara Sofia." Jawab Leon.

"Jadi, itu yang namanya Kiara, anak beasiswa penuh di yayasan Gama Group sampai ke perguruan tinggi nanti?"

"Benar banget, dia juga yang mewakili sekolah dipertukaran pelajar ke Korea Selatan kemarin."

"Gue mau kenalan sama dia." Ucapan Ibra berhasil membuat Leon tertegun, sudah tiga tahun mengenal Ibra dan baru sekarang sahabatnya ini tertarik berkenalan dengan perempuan.

Bukan tidak normal, selama ini Ibra hanya belum mendapatkan yang sesuai dengannya.

"Serius?" tanya Leon memastikan.

Ibra mengangguk.

"Gue bantu," Leon menepuk pundak Ibra dengan pelan.

***

"Ra, ini pak Budi gak masuk apa gimana ?" tanya salah satu teman kelas Kiara, kebetulan pagi ini pelajaran Sejarah.

Kiara menjabat sebagai sekretaris di kelasnya sekaligus bendahara Osis. Bulan November masa jabatan pengurus osis tahun 2018/2019 akan selesai, karena sebagian dari mereka sudah kelas dua belas.

"Barusan gue dapat kabar, beliau lagi keluar." 

Satu kelas bersorak senang, beberapa dari mereka tidak mengerjakan tugas yang diberikan minggu kemarin. Kiara tidak habis pikir dengan mereka, apa yang mereka lakukan di rumah sehingga tidak sempat mengerjakan tugas. Padahal jika dipikir-pikir, sebagian besar mereka dari keluarga berada yang tidak perluh bekerja keras.

"Ra, tugas bu Tiwi gimana?"

"Nanti malam ke rumah aja, kebetulan tante Erna ke Bandung."

Rima mengacung jempolnya pertanda setuju pada Kiara. Gadis itu beranjak dari hadapan Rima, langkahnya terhenti ditepi balkon. Gadis itu memperhatikkan seorang siswa yang sedang dihukum berdiri ditengah lapangan upacara dengan sikap hormat. Pasti terlambat pikir Kiara dan sudah pasti itu hukuman dari pak Budi.

Kiara menengada tangannya ke langit, rupahnya cuaca masih sedikit gerimis. Kasihan sekali laki-laki dibawah sana, tapi itu memang kesalahannya.

"HAYO, lihat apaan ?"

"Rima, kebiasaan deh." Kiara sedikit terkejut dengan kedatangan Rima, gadis itu selalu membuat jantungnya berdebar tak karuan dengan kebiasaannya.

"Maaf, Ra. Habis serius banget, lihat apaan sih?!"

"Ada yang dihukum, kayaknya telat." Jawab Kiara, telunjuknya mengarah pada lapangan.

"Palingan juga pak Budi," kata Rima.

Mereka bercengkrama santai dipinggir balkon, menikmati hembusan angin pagi yang sejuk. Kiara sebagai pendengar yang setia mau mendengar semua cerita sahabatnya, sesekali ia tertawa dengan beberapa tingkah aneh Rima.

Ajaib sekali sahabatnya yang satu itu, Rima memang gadis yang penuh dengan keceriaan. Tidak heran jika hampir satu sekolah mengenali gadis itu, sikap menyebalkannya pun tidak pernah membuat Kiara kesal.

"Lo tahu nggak, Ra?"

"Nggak!" jawab Kiara, bercanda.

"Yehh, makanya dengar dulu."

"Apa? Jangan cerita yang gak benar," ujar Kiara, mengingat Rima selalu membawa kabar yang tidak sesuai alias hoax.

"Agnes sama Lily jatuh di jalan Mawar, dekat simpang komplek perumahan lo." Rima bercerita sembari tertawa, wajahnya seperti tengah membayangkan kedua musuhnya itu.

"Gimana ceritanya?" tanya Kiara penasaran.

"Kebetulan kemarin itu gue sama bunda ke supermarket terus lewat sana, ehh tiba-tiba ada kerumunan orang yang dipinggir jalan. Gue penasaran dong, bunda juga ngerasa kasihan karena dari jauh korbannya cewek, turunlah kita. Pas dekat, gue kanget banget. Terus kata orang disitu, mereka nabrak gerobak bakso. Kasihan banget muka mereka, untungnya pakai helm."

"Kasihan," ucap Kiara ibah.

"RIMA!!!"

Suara lantang dari lapangan mengalihkan pandangan Kiara dan Rima, dua orang laki-laki sedang duduk di pinggir lapangan, yang pastinya itu adalah Leon dan satu lagi, Kiara tidak mengenalinya. Rima tersenyum hangat membalas panggilan mantan kekasihnya itu.

"Mantan tu," goda Kiara, menyenggol bahu Rima.

"Kiara, udah masa lalu, lagian gue mau fokus masa depan." Ucap Rima membela diri.

Kiara tertawa pelan, matanya kembali melihat ke lapangan. Laki-laki yang bersama Leon sepertinya tidak asing dipikirannya. Sepertinya Kiara pernah bertemu, tapi dimana. Gadis itu coba untuk mengingat dan benar saja laki-laki itu yang menumpangi payungnya pagi tadi.

"Nama gue Ibra, kelas dua belas Bahasa satu." 

Suara perkenalan itu terdengar kembali, sosok laki itu tidak pernah muncul dihadapan Kiara selama tiga tahun sekolah di Almari.

***

Bell pulang sekolah berdering dengan keras, siswa-siswi berhamburan keluar kelas untuk kembali ke rumah mereka. Ibra dan Leon segera menuju parkiran, Leon sudah berjanji untuk mengantar Ibra mengambil motornya dibengkel. Padahal bengkelnya tidak jauh dari sekolah, jalan kaki pun tidak sampai lima menit.

Langkah Ibra berhenti meninggalkan Leon yang sudah dekat parkiran, ada yang lebih penting dari motornya sekarang. Gadis pemilik lesung pipi itu menarik perhatiannya, Ibra mau menyapahnya sekarang juga.

"Leon ... Balik duluan,  gue ada urusan."

Pemuda itu berlalu meninggalkan Leon sendirian, biarkan saja.

Ibra mengikuti langkah Kiara secara diam-diam, sepertinya gadis itu menuju halte sekolah. Ibra ingat, tadi pagi ia sempat melihat Kiara turun dari angkot sebelum ikut menumpang payung gadis itu.

Di halte banyak siswa-siswi yang sedang menunggu jemputan, Ibra tersenyum ketika Kiara membalikkan badannya, mungkin gadis itu sudah mencurigai keberadaannya.

"Hay, Kiara."

"Kamu?" Kiara bingung dengan keberadaan cowok itu, kenapa bisa dia mengikutinya?

"Ibra. Yang tadi pagi numpang payung sama lo. Masih ingat kan?" Ibra ingin memastikan, siapa tahu gadis dihadapanya itu sudah lupa padanya.

"Aku nggak pikun, jadi aku ingat." Jawab Kiara canggung. Banyak murid disana memperhatikan mereka, apa mereka berpikir bahwa Ibra dan Kiara punya hubungan?

"Nunggu angkot, ya?" tanya Ibra sedikit basa-basi.

Kiara hanya berdehem, sedikit tidak nyaman dengan tatapan anak-anak SMA Almari.

"Jurusan apa?" tanya Ibra sekali lagi.

"Jurusan IPS," jawab Kiara tanpa berpikir panjang.

"Ehm, maksud gue angkotnya yang jurusan apa."

"Oh, Kencana." 

Angkot ke arah jalan Kencana memang sedikit susah, bisa sampai satu jam untuk menunggu. Seperti saat ini banyak dari anak Almari yang sedang menanti kedatangan angkot dengan nomor 212 tersebut.

Ibra masih tetap berdiri disamping Kiara, apa yang mau laki-laki itu lakukan?

"Angkotnya lama," keluhnya. Kiara mengangkat satu alisnya, pikirnya mungkin Ibra juga menunggu angkot yang satu arah dengannya.

"Arah Kencana juga ternyata, turun dimana?" tanya Kiara

"Siapa bilang? Gue mau memastikan lo naik angkot dan juga mau bilang sama supirnya untuk hati-hati, soalnya dia bawah calon ibu dari anak-anak gue!"

Kirana terperangah dengan perkataan Ibra, maksudnya Kiara calon ibu dari anak-anaknya? Cowok  ini type cowok yang sangat percaya diri. 

Ibra tersenyum mendapati raut wajah Kiara yang memerah, menurut Ibra gadis dihadapannya ini sangat menggemaskan.

"Nggak masalah lo bilang gue garing, yang penting gue suka."

Beberapa saat kemudian, angkot 212 tiba di halte sekolah, cepat-cepat Kiara masuk. Gadis itu tidak mau berlama-lama disini.

Sedangkan Ibra masih berdiri disana, tatapannya tidak lepas dari gadis cantik itu.

"Pak, nggak usah kebut-kebut, didalam banyak cewek." 

Supir itu mengangguk patuh padanya dan segera  meninggalkan pelataran SMA Almari.

Sepertinya ia jatuh hati pada Kiara. Gadis itu sudah berani memenuhi pikirannya, merepotkan perasaan saja. Kalau sudah seperti ini, Ibra akan mengejarnya sampai menjadi miliknya.

***

Suara teriakan dari dalam rumah mempercepat langkah kakinya, sepulang dari bengkel Ibra langsung ke rumah. Keadaan di ruang tengah sudah seperti kapal pecah, guci-guci yang menghiasi ruang itu sudah hancur berkeping dilantai.

Wanita bersurai panjang dengan balutan blazer hitam sedang menagis dibawah anak tangga, tangan  berdarah.

Ibra berlari mendekati mamanya yang sudah seperti orang sakit jiwa. Ya, wanita itu adalah mama Ibra, Ratna.

"Mama ..."

Ratna masih terhanyut dalam tangisan, tidak perduli dengan kehadiran putranya.

Ibra mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, mencoba untuk mencernah kejadian ini. Ibra sendiri belum tahu permasalahannya, kenapa sampai mamanya seperti ini.

"Ma, luka mama harus diobatin. Darahnya makin banyak yang keluar," katanya sembari mengusap lembut tangan itu.

"Bawah pulang papa kamu, Ibrahim!" Perintah  Ratna dengan tatapan memohon pada putranya. Suaranya sangat keras, tidak ada kelembutan yang biasa Ibra lihat.

"Maksud mama? Ibra nggak ngerti."

"Wanita itu sudah berani membujuk papa kamu untuk menceraikan mama," kata Ratna dengan suara yang masih keras.

Mata Ibra memanas, apa yang ditakutkan selama ini akhirnya terjadi. Papanya  ingin menceraikan mamanya. Ibra sendiri sudah tahu tentang perselingkuhan yang dilakukan papanya.

"Bajingan!" Tangannya terkepal kuat bersiap untuk memukul laki-laki brengsek seperti Alan, papanya.

Ibra bangkit dari duduknya, ia mengambil kotak P3K untuk mengobati luka ditangan Ratna.

Yang terpenting sekarang luka dan mental Ratna, ia tidak mau kehilangan perempuan kesayangannya. Urusan Alan bisa nanti, sudah dipastikan Ibra akan mengatasinya.

Ibra menyentuh tangan Ratna dengan lembut,

"Ma, lukanya biar Ibra obatin dulu."

"Bawah pulang papa ke rumah,"  lirih Ratna, emosinya sudah sedikit meredah.

"Ibra janji bawah pulang papa, Ibra janji buat papa bertekuk lutut dihadapan mama."

Laki-laki itu menangis dalam diam, air matanya meluruh tanpa persetujuannya. Ibra pikir kehidupan keluarganya akan selalu harmonis, bahkan untuk membayangkan hal seperti ini selalu dihapusnya jauh.

Keadaan Ratna begitu berantakan, Ibra yakin sekali mamanya baru tiba dari bisnis tripnya. Untuk saat ini Ibra belum bisa memaksa Ratna untuk menceritakan semuanya, tunggu keadaan wanita sudah membaik. Ibra yakin Ratna mau menceritakan.

Ibra selesai mengobati luka ditangan Ratna, kemudian mengantar wanita itu ke kamarnya. Wanita itu perluh istirahat yang cukup. Jangan sampai Ratna jatuh sakit untuk kesekian kalinya, apalagi ditambah dengan permasalahan degan Alan, papanya.

Ibra  keluar dari kamar mamanya setelah memastikan Ratna tertidur dengan pulas, laki-laki itu pergi ke kamarnya untuk membersihkan badan yang seharian beratifitas di sekolah. Tapi sebelum itu dia menyempatkan diri untuk menelepon seseorang.

"Terus ikuti bajingan itu!" perintahnya pada seseorang yang dihubunginya, dan memutuskan panggilan begitu saja.

"Bukan karena lo bokap gue, jadi gue harus takut sama lo. Lo salah, brengsek!"

***

GIMANA CHAPTER SATU?

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR!

TERIMA KASIH SUDAH BACA CERITA INI.

avataravatar
Next chapter