webnovel

Pertengkaran

Mataku tidak lepas memandang ke lantai bawah. Menatap dua orang yang sangat kukenal. Aku baru saja keluar dari kamar Harry, membantunya membersihkan diri. Perlahan kuturuni anak tangga satu persatu, sorot mataku tidak lepas dari mereka. Jane terlihat sangat bahagia sekali saat membawa kue ulang tahun pada Kevin. Aku mengernyit. Siapa yang ulang tahun? Kevin ulang tahun?

"Selamat ulang tahun Kevin. Kau harus mencicipi kue buatanku. Ini khusus untukmu," ujar Jane pada Kevin dengan nada penuh antusias.

Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Langkahku terhenti seketika mendengar ucapan Jane. Perasaanku antara hancur dan senang. Tapi aku lebih merasakan kehancuran di bandingkan senang. Aku sebagai istrinya sama sekali tidak tahu hari ulang tahun Kevin, tapi Jane dia sepertinya sangat mengingat hari ulang tahun Kevin. Dan perihal kemarin, Jane memasak untuk Kevin? Hatiku semakin sesak mengetahui itu.

Jane dan Kevin menoleh bersamaan saat menyadari kehadiranku yang sedang mematung di dekat mereka. Senyum Jane masih tak lepas dari bibirnya, sementara Kevin hanya menampakkan ekspresi yang tidak bisa kumengerti.

"Oh aku tahu kenapa kau tidak mau memakan kueku. Kau sudah kenyang karena Luna sudah memberikanmu kue kan?"

Aku dan Kevin saling bersitatap cukup lama, lalu aku menatap Jane dan memberikannya senyuman yang sedikit kupaksakan. Ini salahku yang tidak tahu ulang tahun Kevin. Jangan salahkan siapa pun Luna. Salahkan dirimu, umpatku pada diriku sendiri.

"Kevin belum memakan kue ulang tahun," ujarku pada Jane lalu aku beralih pada Kevin. "Kurasa kue Jane enak. Dari kemarin dia sudah menyiapkannya untukmu."

Jane memotong kuenya dan memberikan pada Kevin. Setelah itu ia mengambil kotak kecil. "Aku tahu hadiahku mungkin tidak sebagus hadiah dari istrimu. Tapi kuharap kau menyukainya."

Jangankan memberikan Kevin hadiah, aku saja baru tahu Kevin ulang tahun hari ini. Ck. Istri macam apa aku ini tidak mengetahui suaminya sendiri ulang tahun, malah Jane yang tahu. Kedua telapak tanganku berkeringat. Rumah ini serasa sangat panas bagiku. Sepertinya Jane sangat mengenal Kevin dengan baik.

Kevin tersenyum kecil seraya menerima kotak kecil itu lalu memasukannya ke dalam kantong celananya tanpa melihat isi dari kotak itu. Aku jadi penasaran apa yang Jane berikan pada Kevin.

"Memang tidak ada yang bisa menandingi hadiah dari Luna," gumam Kevin seraya tangannya melingkar di pinggulku dan menarikku dalam dekapannya. "Terima kasih kue dan kadonya. Aku menghargai itu, Jane."

Aku tidak tahu harus merasa senang atau sedih mendengar Kevin bicara seperti itu. Hanya saja aku merasa gagal menjadi seorang istri.

"Memangnya apa yang Luna berikan? Aku jadi penasaran," Jane memamerkan giginya yang rata.

Mengapa aku merasa Jane sedang menjatuhkanku? "Aku tidak memberikannya apa-apa, bahkan aku tidak ingat ulang tahunnya," puas?! Lanjutku dalam hati.

Jane terbelalak dan Kevin kurasakan gerakannya terkejut setelah mendengar ucapanku yang spontan tadi. Oh Luna, apa kau sedang mempermalukan dirimu sendiri di depan Jane yang kurasa sedang mencuri perhatian Kevin? Wanita dalam batinku menjerit tidak terima. Aku tidak tahu sikapku ini terlalu kekanak-kanakan atau tidak. Yang jelas aku benar-benar kesal pada diriku sendiri dan mereka berdua. Untuk apa Jane repot-repot membuatkan kue untuk Kevin? Bukankah Jane sudah mempunyai kekasih? Aku kembali mengingat ucapan Jane waktu itu. Bahwa kekasihnya mempunyai tanggung jawab terhadap wanita lain yang kuartikan kekasihnya sudah memiliki istri dan kekasihnya itu sebenarnya tidak mencintai istrinya, hanya keterpaksaan saja. Tapi jika itu Kevin, rasanya tidak mungkin. Tapi dilihat dari sikap Kevin kemarin-kemarin perihal siapa-kekasih-Jane, itu sedikit membuktikan. Ah kepalaku sakit memikirkan ini.

"Kau pasti bercan-"

"Kehadirannya sudah menjadi hadiah terindah," potong Kevin cepat.

"Oh," gumam Jane. Sekarang ia terlihat tidak suka saat mendengar Kevin membelaku atau itu hanya perasaanku saja yang sedang sensitif? "Kalian memang pasangan paling romantis. Aku iri akan hal itu."

Aku menarik napasku dalam-dalam dan membuangnya, berusaha menghilangkan rasa kesalku. Jane dan Kevin tidak mungkin bermain di belakangmu Luna. Mereka sepupu dan suamimu. Kau sedang sensitif hari ini karena tidak tahu hari penting suamimu sendiri. Aku berusaha membuang jauh-jauh pikiran burukku. Aku tidak ingin pikiranku merusak hubunganku.

"Terima kasih pujiannya," balasku dengan senyum yang kini ikhlas dari hatiku. "Jika kau menikah, nanti juga pasti akan sering mendengar rayuan gombal dari pasanganmu tiap harinya," aku tertawa kecil.

"Aku sedang tidak merayu atau gombal Luna. Itu murni apa adanya," timpal Kevin. Ia semakin merapatkan tubuhku dengannya. Tangannya melingkari pinggulku dengan posesif.

"Aku harap suamiku nanti akan lebih romantis saat bersamaku," Jane mengedipkan matanya padaku.

Aku mematung seketika ia menyelesaikan kalimatnya. Kalimatnya itu seolah menjelaskan 'aku harap suamiku nanti saat bercerai dengan istrinya, akan lebih romantis padaku' terdengar seperti sebuah sindiran.

"Oh ya Jane, orangku akan mengantarmu. Joe ingin bertemu denganmu di suatu tempat."

Jane menautkan alisnya tanda tidak mengerti lalu ia hanya memberi anggukan seraya berkata, "Baiklah. Aku akan siap-siap dulu. Sekali lagi selamat ulang tahun Kevin Sanders. Aku yakin kausuka dengan hadiahku karena itu adalah hal yang kausukai sejak SMA." Jane pun dengan langkahnya perlahan menghilang dari pandanganku.

Bingo! Mereka memang sudah kenal lama dan tidak menutup kemungkinan dulu atau sekarang mereka mempunyai hubungan khusus yang tidak aku ketahui. Aku langsung menoleh sekaligus mendongak pada Kevin saat Jane benar-benar enyah dari mataku. Saat menatapnya perasaan bingung melanda diriku. Aku ingin marah dan meminta penjelasan tentang hubungannya dengan Jane tapi aku tidak bisa karena aku telah melakukan kesalahan padanya yaitu melupakan hari kelahirannya. Situasi ini menyulitkan perasaanku.

Kevin menundukkan kepalanya, "Nanti malam berdandanlah secantik mungkin tapi jangan memakai pakaian yang seksi," bisik Kevin di telingaku.

Aku bergerak mundur satu langkah agar bisa menatapnya dengan jelas. "Untuk apa?" aku melipat kedua tanganku di dadaku. Ternyata rasa kesalku lebih tinggi dibandingkan rasa bersalahku padanya. Aku tidak bisa menampakkan wajahku yang biasa.

"Berkencan," Kevin kembali menarikku dalam dekapannya. Tangannya menarik lengan kaosku ke bawah. Bibirnya bergerak turun ke bahuku yang telanjang.

"Mengapa tidak berkencan dengan Jane saja? Dia kan yang ingat hari kelahiranmu dan sepertinya dia lebih mengenalmu dibandingkan aku! Sedangkan aku tidak tahu sama sekali. Payah bukan? Aku merasa menjadi istri yang tidak berguna." dadaku naik turun. Nafasku memburu seperti habis lari maraton. Aku tidak bisa menahan kekesalanku.

"Luna jaga bicaramu!"

Aku terkesiap. Mulutku terbuka lebar. Aku tidak menyangka Kevin akan bicara dengan nada tinggi terhadapku.

Kevin mengacak rambutnya kasar. "Aku tidak suka kau bicara seperti itu. Berhenti cemburu pada Jane. Dia tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu," suaranya merendah. Kevin mendesah, membuang kekesalannya.

"Begitu kah? Jika seperti itu kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Mengapa kau terkejut Jane mempunyai kekasih?" aku menyingkirkan tangan Kevin dari pinggulku. Kakiku bergerak mundur selangkah, memberi jarak antara kami.

Kevin menggertakkan giginya. Rahangnya mengeras. "Wajar saja aku terkejut. Dia menghilang selama sembilan tahun dan saat ia kembali, ia bilang mempunyai kekasih? Setahuku selama sembilan tahun itu dia dikurung di tengah hutan. Bagaimana bisa dia mempunyai kekasih? Maka dari itu aku bertanya padamu siapa kekasihnya."

Mataku melotot sempurna. "Dikurung? Siapa yang mengurungnya?"

"Aku tidak tahu dan maka dari itu juga aku tidak memperbolehkannya keluar. Kau mengerti sekarang?" Kevin membalikkan tumitnya. Ia bergerak duduk di sofa. Punggungnya ia istirahatkan di sandaran sofa dan tangannya memijat pelipisnya.

"Oke. Maafkan aku karena telah mencurigaimu," jika kau mengatakannya dari awal aku tidak akan curiga padamu. Aku masih diam berdiri tidak tahu apa yang harus kulakukan. "Tapi satu hal lagi... Apa hubunganmu dengan Jane dulu? Sepertinya dia sangat mengenalmu dengan baik."

Kevin membuka mulutnya ingin bicara namun sepertinya ia mengurungkan niatnya. Bibirnya kini seperti sedang komat-kamit. Aku tahu ia mulai kesal denganku. Tidak seharusnya aku membuatnya kesal di hari pentingnya.

"Kau tidak perlu menja-"

"Dia mantan kekasihku. Dulu," jawabnya secepat mungkin. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar seakan kalimat yang ia lontarkan adalah beban.

Bibirku bergerak tidak bersuara. Apa susahnya sih mengucapkannya sejak awal? Aku menutup rapat-rapat bibirku. Bibirku mengerucut. Aku berjalan melewatinya, mengabaikannya. Demi apa pun, aku tidak bisa mengontrol diriku saat ini. Mengetahui bahwa Jane-sepupuku yang amat cantik dan seksi adalah mantan Kevin, darahku mendidih di dalam tubuhku. Aku masuk ke dalam kamar. Membuka dan menutup pintu kamarku dengan cara membantingnya keras hingga menimbulkan suara yang jelek. Kukunci pintu kamarku itu agar Kevin tidak bisa masuk. Kekesalanku bertambah saat aku mengingat Harry pernah mengatakan bahwa Jane pernah mencium daddynya saat aku pergi belanja beberapa baju. Kupikir Harry hanya halusinasi atau salah paham atau semacamnya, karena saat itu aku menganggap Harry masih terlalu polos tidak tahu apa-apa. Tetapi, setelah mengetahui Jane mantan kekasih Kevin, kupikir Harry benar bahwa Jane mencium Kevin.

"Luna buka pintunya." Kevin mengetuk-ngetuk pintu kamar memaksaku untuk membukakan pintu untuknya.

Aku hanya memandangi pintu kamarku, antara ingin membukakannya atau tidak. Jika aku tidak membukakannya, Kevin pasti tidak akan berhenti berteriak dari luar kamar dan aku khawatir Harry akan melihat pertengkaran orang tuanya. Dengan langkah berat, akhirnya kuputuskan untuk membukakan pintunya tanpa menatapnya.

"Kevin kauingat pada malam itu kau meminta kepercayaanku padamu?" aku berusaha sebisa mungkin tidak bertanya dengan nada tinggi. Aku tidak ingin ada teriakan di antara kami.

Kevin mengangguk.

"Kepercayaanku mulai menghilang saat ini," ucapku pelan, suaraku lebih terdengar seperti bisikan kasar.

Kevin membuka mulutnya seperti terkejut. "Itu artinya cintamu juga mulai menghilang," gumamnya sedih pada akhirnya.

Di mana ada kepercayaan maka di situ ada cinta. Di mana tidak ada kepercayaan maka tidak ada cinta. Itulah yang dulu Kevin katakan padaku. Tidak hanya Kevin yang mengatakan itu, Adam juga pernah mengatakan itu padaku.

Aku menarik napasku, menghirup udara sebanyak mungkin yang kubisa, lalu kuhembuskan pelan. Ini adalah caraku untuk tidak mengikuti emosiku yang mungkin saja bisa merusak semuanya. Kau salah. Cintaku tidak akan lenyap ditiup angin karena cintaku abadi untukmu. Gumamku dalam hati. Kuberanikan diriku untuk menatapnya meski pun aku tidak tega melihat sorotan matanya yang memancarkan kekecewaan padaku.

"Kau dan Jane saat aku pergi pernah berciuman kan? Untuk saat ini pisahkan antara kepercayaan dan cinta karena aku merasa hal itu sudah berbeda," kataku. Semoga ucapanku tidak menyakitinya. Aku ingin Kevin jujur padaku tanpa ada yang ia sembunyikan.

Wajah Kevin tercengang ketika aku mengucapkan 'berciuman'. Tidak salah lagi. Mereka memang melakukannya. Aku memalingkan wajahku, berpura-pura menyari kesibukan dengan memandangi hal lain di kamar selain Kevin.

"Ya memang benar," jawabnya, suaranya nyaris tidak bisa kudengar.

"Hah," desisku kesal. Aku mengepalkan kedua tanganku kuat-kuat yang berkeringat hingga aku merasakan kuku-kukuku menusuk ke dalam telapak tanganku. Aku tidak bisa menahan kekesalanku hingga akhirnya air mata menetes melintasi pipiku. Tubuhku bergemetar karena terlalu kesal.

Tangan Kevin menangkup wajahku hingga mau tidak mau wajahku harus berhadapan dengannya.

"Luna, dengarkan penjelasanku dulu..."

Aku menyeka air mataku, kini aku menatapnya dengan lantang. "Jadi kekasih Jane itu adalah kau ya? Jane pernah bilang bahwa kekasihnya itu mempunyai tanggung jawab pada seorang wani-"

******

Kevin's POV

Kevin menghela panjang. Menahan kekesalannya di dada. Ia kesal pada dirinya sendiri. Luna jika sudah marah seperti ini akan sangat keras kepala. Bagaimana Kevin menjelaskan tentang ciuman itu? Kenapa Luna bisa tahu? Kevin bersumpah, itu hanya ciuman biasa dan Jane yang menciumnya bukan Kevin. Saat itu Kevin sedang melamun dan tiba-tiba saja wanita gila itu menciumnya tanpa rasa malu dan berkata bahwa wanita gila itu masih mencintainya.

"Aku tidak berselingkuh Luna. Aku bersumpah," ujar Kevin, memberi ketegasan di suara baritonnya. "Jane saat itu tidak sengaja meminum anggur yang kusimpan di gudang dan ia mabuk dan mengira aku ini kekasihnya. Dia yang menciumku bukan aku. Aku tidak menikmati ciuman itu. Aku bersumpah, kau harus percaya padaku." Kevin berbohong. Jane tidak mabuk, dia hanya tidak waras.

"Jika bukan karena terpaksa, aku tidak ingin dia tinggal bersama kita," lanjutnya lagi. Kevin menekan kedua bahu Luna, membuatnya terduduk di ujung ranjang. Kevin berlutut dan mengambil tangan Luna lalu menggenggamnya. Ia harus menjaga emosi Luna dan membujuknya. Demi Tuhan, Lunanya sedang hamil dan tidak boleh stress.

Luna terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya. Kevin tidak tahu apa artinya itu.

Suara pintu dibuka dengan cepat. Kevin dan Luna menoleh bersamaan.

"Mommy, Harry tidak tahu cara memakai mobil dan remote control ini," ujar Harry melangkah masuk tanpa melihat Luna. Matanya sibuk pada mainannya.

Kevin mendesah berat. Harry tidak sekarang, batin Kevin. Kali ini Kevin harus berekstra sabar.

Harry menghentikan langkahnya saat melihat mommynya, pandangannya ia alihkan pada daddynya dengan tatapan menuduh. "Daddy, daddy apa kan mommy Harry?!" omel Harry, menjatuhkan mainannya.

Belum sempat Kevin menjawab, Harry sudah bicara terlebih dulu, "Mommy, mommy kenapa menangis? Daddy apakan mommy? Biar Harry jewer kuping daddy," ujar Harry dengan protektif.

Kevin mengusap wajahnya kasar. Ia antara kesal dan ingin tertawa dengan sikap anak kesayangannya yang sangat menyayangi mommynya. Kevin melirik Luna, terlihat ia sedang tersenyum geli melihat tingkah Harry. Kevin sedikit bernapas lega karena Luna sudah tidak menunjukkan kekesalannya lagi walaupun hanya di depan Harry. Hari ini masalahnya dengan Luna harus terselesaikan. Ia tidak ingin rencana nanti malam batal. Acara romantisnya nanti malam tidak boleh batal.

"Daddy tadi tidak sengaja membuat mommy kesal jadi-"

"Tidak sengaja?" selanya cepat.

Kevin tersenyum kecut. Ternyata Lunanya masih kesal. "Tadi daddy membuat mommymu kesal," ralatnya, "mau bantu daddy agar mommymu maafkan daddy?" bujuk Kevin lembut pada anaknya.

Harry mengerucutkan bibirnya. Ia bertolak pinggang seraya menggeleng tidak mau. Oh jadi anaknya juga ikut memusuhinya? Kevin beranjak dan duduk di sebelah Luna. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi agar Luna berhenti marah padanya.

"Kalau Harry tidak ingin membantu, setidaknya biarkan daddy dan mommy berdua. Daddy perlu bicara pada mommy. Ok jagoan?"

Harry menggeleng. "Nanti mommy menangis lagi gara-gara daddy!"

Luna mengusap puncak kepala Harry. "Tadi mommy buat jus. Tolong ambilkan mommy satu di kulkas ya?"

Harry melirik Kevin dengan ragu. Selang beberapa detik Harry mengangguk dan memberi ancaman pada Kevin sebelum ia mengambil jus. "Daddy awas kalau mommy nangis lagi. Harry jewer!" omelnya dengan bibir yang maju.

Seulas senyum muncul begitu saja saat Kevin menerima ancaman yang menggelikan dari anaknya sendiri. Kevin jadi membayangkan jika Harry dewasa nanti pasti akan melindungi mommynya dengan cara yang tidak akan diduga. Saat Harry benar-benar pergi, Kevin memiringkan posisi duduknya agar menghadap Luna dan tangan Kevin memegangi bahunya, memutar tubuhnya untuk menghadapnya. Luna memalingkan wajahnya, detik itu Kevin menarik dagu Luna agar menatapnya.

"Berhentilah marah. Hari ini aku ingin menghabiskan waktu denganmu tidak untuk bertengkar."

Luna menyingkirkan tangan Kevin dari dagunya. "Kau yang memulai," cibirnya.

Bibir Kevin bergerak tidak mengeluarkan suara. Kevin mencondongkan wajahnya pada Luna, berniat mencium bibir Luna yang sedang merengut. Namun sayang, Luna memalingkan wajahnya hingga ciuman itu tidak terjadi. Kevin mendesah frustrasi. "Apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku? Kauingin Jane tidak tinggal di sini? Jika ya, akan kulakukan itu demimu."

Luna langsung menatap Kevin antara tidak percaya dan terkejut. Kevin bisa menebak bahwa Luna memang tidak ingin Jane tinggal di sini semenjak Luna tahu bahwa Jane adalah mantannya. Ia seperti menyimpan dendam tersendiri pada Jane perihal ulang tahun tadi. Sebenarnya Kevin juga tidak ingat hari kelahirannya.

Diam Luna menjawab semuanya. Kevin akan memindahkan Jane ke tempat apartemen lamanya. Ia tidak ingin kehadiran Jane merusak hubungannya dengan Luna. "Besok dia akan pergi dari sini. Semoga kau tidak marah lagi. Waktu kita terlalu berharga, jangan menyiakannya dengan bertengkar seperti ini. Aku ingin melewatkan waktu berharga kita dengan momen-momen yang indah," ujar Kevin. Kevin bukanlah tipe pria yang romantis yang suka melontarkan kata-kata manis. Tapi entah kenapa, jika sedang bersama Luna, Kevin tidak bisa untuk tidak bersikap romantis. Ini memang terlihat menggelikan memang.

Luna masih saja terdiam dengan ekspresi datar. Apa kata-kata romantisnya barusan tidak meluluhkan hati Luna? Pikir Kevin. Apa lagi yang harus ia lakukan? Ia sudah berniat akan mendepak Jane dari rumahnya dan Kevin sudah mengeluarkan sejuta romantisnya pada Luna. Kevin tahu ini terlihat berlebihan tapi sungguh, hari ini dia ingin menghabiskan waktunya dengan Luna tanpa ada pertengkaran, tanpa ada Harry untuk sementara. Sudah lama Kevin tidak berkencan dengan Lunanya.

"Luna," lirih Kevin.

"Oke." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Luna. Oke? Oke apa? Apa artinya itu? Kevin tidak mengerti Luna sudah memaafkannya atau belum. Jawaban 'oke' bukanlah jawaban yang ia ingin dengar.

"Oke apa?"

"Ya oke untuk semuanya," balasnya datar.

Kevin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kuartikan itu kau memaafkanku dan kau mau pergi denganku nanti malam."

Luna hanya membalasnya dengan anggukan saja. Entah ia benar-benar mau atau ia hanya terpaksa. Yang penting acaranya hari ini dengan Luna tidak boleh dibatalkan.

******

Aku melangkah mundar-mandir di kamar. Isi otakku rasanya seperti benang kusut yang sedang menyelubungi bom yang akan meledak dalam beberapa detik. Hadiah apa yang harus kuberikan pada Kevin? Itulah yang membuatku pusing sejak tadi. Walaupun setiap hari aku bersamanya, aku masih sulit mengetahui benda apa yang Kevin sukai. Kevin termasuk pria yang sulit ditebak jika menyangkut hal-hal kesukaannya. Yang kutahu ia hanya menyukai olahraga di ranjang. Kalian tahu apa maksudku.

Aku jadi penasaran hadiah apa yang Jane berikan pada Kevin. Dan aku khawatir jika Kevin nantinya lebih menyukai hadiah dari Jane di bandingkan hadiah dariku.

Aku menghempaskan bokongku kasar ke ranjang. Kakiku sudah pegal dari tadi tidak berhenti mundar-mandir. Aku bisa gila jika seperti ini terus. Apa yang harus kuberikan pada Kevin? Apa aku harus memakai pakaian superseksi dan menggodanya dan mengatakan selamat ulang tahun disela-sela kenikmatan kami? Jika ya itu ide gila dan terkonyol yang pernah kupikirkan, bisa juga ide terbodoh. Bercinta dengannya bukan lah hadiah tapi kegiatan rutin.

"Kau sedang apa?"

Aku terkesiap menyadari Kevin sedang duduk di sofa dengan laptopnya. Sejak kapan dia di sini? Bukannya tadi aku menyuruhnya keluar?

Kevin mulai mengabaikan laptopnya dan fokus memandangiku. "Aku tidak perlu hadiah ulang tahun. Jadi jangan memusingkannya," ujar Kevin, sok tahu dengan apa yang ada di dalam pikiranku meski pun apa yang ia katakan benar.

Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Kevin, seharusnya ia kesal karena aku sama sekali tidak mengingat hari kelahirannya tapi ia malah bersikap sebaliknya. Kevin hari ini lebih memilih menghabiskan waktu bekerja di rumah padahal aku beberapa jam yang lalu kesal setengah mati dengannya.

"Luna berhenti memikirkan hadiah untuk ulang tahunku. Aku sendiri tidak ingat. Lebih baik kau duduk disampingku, menemaniku." Kevin memberi seringaian lebar. Seringaian yang membuatnya terlihat bodoh.

Lagi, ia tahu apa isi otakku.

Aku menarik napasku dalam-dalam. Terkadang sikapnya membuatku kesal seperti sekarang ini. Kejadian Jane tadi sebenarnya ada hikmahnya karena aku baru mengetahui ulang tahun Kevin, tapi tetap saja aku masih kesal. Ingat, Jane pernah mencium Kevin dan mereka adalah mantan kekasih!

"Sebenarnya apa sih yang ada di otakmu itu? Kau seharusnya marah karena aku tidak-"

"Karena kau tidak ingat ulang tahunku?" ulangnya, melengkapi kalimatku. "Luna, kita bukan anak remaja lagi yang meributkan ulang tahun kekasihnya. Kita sudah dewasa dan ingat kita sudah menjadi orang tua. Tapi aku juga tidak ingin dikatai tua. Ulang tahun bukan sesuatu yang harus dirayakan, cukup disyukuri saja. Jadi berhentilah memusingkan itu. Aku pusing melihatmu mundar-mandir tidak jelas. Dan aku yakin, anak dikandunganmu juga ikut pusing melihat mommynya yang tidak jelas."

Dalam sekejap, aku terpana mendengar pidatonya. Aku tidak tahu ia bicara seperti itu hanya untuk menyenangkanku atau memang tulus dari isi hatinya. Yang jelas saat ini aku merasa bangga menjadi istrinya.