1 Hotel

Senyuman mengembang menghiasi wajah seorang gadis yang baru saja keluar dari gerbang besi. Seperti burung dalam sangkar yang selalu menunggu kebebasan ingin pergi. Mungkin itulah yang menggambarkan gadis tersebut selama empat tahun lamanya.

Berdoa dan menangis tak kunjung henti. Menerima hukuman atas apa yang bukan menjadi kesalahannya, dijebak bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata untuk membela diri. Tidak ada keadilan di dunia ini, terlebih lagi dia hanyalah batu kerikil diantara batu berlian.

Masa depannya hancur dan keluarganya pasti sangat kecewa. Berita tentang dirinya tersebar dengan sangat jelas. Bahkan di hari kebebasannya, seluruh wartawan mengantri untuk kepulangannya. Sudah memiliki nilai buruk dalam hidup, dan semua terekam jelas di memori semua orang. Walau berita empat tahun lalu dihapus, namun itu sangatlah mustahil untuk dilupakan.

Untung salah satu polisi baik, dia membantu agar dirinya terhindar dari awak media. Dengan memberikan kunci pintu belakang, entahlah apa yang akan terjadi dengan polisi tersebut tentang apa yang baru saja dia lakukan.

Berjalan tidak tentu arah tujuan kemana dia akan pergi. Kembali ke rumah, namun apa orang tuanya menerima dia?

"Wajahnya tidak asing," ucap seseorang yang berlalu-lalang.

Perkataan orang tersebut membuat dirinya teringat kejadian empat tahun lalu.

Hari kelulusan adalah sebuah kebanggaan, dia berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan gelar 'Sarjana Ekonomi' seulas senyum terukir dan sejak tadi tidak pernah luntur sedikit pun.

"Gimana kalau kita pergi ke club untuk merayakan ini semua?" ucap temannya.

"Aku kayaknya gak bisa deh, soalnya bapak aku sedang menunggu aku di rumah."

"Yah... ayok dong, rayain ini hanya sekali."

"Tapi.... "

"Udah, kamu bohong aja sedikit. Kalau kamu ada urusan tentang kuliah."

Perempuan itu mengangguk dan menerima rayuan temannya. Dia menelpon orang tuanya dan memberitahukan sesuatu. Hingga mereka memberikan izin untuk sang putri.

Ketiga perempuan tersebut berjalan dan masuk ke dalam mobil untuk menuju sebuah club.

Hingga dia sampai, mereka masuk ke dalam dan bersenang-senang.

Suara musik yang berisik menusuk telinga yang mendengar, bahkan ada pula yang terhipnotis. Semua bergoyang pinggul, baik ke kanan ataupun ke kiri. Lampu kelap-kelip memutar dengan sangat indah, menambah kesan tempat ini.

"Kamu mau ikut kita gak?"

"Enggak deh Rani, aku di sini aja."

"Yaudah, kamu boleh pesan apapun Gita nanti aku yang bayar. Hati-hati di sini banyak laki-laki hidung belang," ucap Rani dan berjalan bersama salah satu temannya dengan meninggalkan Gita duduk sendiri di sofa panjang.

Selepas kepergian Rani, Gita hanya bisa duduk sendiri. Namun tidak lama kemudian seorang pria datang dan memberikan Gita segelas minuman.

"Dari siapa?"

"Pria yang di sana mba," jawabnya sambil menujuk seorang pria yang berada di ujung.

Mata Gita mengikuti arah yang ditunjukkan pelayan tersebut, dia melihat segerombolan pria yang sedang berbincang. Dan tangan pelayan itu lebih tepat menunjukkan pria berjas, namun wajahnya tidak terpampang jelas. Hanya postur tubuh bagian belakang saja yang terlihat.

"Saya gak kenal, lagi pula saya tidak memesan juga."

"Tolong saya, ini demi pekerjaan saya."

"Baiklah, letakkan saja di atas meja ini," jawab Gita.

"Terimakasih mba," ucap pelayan tersebut dan meletakkan segelas minuman.

Pelayan itu pergi dan tidak lama kemudian kedua teman-teman Gita kembali, mata mereka melirik segelas minuman.

"Apa ini?"

Gita menjawab dengan mengangkat bahunya, sontak hal tersebut membuat Keduanya penasaran dan mendekatkan tubuhnya ke tubuh Gita. Mereka mengapit Gita yang posisinya berada di tengah.

"Jadi ini dari pria yang di sana," ucap Gita menunjukkan dimana pria itu berada.

Semua mengikuti tangan Gita yang menunjuk pria asing pemberi minuman untuk temannya.

"Wah, tampan banget."

"Ha, masa si?" ucap Gita ketika mendengar perkataan kedua temannya.

Gita kembali melihat pria tersebut, namun dia tetaplah sama. Hanya tubuh bagian belakang yang terlihat.

"Udah minum aja, kelihatannya baik kok."

"Kalian yakin?"

"Iya."

Gita meminum segelas air tersebut dan kebetulan dia sedang kehausan. Minuman habis tanpa ada sisa.

Namun yang dia rasakan kepalanya sangatlah pening, hingga matanya perlahan buram. Dan Gita melihat beberapa orang memiliki kembaran, sangatlah lucu hingga membuat dirinya tertawa lepas.

"Gita kamu gapapa?"

"Aku, gapapa. Minuman itu membuat aku melayang," ucap Gita berdiri dan berputar-putar.

Rani dan Nanda saling berpandangan satu sama lain, mereka tahu apa yang terjadi dengan  temannya itu.

"Ayok ikut kita!"

***

Mobil yang ditumpangi Gita dan kedua teman-temannya, berhenti di sebuah hotel bintang lima. Teman Gita memang bisa dibilang kaya raya, namun tidak untuk Gita.

Mereka memasuki hotel tersebut sambil memapah Gita, sedangkan Gita sejak tadi hanya berbicara tidak jelas tentang pria yang memberikan dia minuman.

"Mba pesan kamar hotel satu," ucap teman Gita.

"Atas nama siapa ya?"

Mereka berdua yang sibuk memesan kamar hotel tidak menyadari kepergian Gita.

Gita melangkahkan kakinya, berjalan sempoyongan. Dengan banyak bintang di atas kepalanya, seluruh objek yang dia lihat terus saja berputar.

Langkahnya terhenti di sebuah kamar hotel, tanpa sadar Gita masuk ke kamar tersebut.

Seperti tidak ada penerangan, dan suasana sangatlah dingin.  Gita yang memasuki ruangan tersebut tersandung sesuatu, alhasil dia terjatuh. Untung saja dia terjatuh di atas sesuatu yang empuk, karena sudah terlanjur pusing. Dia lebih memilih memejamkan matanya.

Tertidur pulas tanpa memikirkan kedua temannya yang berada di luar sana.

"Gua udah suruh lu jagaian Gita juga."

"Jangan salahin gua, Gitanya aja yang gak bisa diam. Udahlah biarin aja, yang penting tuh cewek gak pulang ke rumahnya. Udah kita pulang aja, dan pemesanan kamar tadi cancel."

Setelah membatalkan pemesanan kamar, kedua teman Gita kembali pulang ke rumah pada tengah malam yang sebentar lagi akan berganti hari.

***

Kedua bola mata terbuka secara perlahan saat mendengar suara ketukan pintu, kepalanya pusing masih terasa sampai pagi.

Pandangan pun sedikit agak kabur, dan ketika matanya terbuka sempurna. Justru dia ternganga dan membulatkan matanya ketika melihat pemandangan yang membuatnya takut.

Karena keterkejutannya, Gita berteriak sangat kencang.

"Nona, apa ada yang terjadi?"

Karena tidak ada jawaban, pelayanan tersebut masuk ke dalam kamar. Yang ternyata kamar tersebut tidak terkunci.

Sekarang bukan hanya Gita saja yang terkejut, pelayanan hotel yang baru saja menginjakkan kakinya tidak kalah terkejut ketika melihat mayat yang dengan banyak darah dan pisau kecil tertancap di perut.

"Nona, apa yang anda lakukan?" tanya pelayanan tersebut.

Terasa tuli, Gita yang berada di atas ranjang tidak mendengar suara pelayan tersebut. Dia justru diam sambil memandangi mayat yang sudah tergeletak.

Tubuhnya mematung, sedangkan Gita tidak menyadari pelayan tersebut sudah pergi entah kemana.

Air matanya mengalir, tubuhnya gemetar. Dia tidak terlalu mengingat kejadian semalam dan bagaimana dirinya ada di tempat ini.

avataravatar
Next chapter