1 1. Terjebak

Aku masih bersembunyi di balik dinding dapur dengan kedua lutut gemetar, seolah-olah sedang dilanda tremor yang berkepanjangan. Suara tangisan  Sara—sepupuku yang baru genap berusia dua belas tahun musim gugur tahun depan terdengar begitu menyedihkan ketika paman Darwin—ayahnya meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Rumah kasino milik keluarga Romanov membuatnya ketagihan, tidak peduli permainan domino dan poker selalu mengkhianatinya. Tunggakan bunganya melebihi pinjaman awal, hampir sembilan ratus ribu dolar dan terus merangkak naik per bulannya.

Aku tidak pernah membayangkan sesuatu yang lebih buruk dari takdir, kecuali kematian. Aku bergidik ngeri, kemudian menyeka air mata yang jatuh sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar. Tidak ada gunanya berpura-pura tidak mendengar pembicaraan. Perjanjian utang-piutang yang disembunyikan oleh paman Darwin tidak sesederhana antara si pemberi pinjaman dan si peminjam, tapi melibatkan keberlangsungan hidup semua anggota keluarga Ortiz.

"Cassidy?" tegur Tara, ia terbelalak ketika melihatku.

Bibi Joe menghapus air mata dengan ujung blus yang dikenakannya sebelum menoleh padaku, tapi bekas jejak kekacauan itu masih tertinggal di dalam sepasang bola mata cokelatnya. Ia menatapku sambil tersenyum, kemudian menggeleng-geleng. Ia berusaha membuatku yakin, jika tidak ada sesuatu yang buruk telah terjadi.

Pria paruh baya itu mendadak bersimpuh di atas lantai. Emosinya tumpah. Semua perasaan sesal yang menyesaki dadanya sejak tadi meluap lewat tangis, mengguncang punggung kurusnya yang renta. Sementara bibi Joe hanya bergeming, ia memandang paman Darwin dengan tatapan putus asa.

"Maafkan aku, Joe. Aku tidak menyangka para bajingan itu menjebakku dengan bunga tinggi. Aku... aku... aku dalam kondisi mabuk, mereka memanfaatkan ketidaksadaranku untuk menandatangani surat perjanjian itu," tutur paman Darwin lirih.

"Apa isi surat perjanjiannya?" balas bibi Joe.

"I... isinya... aku... mereka... Tuan Alexandr akan... akan mengambil... anak kita sebagai jaminan."

Bibi Joe terkesiap, "Apa? Anak kita? Anakku?"

Kulit wajah bibi Joe berubah memucat, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh pingsan. Sara yang berada di posisi paling dekat dengan ibunya langsung menangkap tubuh wanita itu. Ia memindahkan ibunya ke atas sofa double chaise di ruang tamu.

Demi Tuhan, apa yang baru saja kudengar?

"Selama ini, aku selalu menghormatimu. Kau selalu kuanggap seperti ayah kandungku sendiri. Aku tidak menyangka ternyata kau tidak lebih dari seorang pecundang. Bagai... bagaimana kau... setega itu menjadikan anakmu sebagai jaminan?" cecarku dengan nada kasar.

Paman Darwin merangkak mendekatiku, ia terlihat hancur dan payah. "Cassidy... Cassidy... oh, Cassidy... tolong aku."

Aku terus mengutuk, tidak tahu harus berbuat apa. Apa aku bersikap keterlaluan padanya? Sulit untuk menenangkan diri, jika paman Darwin masih meraung meratapi kebodohannya. Kabur, kupikir itu merupakan satu-satunya jalan terbaik.

"Kita... kita kabur saja," usulku.

"Kabur?"

"Iya, kita pindah ke kota lain."

"Pin... pindah?"

"Iya, paman. Detroit, Harrisburg, atau Philadelphia. Aku masih memiliki sedikit uang tabungan. Mereka tidak akan menemukan kita. Kita harus berangkat seka—"

"Ide yang menarik," sela suara asing itu dengan nada mengejek.

Kehadiran para pria berpakaian serba hitam di depan pintu rumah itu mengejutkan semua orang, termasuk aku. Paman Darwin bahkan terperanjat, ia berubah menjadi sosok yang belum pernah kukenal sebelumnya. Ia menangis sambil menjambak rambut pirangnya yang pendek bergelombang, mengiba sedikit ampun.

Atmosfer dalam ruangan menjadi berbeda, pengap oleh ketegangan aneh yang menggantung di udara. Aku memperhatikan barisan pengawal setinggi tujuh kaki yang menunggu perintah. Aku terus menghitung, satu... dua... tiga... empat... lima... total mereka ada enam orang.

Seluruh tubuhku kembali gemetar ketika pandangan menusuk itu menyoroti wajahku dengan tatapan intens, seolah-olah ingin menelanjangi. Aku berpaling, tidak tahan. Siapa gerangan dirinya?

"Tu... Tuan...  Tuan Alexandr, oh Tuanku, tolong beri aku waktu lagi. Aku... aku belum memiliki uangnya sekarang."

"Дай веревку, чтобы связать его!" ucap pria itu dengan aksen Rusianya yang kental.

"да, сэр!" sahut salah satu pengawal berambut tembaga yang tidak kutahu namanya.

Dalam sekejap, pengawal itu bergerak dan mengeluarkan seutas tali. Mereka menyeret tubuh paman Darwin dengan kasar, mengikat kedua tangannya ke belakang, kemudian mendorong wajahnya ke lantai. Jerit kesakitan dari mulut paman Darwin memenuhi rumah petak kami.

"Ayah!" pekik Sara, suaranya sengau karena terlalu banyak menangis.

Aku tercekat, benarkah pria itu Alexandr? Alexandr Czar Romanov? Sang mafia yang terkenal dengan sejumlah reputasi kotornya. Pemimpin kartel narkotika, perdagangan senjata, dan perjudian berskala internasional. Ia kejam, pengampunan sama sekali bukan gayanya. Dilempar ke dalam kandang singa atau dipenggal oleh para algojo hanya sekelumit dari sekian banyak rumor yang beredar. Intinya, tidak ada orang waras yang ingin berurusan dengan dirinya.

Alexandr memang berbahaya, auranya penuh intimidasi. Sosoknya rupawan; tampan dengan garis rahang tegas, tulang hidung panjang yang runcing. Kulitnya sehalus beledu, cokelat seperti padang pasir. Otot-otot biseps dan pecs yang besar itu dihiasi rajah tato, terlalu mengundang untuk diabaikan. Celana ripped jeans miliknya terlihat menjerit dari balik tubuhnya karena ukuran yang tidak pas. Tipikal lawan jenis yang hanya dapat kau temukan dalam iklan majalah fashion, bergaya memamerkan arloji Richard Mille atau menenteng tas Hermes edisi terbatas. Ia terlalu sempurna untuk ukuran seorang kriminal, bukan?

Aku menelan saliva dengan susah payah sebelum berlutut, "Atas nama paman Darwin, aku meminta maaf padamu, Tuan Alexandr. Paman Darwin membuat kesalahan, ia tidak berpikir panjang. Tolong, berikan kami waktu untuk melunasi semuanya."

"Bisnis tidak mengenal kata maaf, young lady."

Sial, senyum menyeringai Alexandr membuat bulu kudukku berdiri. "A... aku hanya meminta sedikit keringanan."

"Sayang sekali, kau meminta pada orang yang salah."

"Sepupuku masih terlalu muda, Tuan Alexandr. Kumohon ampuni kami, ampuni paman."

Sudut bibirnya kembali terangkat, "Aku suka orang yang memohon."

Alexandr mulai memberi isyarat untuk menjalankan prosedur, menjentikkan jari-jarinya pada salah satu pengawalnya yang berkacamata. Pria itu membungkuk takzim, pengawal lainnya ikut bergerak, dua di antaranya menendang perut paman Darwin dengan serangan bertubi-tubi. Jerit kesakitan itu kembali terdengar, menyayat perasaanku. Sara yang menyaksikan kebrutalan itu tercengang, ia terlihat membeku di tempat karena syok.

"Tidak! Tidak! Jangan menyiksanya lagi!" pekikku, tidak kalah syok dari Sara.

Alexandr mengangkat salah satu tangannya, membuat pengawal itu berhenti melakukan aksinya. Aku memandang paman Darwin dengan tatapan ngeri, kondisinya jauh dari kata baik-baik saja. Pakaiannya robek di beberapa bagian, tubuhnya dihiasi sejumlah luka memar. Ia meringis menahan sakit, terbaring lemah tanpa perlawanan.

"Ayah... a... ayah... kumohon jangan menendangnya lagi!" pinta Sara, setengah merengek.

"A deal is a deal. Ayahmu tidak sanggup melunasinya. Jadi, tugasmu adalah berbakti pada orang tuamu."

Sara melemparkan pandangan bingung, sepasang mata kecilnya yang basah menatap Alexandr dengan penuh tanda tanya. Pria berambut karamel  itu mengalihkan tatapannya padaku, seolah-olah ingin meminta persetujuan atas pernyataan yang dilontarkan olehnya. Aku tertunduk berusaha menghindari kontak. Namun, sikap arogannya lagi-lagi mendominasi. Ia mendadak meraih rahangku, memosisikan wajahnya sejajar dengan wajahku, memangkas jarak di antara kami berdua. Aroma nafas maskulinnya membuat bulu kudukku kembali berdiri.

"Apa yang—"

"Itu kau, bukan?" potongnya. "Aku tahu kau hanya anak adopsi, tapi namamu telah tercatat di bawah namanya. Kau harus bersedia menjadi penjamin, jika tidak ingin sesuatu yang jauh lebih buruk dari ini menimpanya."

"Lepaskan!" tepisku.

"Kau tahu, semakin kau membangkang, semakin aku menginginkanmu. I want to feel how powerless you are in my control," bisik Alexandr, suara baritonnya terdengar begitu berat dan dalam.

***

avataravatar