1 BAB 1 : Gadis yang Sama

-Kedai Coffe Clarissa-

Seorang Barista berjalan pelan menuju meja pelanggan nomor 9, dari kejauhan ia dapat melihat ada dua orang laki-laki yang menempati meja itu, dan ia sangat mengenal kedua laki-laki itu, disamping seumuran, mereka sering mengobrol dan cukup dekat, kedua laki-laki itu juga menjadi pelanggan tetap di kafe tempatnya bekerja. Kafe besar milik keluarga Clarissa.

"Silahkan dinikmati kopinya tuan-tuanku." ucap Barista itu yang sudah tiba-tiba ada di depan kedua laki-laki yang sedang sibuk berbincang dan tertawa lepas.

"Terima kasih Tuan Barista." ucap salah satu laki-laki berambut gondrong yang memiliki lesung pipi di kedua pipinya.

"Hah… Bagaimana kabar kalian? Beberapa hari ini sibuk ya? Sehingga tidak sempat berkunjung kesini?" tanya Barista itu sekedar basa-basi. Menyempatkan diri di tengah-tengah kesibukannya, kebetulan Kedai tidak sedang ramai pengunjung saat ini. Jadi tak ada salahnya ia mengobrol dengan teman akrabnya dari SMA Bintang, salah satu SMA ternama di Bali. Percayalah hanya orang-orang kelas atas yang bisa sekolah disana, karena biaya SPP per bulannya bisa seharga 1 motor matic keluaran terbaru.

"Tidak juga. Sebenarnya bukan aku yang sibuk, tetapi dia." ucap sang pemilik rambut gondrong menunjuk laki-laki yang berambut lebih rapi darinya, potongan rambutnya pendek dan ia terlihat cocok dengan gaya rambut itu, menambah kadar ketampanannya. 

"Hahahaha… Sibuk apa?" tanya Barista itu lagi mulai penasaran.

"Biasalah, apalagi jika bukan Olimpiade tingkat Nasional mata pelajaran Geografi?" tanya balik laki-laki berambut gondrong itu kepada Sang Barista dan menaik-turunkan alisnya. Namun laki-laki yang sedang menjadi bahan pembicaraan itu hanya diam dan menyimak saja. Ia terlalu malas bicara basa-basi. Bukannya tak suka, ia hanya tak ingin membuang-buang tenaganya.

"Wah hebat sekali Tuanku yang satu ini. Dapat juara kah?" tanya Barista itu lagi beralih menatap laki-laki berambut pendek itu yang kerap di panggil Bisma. Ya, dia adalah Bisma Anggara. Laki-laki terdingin dan tercuek yang pernah ia kenal. Irit bicara adalah ciri khasnya. Bahkan ia tak pernah mendengar Bisma bicara lebih dari 20 kata.

Namun seperti perkiraannya, Bisma tak menyahutinya bahkan memberikannya senyum pun tidak. Bisma hanya diam dan mengaduk-aduk kopinya tanpa berniat menatap Sang Barista.

Ketika melihat Sang Barista yang tidak dihiraukan oleh Bisma sama sekali, laki-laki berambut gondrong itu pun merasa iba, ia pun berkata.

"Jangan ditanya lagi dapat juara berapa, sudah pasti Juara 1 Tingkat Nasional." ucap laki-laki berambut gondrong itu, dengan gerakan cepat ia bertepuk tangan di depan Bisma sebagai bentuk rasa bangganya terhadap sahabatnya sendiri.

Seketika itu juga Bisma mengangkat wajahnya dan menatap sahabatnya dengan tatapan dingin dan menusuknya. Tidak, Bisma bukannya marah, melainkan ia malu dengan pengunjung Kedai lainnya yang sudah mulai memusatkan perhatiannya ke meja mereka.

"Bisa berhenti tepuk tangan Tuan Angkasa?" tanya Bisma memberikan  tatapan tajamnya terhadap Bastian. Ya benar, dia adalah Bastian Angkasa. Sahabat terbaiknya, bahkan ia sudah menganggap Bastian saudaranya. Kemanapun mereka selalu bersama. Seperti anak kembar. Ah tidak! Lebih tepatnya seperti pinang dibelah dua.

Seketika itu juga nyali Bastian menciut. Ia tidak ingin mencari masalah dengan Bisma. Bisma jika sudah marah sangatlah menakutkan. Dan hanya satu penenangnya, kopi. Hanya kopi  yang Bisma suka. Tidak seperti dirinya yang suka berbagai jenis minuman.

"Oke." ucap Bastian langsung menghentikan tepukan tangannya.

Barista yang menjadi saksi perang dingin itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.  Pertengkaran yang sangat tidak masuk akal baginya. 

"Darren, pesan kopinya satu lagi dong buat Bisma, sebagai tanda permintaan maafku untuknya." ucap Bastian pada Barista yang ada di depannya. Darren Danendra, adalah nama dari Sang Barista yang sejak tadi berdiri mengobrol dengannya.

"Baik Tuan, tunggu sebentar." ucap Darren membungkuk kearah keduanya dan pergi meninggalkan meja nomor 9.

10 menit kemudian…

Ketika Darren akan ke meja nomor 9 lagi, ia sedikit terlonjak kaget karena suasana telah berubah, tak ada lagi suasana mencekam seperti tadi. Semuanya berganti cerah. Secerah matahari di pagi hari, dan secerah hatinya saat ini tentunya. Dua orang laki-laki itu kembali berbincang seperti tadi dan terlihat tersenyum dari kejauhan.

Darren berjalan menghampiri meja nomor 9 dan sama seperti tadi, ia hanya berkata,

"Selamat menikmati kopinya Tuan-tuanku." ucap Darren dengan senyum sumringah melayani kedua pelanggan setianya.

"Terima kasih." bukan, bukan kata-kata itu tidak keluar dari mulut Bastian, melainkan Bisma.

Untuk kedua kalinya Darren dibuat terkejut berkali-kali. Seorang Bisma mengatakan terima kasih padanya? Apakah ini mimpi?

Dan Darren tersadar lalu tersenyum canggung, "Iya sama-sama Bisma." Ucap Darren mengangguk sekilas.

Darren merasa sangat penasaran dan ingin bertanya sesuatu pada keduanya. Namun ia tak bisa menjamin bahwa keduanya akan menjawab pertanyaannya. Namun ia akan mencobanya terlebih dahulu, daripada ia tidak bisa tidur nanti malam karena memikirkan ini?

"Kalian berdua terlihat bahagia, ada apakah gerangan?" tanya Darren memberanikan diri bertanya pada Bastian maupun Bisma dan menatap keduanya bergantian.

"Aku sedang dekat dengan seorang Gadis."

"Aku sedang dekat dengan seorang Gadis."

Ucap Bastian dan Bisma berbarengan. Dan itu cukup membuat Darren merasa terkejut untuk yang ketiga kalinya.

"Apa?" tanya Bastian lebih dulu tersadar dengan situasi saat ini.

"Apanya yang apa?" tanya Bisma bertanya balik dan memberikan sorot bertanya pada Bastian.

"Kamu sedang dekat dengan seorang Gadis? Siapa? Kenapa tidak cerita padaku?" tanya Bastian merasa tidak terima akan kenyataan ini. Kenapa harus Darren yang diberitahu duluan dan bukan dirinya?

"Iya. Namanya Caca. Belum tepat saja waktunya, jadi aku hanya diam dan memendamnya. Lagipula aku baru dekat dengannya beberapa hari." sahut Bisma memberitahu alasannya mengapa ia tidak memberitahu Bastian lebih dulu.

"Caca? Permen caca?" tanya Darren ikut nimbrug di pembicaraan keduanya. Jam istirahat kerja telah tiba, dengan gerakan cepat ia ikut duduk bergabung di meja nomor 9 dan mengobrol dengan suka ria bersama Bastian dan Bisma.

Bisma menatap Darren dengan tatapan tajam karena ia tidak terima dengan gurauan Darren terhadap Gadis yang disukainya. "Bukan, nama panggilan kecilnya Caca." ucap Bisma singkat.

"Bercanda Tuanku, jangan dibawa serius terus ah." ucap Darren dengan nada canggung. Ia merutuki kebodohannya tadi. Sudah tahu Bisma orangnya agak sensitive, masih saja ia ajak bercanda. Ice kutub pun kalah dengan dinginnya sifat Bisma.

"Hm." sahut Bisma hanya berdeham sebagai jawaban bahwa ia tidak marah pada Darren. Bagaimanapun juga ia sudah menganggap Darren temannya, walaupun bukan teman dekatnya. 

"Kalau Caca nama panggilan kecilnya, nama panggilan besarnya siapa? Ah tidak! Bukan, maksudku nama panggilannya yang sekarang siapa?" tanya Bastian ingin tahu lebih lanjut tentang siapa Gadis yang berhasil menaklukkan hati sahabatnya itu. Sungguh Gadis yang hebat dan luar biasa bisa membuat Pangeran Ice menjadi luluh.

Bisma mengendikkan bahunya, "Mana aku tahu, aku baru dekat dengan Gadis itu beberapa hari. Dan dia hanya memperkenalkan namanya sebagai Caca. Aku tak berani bertanya lebih jauh, namun aku menyukainya." ucap Bisma dengan panjang lebar. Ya, itu adalah kalimat yang panjang bagi Bisma. Lebih dari dua puluh kata.

Baik Bastian maupun Darren terbengong-bengong. Ini pertama kalinya Bisma bicara sepanjang itu. Mereka berdua tak pernah mendengar Bisma bicara sepanjang itu.

"Kalau kamu sedang dekat dengan siapa?" tanya Bisma lagi.

"Ada, perempuan." sahut Bastian tersenyum malu-malu.

"Iya... Aku tahu jika kamu sedang dekat dengan perempuan, masa laki-laki? Maksudku siapa nama perempuan itu?" kini giliran Darren yang bertanya pada Bastian.

"Namanya Stella." sahut Bastian tersenyum sumringah hingga menampilkan gigi-gigi putihnya dan lesung pipinya yang terlihat menawan bagi siapapun yang melihatnya.

"Pengharum ruangan?" tanya Bisma menatap Bastian.

"Hah? Maksudnya?" tanya Bastian tidak mengerti dan menatap Bisma dengan tatapan bertanya.

Sedangkan Darren sudah tertawa terbahak-bahak di tempatnya. Darren lumayan cepat mencerna apa yang dimaksud  Bisma tadi.

"Stella bukannya merk pengharum ruangan?" tanya Bisma lagi dengan tatapan tak berdosanya.

"Astaga, sabar Bastian, sabar." ucap Bastian mengelus dadanya pelan dan menenangkan dirinya agar tidak tersulut emosi. Bagaimanapun juga ia baru saja berbaikan dengan Bisma. Masa harus berdebat lagi hanya karena masalah sekecil ini?

"Namanya Stella siapa?" tanya Darren tak mau kalah mewawancarai Bastian yang sudah mulai tidak kesal lagi.

"Stella Devani Clarissa." ucap Bastian membusungkan dadanya dengan bangga.

"Oh." sahut Bisma ber-oh ria dengan raut wajah cueknya.

Sedangkan Darren hanya geleng-geleng kepala melihat keduanya. Bagaimana bisa kedua laki-laki di depannya ini bersahabat baik sedangkan sifatnya bertolak belakang?

***

-Di dalam mobil Bisma-

"Kamu mau ikut aku tidak? Nanti sore aku akan bertemu dengan Stella." tanya Bastian mengawali percakapan yang hening sejak tadi, hanya suara alunan musik yang terputar di mobil Bisma.

"Tidak. Aku ada janji dengan Caca juga malam ini." sahut Bisma menolak secara halus ajakan Bastian. Ia tak berbohong, Caca memang mengajaknya bertemu nanti malam. Kata Caca sih mau ada yang ia bicarakan pada Bisma. Bisma pun tak tahu itu apa.

"Oh begitu. Ya sudah Good Luck my bro." ucap Bastian tersenyum bahagia. Ia memang merasa bahagia karena Bisma bisa dekat dengan seorang Gadis. Walaupun ia tidak tahu siapa Gadis itu dan belum sempat berkenalan. Tapi ia yakin bahwa Gadis pilihan Bisma adalah Gadis yang baik.

"Yes, Good Luck too my bro." balas Bisma ikut tersenyum memandang jalanan kala itu.

***

Pukul 22.00 WITA

"Hore kak Caca pulang! Mana oleh-olehnya kak Caca?" tanya Shena tersenyum kecil dan menengadahkan tangannya kearah Caca. Shena adalah adik perempuan Caca satu-satunya. Shena baru kelas 2 SD. Ia sangat sayang pada Shena karena Shena sangatlah lucu dan menggemaskan, juga selalu menjadi Gadis kecil yang penurut terhadapnya.

"Loh Nana kok belum tidur?" tanya Caca pada Shena. Biasanya Shena sudah tidur jam segini, tetapi kenapa kali ini belum? Apa yang dilakukan adiknya?

"Iya, Nana belum tidur karena menunggu kak Caca pulang. Kak Caca dari mana saja? Nana khawatir sama kak Caca jadi Nana tidak bisa tidur." ucap Nana dengan nada lucunya.

"Tidak bisa tidur karena khawatir sama kak Caca atau sedang menunggu oleh-oleh dari kak Caca?" tanya Caca tersenyum miring, tepat sasaran.

"Hehehehe… Kedua-duanya kak Caca. Kak Caca tahu saja kalau Nana mau oleh-oleh. Jadi mana oleh-oleh buat Nana?" tanya Shena lagi mengulangi pertanyaannya dan menengadahkan tangannya semakin dekat kearah Caca meminta oleh-oleh itu.

Caca langsung mengeluarkan satu buah cokelat dan memberikan coklat itu untuk adiknya. 

Nana langsung tersenyum sumringah menerimanya, "Terima kasih kak Caca cantik dan imut." ucap Shena memuji kakaknya. Sungguh ia sangat sayang pada kakaknya ini, kakaknya sangat baik dan murah hati padanya.

"Mana cium buat kak Caca?" tanya Caca  mendekatkan wajahnya ke Shena.

"CUP!" dan kecupan singkat itu mendarat di pipi kanan Caca  dengan mulus. Shena benar-benar menciumnya dengan lugu. Entah kenapa ia langsung tersenyum menerima perlakuan semanis itu dari Shena.

"Nana tidur duluan ya kak Caca? Kak Caca juga tidur ya? Besok antarkan Nana berangkat sekolah ya kak Caca?"tanya Shena berbondong.

"Iya Shena." Sahut Caca tersenyum kecil dan mengelus puncak kepala Shena dengan sayang. "Sana ke kamar." sambung Caca lagi menyuruh adiknya masuk kamar dan tidur. Ia tak mau Shena terlambat bangun besok.

Ketika Shena masuk kamar, suara teriakan kencang berasal dari arah dapur,

"Darimana saja kamu Caca?" tanya Rani yang merupakan Ibu Caca.

Hubungannya dengan kedua orang tuanya memang tidak begitu baik, jadi ia mengacuhkan teriakan itu, teriakan dari Ibunya.

Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Caca, Rani langsung menghampiri Caca ke ruang tamu. Ia mendapati Caca yang sedang asyik bermain ponsel. Sungguh anak tidak tahu diri, pikir Rani dalam hatinya. Namun bagaimanapun  juga Caca adalah anaknya, putri sulungnya. Ia tidak boleh membeda-bedakan Caca walaupun Caca bukanlah anak kandungnya.

Dengan sabar Rani berbicara pada Caca yang tidak menyadari kehadirannya yang sudah berdiri di depannya. Bagaimana bisa menyadarinya? Jika Caca asyik bermain ponsel seperti itu?

"Stella Devani Clarissa! Ibu sedang bicara padamu." ucap Rani dengan sisa-sisa kesabarannya pada Caca.

Bersambung…

avataravatar
Next chapter